Rama yang Tak Romantis

140 1 0
                                    

Berawal dari urusan ujian skripsi, aku dan Rama jadi sering berdua, entah mengurusi urusan ujian, atau sekedar ngobrol berdua. Banyak anak angkatanku yang sepertinya percaya tidak percaya si Miss- Ga- Begitu- Penting bisa sibuk berdua dengan Rama sang aktivis no.1 sekampus. Penampilannya, yang meskipun seorang aktivis sejati, tapi terkesan cuek, selalu kasual, garis wajahnya keras, cowok banget, dengan bekas jahitan di dagunya yang mulai tidak terlalu kelihatan. Katanya bekas kecelakaan waktu masih keil. Tingginya mungkin 170 lebih. Sedangkan aku? Aku adalah perempuan yang sejak awal kuliah hanya bisa mengagumi Rama sebagai sosok yang selalu dibutuhkan di kampus, sosok cerdas yang selalu terlibat proyek dengan dosen, sosok yang begitu mempesona tapi begitu rendah hati. Hhmmm, aku memang cuma bisa mengagumi seorang Rama. Cuma perempuan biasa yang kemana-mana selalu pakai sneakers yang itu-itu aja, jeans seadanya, kurus dan mungil. Dan sekarang sosok yang aku kagumi itu sudah beberapa hari selalu berdua dengan aku, seperti keajaiban kan? Setiap mau ngobrol dengannya, aku harus selalu mendongak ke atas. Agak kebanting kalau masalah tinggi badan.

"Udah lama Sas?" Suara Rama mengejutkanku yang lagi asyik membaca novel, lumayan buat teman menunggu si Rama.

"Eh, nggak kok, paling baru 5 menit. Kita mau kemana?"

Hari ini Rama mengajak aku bertemu di kampus, katanya mau mengajakku ke suatu tempat. Tapi dia tidak bilang kita mau kemana.

"Ada deh, ntar juga tahu, kamu ikut aja. Kamu pasti suka, dijamin."

Rama tersenyum manis sekali. Aku heran, apa Rama tidak pernah kehilangan pesona ya? Akhirnya, dengan motornya Rama membawaku ke suatu tempat. Dan sungguh di luar dugaanku, dia mengajakku ke tempat penampungan anak jalanan. Tempat anak-anak itu diajarkan berbagai keterampilan dan sedikit baca tulis. Mereka kelihatan senang sekali waktu Rama datang. Aku yang belum pernah ke tempat seperti ini merasa asing pada awalnya. Ternyata Rama dan teman-teman aktivisnya yang mendirikan tempat ini beberapa tahun yang lalu. Dan mereka secara rutin mengunjungi dan mengirimkan buku-buku bacaan ke rumah singgah ini.

"Wah, kak Rama bawa pacarnya ya Kak?" Salah satu anak menggoda Rama. Yang lain ikut tertawa.

"Ah, kalian ini, ada-ada aja. Ini Kak Sasa, temen kampus Kakak. Ayo kenalan dulu sama Kak Sasa."

Mereka berebut ingin menjabat tanganku. Rasanya luar biasa berada di sini. Tatapan mata mereka begitu polos, mereka begitu penuh tawa, tapi di balik semua keceriaan itu mereka sudah harus cari makan di jalanan.

"Kamu pasti belum pernah ke tempat kayak gini ya Sas?"

"Eh, iya, ini pertama kalinya. Dan aku nggak nyangka kamu bisa tau tempat kayak gini."

"Masih banyak tempat tak terduga yang mungkin nggak pernah kamu sadari keberadaannya."

"Kok kamu bisa..." kalimatku menggantung.

"Bisa apa? Bisa kayak gini? Nanti kamu juga tau seiring dengan waktu, semakin lama kita barengan, semakin kamu akan tau kenapa aku begini dan begitu."

Rama ternyata satu dari banyak mahasiswa yang terlibat urusan seperti ini, dan aku tidak mengerti sama sekali. Ini adalah sisi lain seorang Rama yang keren itu. Dan hari ini, Rama mengajarkan hal baru padaku. Aku sangat menikmati saat-saat bersama Rama dan anak-anak itu. Dari situ aku tahu, bahwa hidup itu tidak hanya yang terlihat oleh mata. Ada sisi lain kehidupan yang di luar dugaan kita. Dan Rama mengajarkan itu padaku.

"Jangan lupa Sas, besok kamu belajar yang bener, ujian skripsi tiga hari lagi." Rama mengingatkanku lagi dan lagi.

"Iya, semoga aku bisa."

"Bisa, aku akan selalu bantuin kamu kok."

Rama mengantarku sampai depan rumah. Aku mengangguk dan melambaikan tangan saat Rama mulai berlalu.

"Pacarnya ya Kak?" Abeel adikku.

"Kamu tuh, anak kecil udah ngerti pacaran."

"Heeelllaaaaaw, aku tuh udah kuliah, dan usia kita cuma kepaut setahun ya Kak. Ga usah songong deh." Dia selalu kesal tiap aku perlakukan seperti anak kecil.

"Iya deh, kakak masih mikir kalau kamu Abeel kecil yang suka ngompol dulu." Aku membelai rambut adikku satu-satunya itu. Aku dan Abeel hanya terpaut usia satu setengah tahun, jadi kami lumayan dekat dan sering saling curhat. Abeel memang selalu ingin tahu urusan kakaknya ini. Dan dia selalu kompak dengan mama dalam hal menjodoh-jodohkan aku dengan anak teman mama yang inilah, yang itulah. Bukannya itu lebih kayak merendahkan harga diri dan penghinaan tingkat tinggi ya? Kayak aku tidak laku saja.

Aku dan Abeel memang berbeda, dia lebih mudah dekat dengan cowok. Abeel adalah tipikal anak gaul jaman sekarang yang kenal banyak orang dan banyak kalangan. Dia sudah lebih dulu kenal dengan make-up, dan baju-baju yang cewek banget. Dia juga memang cepat akrab dengan siapa aja. Sangat berlawanan denganku, yang hanya bisa ngobrol dengan orang yang benar-benar cocok saja. Bahkan saat di rumahpun aku lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar, menghabiskan waktu dengan komputer dan setumpuk buku, bermanin game atau bahkan hanya dengan mengisi TTS. Suram memang.

Kembali ke Rama.

Dan berawal dari urusan skripsi itu dan betapa mempesonanya Rama di mataku, aku memanfaatkan setiap momen kebersamaanku dengannya. Aku selalu betah berlama-lama menatap wajahnya yang sedang menjelaskan sesuatu padaku. Aku suka padanya dan aku ingin dia juga punya perasaan yang sama. Ya, meski sering bersama dan dia selalu memperlakukan aku dengan sangat baik, tapi tidak pernah ada tanda-tanda Rama bakal nembak atau menunjukkan kalau dia punya perasaan lebih.

Ya, aku berasa gantung.

Aku merasa gantung karena Rama sering main kerumah, bahkan setelah urusan skripsi selesai. Dia sering sekedar mengajak aku makan di luar, mengajak aku pergi ke tempat-tempat baru yang belum pernah aku tahu sebelumnya. Dia juga selalu bisa asyik ngobrol dengan ayah dan ibu.

Dan, meski sempat terasa 'gantung' karena tidak pernah ada status apa-apa selama tiga bulan, akhirnya hal yang selalu aku harapkan itu terjadi jua. Rama 'nembak' aku. Di teras rumahku tepatnya.

Dia duduk dengan gelisah sambil mengetuk-ngetukan jari-jarinya dikedua lututnya. Aku sadar dia sedang gelisah. Tapi aku tidak tahu kenapa. Sampai tiba-tiba...

"Sas..." dia tampak sangat kikuk. Dan aku hanya diam menunggu apa yang akan dia katakan.

"Kamu mau nggak jadi pacarku."

Satu detik...dua detik...tiga detik...

Sesimple itu? Ayolaaah...

Aku masih menatap heran pada Rama. Bukankah saat seperti ini seharusnya dia bisa sedikit berbasa-basi? Bukankah seharusnya ada kalimat-kalimat manis sebelum dia 'nembak'? Dia tidak punya naluri keromantisan ya?

"Sas?"

Aku kaget.

"A-apa?"

"Aduuuuh, kamu tuh, aku udah susah-susah ngomong, kamunya lemot." Rama menggaruk-garuk dahinya yang tidak gatal.

"Tapi kalimat kamu nggak jelas." Protesku.

"Alah, paling males deh." Rama melengos sebal.

"Kalau aku nggak salah dengar, tadi kamu nembak aku ya?"

Rama kikuk, dia pasti malu. Tapi kenapa harus malu. Apa yang salah dengan nembak cewek? Tidak mungkin kan Rama tidak pernah nembak cewek? Ah, bodo amatlah....

"Ram? Kok jadi kamu yang diem sih?"

"Ya kamu sih, ditanya serius malah jawabannya nggak jelas."

Jadi Rama memang tidak punya naluri keromantisan sama sekali. Oke, kata orang, cowok romantis itu malah bahaya, ada indikasi ke arah playboy. Bagus. Kamu tidak usah romantis aja Ram...

Aku terdiam sejenak, berniat menggoda Rama yang masih menunggu jawaban dariku.

"Sas? Ya udah, aku pulang aja deh." Sial, dia balas menggodaku. Dia beranjak berdiri. Aku tarik tangannya biar tidak jadi berdiri.

"Gitu aja ngambek sih Ram. Iya deh, aku mau kok..." Rama berusaha menyembunyikan senyumnya.

"Tuh kan, malah senyum-senyum nggak jelas. Ekspresi kamu biasa aja, nggak seneng ya?"

"Ya senenglah Sas. Tapi kenapa jawaban kamu pake 'deh' segala ya?"

"Idiiiiiiiiiih, gitu aja komplain, sensi ih, lagi dapet ya?" Rama tersenyum dan membelai rambutku.

Sweet PopcornWhere stories live. Discover now