Bab 12 . Matterhorn Meninggalkan Luka

11 1 0
                                    

"Mungkin kata yang ingin aku katakan kepadamu adalah: bahkan di saat malam yang panjang, aku masih sangat mencintaimu. Saat- saat yang menyedihkan ini akan segera berlalu, aku hanya perlu bertahan sesaat lagi"

Setelah Shirane merasa tenang, Eunji pun mengajak Shirane untuk berdiri dan berjalan-jalan lagi, berkeliling diantara hutan pinus yang sudah tertutup salju tipis. Eunji berdiri terlebih dahulu, kemudian menjulurkan tangannya kepada Shirane. Shirane kemudian meraih tangan Eunji dan berdiri. Mereka berjalan bersebelahan.

Dengan tangan di saku jaketnya, Eunji dan Shirane berjalan bersebelahan sambil berbincang-bincang.

"Kamu tidak apa-apa, Shirane?"

Shirane hanya tersenyum. "Kamu tidak perlu khawatir, Eunji. Aku menangis bukan karena aku membencimu. Hanya saja, aku merasa resah karena perasaanku kepadamu," ucap Shirane.

"Kenapa resah?"

"Aku juga tidak tahu. Aku hanya khawatir tentang apa yang akan terjadi kedepannya. Aku khawatir sesuatu terjadi kepadaku, aku tidak mau lagi kebahagiaanku tiba-tiba menghilang" ucap Shirane.

"Kenapa kamu mengkhawatirkan sesuatu yang bahkan belum kamu ketahui?"

"Karena itulah aku khawatir. Karena aku tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Karena aku tidak tahu harus mengkhawatirkan apa. Bukankah satu-satunya hal yang membuat kita khawatir adalah karena kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi? Kalau seandainya aku bisa membaca masa depan, mungkin aku tidak perlu khawatir. Eunji, kita akan baik-baik saja, kan? Kamu gaakan pergi ninggalin aku, kan? Kamu akan menjagaku, kan?" ucap Shirane seolah mencari jawaban yang hanya Shirane inginkan

Eunji terdiam, menyadari maksud Shirane. Kemudian hanya tersenyum dan memandang lembut Shirane. Eunji kemudian kembali meraih tubuh Shirane lagi. Eunji memeluk Shirane dengan lembut sambil berucap bahwa semua akan baik-baik saja dan menyerahkan semua rencanya kepada semesta.

Eunji terdiam sejenak.

"Semesta kadang sebercanda itu, yaa" ucap Eunji sambil melepaskan pelukannya kepada Shirane.

"Hahaha, iya.... Tapi aku senang bercanda dengan semesta," kata Shirane.

"Kenapa senang?" tanya Eunji.

"Karena aku tahu, bahwa pada akhirnya aku akan bahagia. Bukankah karena itu semesta bercanda? Bukankah karena semesta ingin kita bahagia? Meskipun terkadang caranya bermacam-macam. Bisa dengan candaan yang menyenangkan atau menyedihkan. Tapi tetap, pada akhirnya kita akan selalu tersenyum mengetahui apa yang akan semesta ganti dari kesedihan kita."

"Aku juga sebenarnya kadang bertanya-tanya, kenapa semesta ingin membuatku menangis, lalu membuatku tertawa? kenapa semesta harus membuat sebuah luka, lalu membuat sebuah suka. Apa karena semesta ingin mengajarkan bahwa menangis tidak akan menyelesaikan masalah? Apa menurutmu begitu?" ucap Shirane sambil menoleh ke arah Eunji.

Eunji menjawab pertanyaan Shirane sambil menatap, "Menurutku tidak begitu. Aku justru lebih menyukai menangis. Justru dengan menangis, setidaknya satu masalah sudah teratasi, dan sepertinya semesta juga ingin aku menangis. Barangkali aku mungkin terlalu banyak tertawa"

"Kenapa begitu?" tanya Shirane tidak mengerti.

"Aku merasa, dengan menangis setidaknya aku bisa melepaskan sedikit sesak di dada. Setelah melepaskan rasa sesak itu, setelah aku melewati cobaan itu dengan tangisan, dan setelah aku merasa baik, baru aku mulai mencoba untuk bangkit. Kita tidak akan bisa bangkit ketika masih ada luka yang tertinggal di hati. Ketika masih ada yang mengganjal. Ketika masih membiarkannya mengendap di dada dan membuatnya sesak. Aku harus mengeluarkan itu. Dan dengan menangislah caranya." ucap Eunji. "Kita selalu butuh cara untuk mengeluarkan emosi kita, dan menangis mungkin salah satu caranya"

Malam biru 24 AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang