Bab 6. Kazumi

20 2 0
                                    


SAAT MENGENAL SAPARDI (pertemuan pertama)

Hari ini adalah hari yang biasa. Adiwangsa dan Sapardi pergi ke Keraton untuk bekerja bersama. Sudah 4 tahun Sapardi bekerja di Keraton, dan selama itu juga Adiwangsa mengenalnya. Sapardi memulai pekerjaannya di Keraton sejak usianya 25 tahun. Sedangkan Adiwangsa sudah bekerja sejak usianya 20 tahun. Mereka dipertemukan di Keraton hingga menjadi sahabat.

Saat pertama kali Sapardi bekerja di Keraton, Sapardi sangat lugu. Dia cukup pendiam, bahkan sedikit pemalu. Setiap hari Sapardi membawa sebuah buku dan sebuah pensil. Ia sembunyikan buku dan pensil itu dibalik baju khas jawa yang dipakainya. Setiap kali mengalami sesuatu, dia akan menuliskan dalam buku itu.

Adiwangsa yang sudah lebih dulu bekerja di Keratonlah yang terlebih dahulu menyapa akrab Sapardi, sang pekerja baru Keraton.

"Pagi, Mas, baru ya, di sini?" ucap Adiwangsa.

Sapardi tengah duduk diam di bawah pohon beringin itu pun mengadah, "Ohh, nggih, Mas. Nama saya Sapardi Djoko Darmoko. Biasa dipanggil Sapardi, Mas," ucap Sapardi setelah bangkit dari kursinya, "Ini hari pertama saya bekerja di sini, Mas."

Sapardi yang sangat gugup membuat Adiwangsa mencoba membuat Sapardi berbicara dengannya dengan lebih nyaman. "Santai saja, Sap. Kita bisa jadi teman kok," ujar Adiwangsa.

Melihat sikap Adiwangsa yang santai membuat Sapardi terkejut. "Sap," ia tak habis pikir seniornya akan memanggilnya sesantai itu. Semakin sering bertemu, berbulan-bulan berlalu, mereka menjadi semakin dekat.



Hari demi hari pun berlalu. Walau butuh waktu cukup lama untuk mendekati Sapardi, akhirnya Adiwangsa dan Sapardi bisa menjadi teman dekat. Sapardi adalah orang yang sangat tertutup. Untuk dekat dengan sesama lelaki saja sulit, apalagi mendekati wanita?

Kelebihan Sapardi ada pada wajahnya. Wajah tampan Sapardi menarik banyak perhatian wisatawan, apalagi dengan usianya yang sangat muda, tubuhnya yang gagah, dan wajahnya yang tegas dan menawan. Tak heran banyak wisatawan yang ingin dipandu olehnya.

"Wah hari ini banyak wisatawan yang senang dipandu sampean, ya, hahaha," ejek Adiwangsa.

"Lah, ini kan tugasku sebagai pemandu wisata to?" ucap Sapardi.

"Hahaha lah iyo. Sepertinya pekerjaanku diambil olehmu, Sapardi" ucap Adiwangsa bergurau.

"Enak saja. Makan gaji buta dong, Mas?" balas Sapardi.

"Haha ndak, ndak, aku bercanda Sapardi. Ojo dibawa spaneng o."

Adiwangsa kembali bertugas. Beberapa rombongan wisatawan berdatangan. Sapardi pun mengeluarkan buku dari balik bajunya dan menuliskan kalimat yang hanya dia yang tahu.

Sapardi adalah orang yang puitis. Ia pandai dalam berbagai bahasa. Inggris, Jepang, dan Francis pun dia paham. Ia memang penggila bahasa. Menulis adalah hobinya. Tak heran jika buku pada saku bajunya selalu ia bawa kemana pun ia pergi.

Sudah sejak dulu Sapardi menyukai dunia kepenulisan. Puisi puisi yang Sapardi tulis sangat indah. Mungkin jika ada wanita yang membacanya ia akan langsung jatuh hati pada Sapardi. Namun Sapardi tidak pernah melakukan itu, ia tak pernah memperdengarkan puisinya pada wanita mana pun. Dia sangat pemalu. Lagipula, ia belum menemukan seseorang yang cocok untuk dirinya. Tawaran perjodohan beberapa kali menghampirinya namun Sapardi tidak pernah menerimanya. Ia percaya bukan kita yang menemukan cinta, tetapi cinta itu yang akan menemukan kita.

Bagi Sapardi, cinta itu kaya. Jadi untuk apa dia mengemis? Cinta bukan hal yang bisa dipaksakan apalagi diburu-buru. Sapardi lebih memilih untuk membiarkan hatinya mengalir seperti sungai, walau entah sampai kapan ia membiarkan sungai itu mengalir tanpa ujung.

Malam biru 24 AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang