Lamaran

56 37 13
                                    

Satu hari bermalam lalu aku diperbolehkan untuk pulang karena lukaku tidak terlalu serius. Tetapi tetap saja kepala ku sangat terasa berat dan pusing. Ditambah lagi aku pertama kali di rawat inap seperti ini dan tidak ada orangtua disampingku. Aku benar-benar merasa sangat bersalah pada diriku sendiri. Aku yang menyebabkan masalah ini muncul, walaupun aku tidak mengira sampai sejauh ini. Daffa dan sahabat-sahabatku lah yang setia menemaniku sampai aku sembuh. Saat kejadian itu, aku menjadi sorotan mahasiswa yang lain. Lagi-lagi sikap bodo amat ku masih menempel seperti benalu.

" Keren juga lo Bil bisa bikin tuh cewek keluar dari kampus ini " ejek siswa yang lain sambil tertawa

" Udah lo jangan banyak omong kalo nggak mau keluar juga " Sahut Nesa membela ku

Jadi ternyata wanita itu dikeluarkan dari kampus ini, sedikit membuatku merasa kasihan tetapi rasa bahagia terselip juga di hatiku. Rupanya Nesa dan yang lain belum merasa puas, mereka ingin membawa perkara ini ke jalur hukum tetapi aku menolaknya karena pasti akan merambat ke keluargaku dan masalahnya pasti akan lebih panjang lagi tentunya. Rasanya tak mampu sehari saja tidak melihat Daffa, aku membayar salah seorang teman laki-laki ku untuk membuntutinya dan mengambil fotonya secara diam-diam. Setelah fotonya sudah ada ditanganku, aku tersenyum melihat foto saat dia ada di sebuah pondok pesantren untuk memberikan santunan dan disana terlihat ada anak-anak dan juga ada seorang wanita cantik sebagai gurunya. Walaupun di ambil diam-diam, tetap saja kak Daffa terlihat tampan dan mempesona. Dari sana, aku sangat percaya bahwa dia adalah pria yang sangat baik hati dan dermawan.

Meskipun kadang aku merasa bingung mengapa dia ingin aku menjadi istrinya, padahal di luar sana masih banyak wanita yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih cantik daripada aku. Aku juga masih terlalu muda, dan pikiranku kadang terlalu kekanak-kanakan. Aku tidak terlalu mengerti soal mengurus rumah tangga dan istri yang baik. Bagaimana bisa aku mempelajari itu semua dalam waktu yang singkat. Ilmu agamaku pun sangat tidak sebanding dengannya, aku harus apa. Aku sangat bingung, aku berpikir kembali untuk membawa dia ke rumah orangtua ku. Disisi lain aku menyukainya, tapi disisi lain aku merasa kurang pantas untuk menjadi istrinya.

Suatu malam saat aku dan sahabatku pulang dari rumah teman, aku melihat Daffa dan sepiring makanan yang dimakan lahap oleh seorang pemulung. Kelihatannya pemulung itu sangat kelaparan sampai-sampai dia makan dengan sangat cepat dan lahap. "Ya ampun, di zaman sekarang ternyata masih terselip laki-laki seperti kak Daffa" pikirku pun kembali yakin, mungkin kak Daffa lah yang akan membimbing dan mengajarkan ku di dalam kebaikan, dia lah yang dikirim untukku. Sampai pada hari minggu yang kutunggu tiba. Aku mengira kami akan berangkat masing-masing saja. Tetapi dia mengajakku untuk bersamanya.

Aku sedikit gugup dibuatnya, dia tidak bicara selama 30 menit. Lalu aku mulai membuka pembicaraan karena mulai sedikit bosan.

"Kak Daffa, saya nggak mungkin kan manggil kamu kakak karena kita akan menikah. Gimana kalo saya panggil Mas Daffa? " aku mengeluarkan kalimat yang terfikir saat itu. Kalau di ingat kembali ternyata itu terasa memalukan.

" Kenapa tidak, saya ikuti apa mau kamu Bil " bersama senyum tipis nya dia menjawab dengan lembut.

" Oh iya, gimana pelajaran kamu Bil? Apa ada kendala " lanjutnya lagi

" Alhamdulillah enggak ada kok Mas " kataku dengan tanpa ragu memanggilnya Mas

" Baiklah kalau begitu kita ke mesjid dulu ya,kita sholat " ajaknya

" Iya Mas, tapi saya nggak bawa mukenah. "

" Tidak usah khawatir, didalam pasti sudah disediakan "

" Oh begitu, baiklah Mas " Aku menjawabnya dengan sedikit malu, karena nampak sekali kalau aku tidak pernah sholat di mesjid jika sedang bepergian.

Imam Terbaik Ku (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang