Ia sedang bersiap-siap. Ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya. Tidak biasanya.
"Siapa?"
"Mboh, neng"
Yakin itu bukan orang yang di hindarinya, ia bergegas membukakan pintu.
"Tumben mboh"
"Nyonya ngundang sarapan di bawah, saya disuruh manggil neng"
Ia merasa aneh, mereka semua tau itu bukan kebiasaanya untuk sarapan.
"Bilang aku buru-buru mboh. Nggak bisa"
"Katanya penting, neng"
"Ya udah, dikit lagi kebawah"***
Ia meraih tas, mengunci pintu dan bergegas turun ke bawah.
Disana ia mendapati Bibi dan Maya sudah memulai sarapan mereka. Ia mengambil tempat duduk jauh diantara keduanya.
"Kopi aja mboh"
"Loh kamu nggak makan?" Tanya bibinya.
Ia merasa tak harus menjelaskannya. Sudah 5 tahun tinggal bersamanya seharusnya ia tahu bahwa itu bukan kebiasaannya untuk sarapan.
"Nggak. Kopi aja" katanya.Mereka diam beberapa saat tak bicara. Sampai mboh datang membawa cangkir kopi untuknya.
"Ngomong-ngomong. Maya bilang kamu mau pindah" kata orang tua itu.
"Ya" jawabnya ketus. Ia meraih dan meminum kopinya. Mengingatkan kopi pahit yang Reno tawarkan kemarin. Bedanya ini manis dan jika hendak berbicara dengan bibinya, kopi pahit bisa menjadi pilihan yang sangat buruk."Kamu yakin?, padahal ini rumah orang tua kamu, entar Bibi diomongin sama keluarga yang lain. Kan nggak enak"
Ia mendengarkan semua keluhan itu dengan malas.Bukan urusannya jika Bibinya itu menjadi bahan pembicaraan. Ia tak keberatan keluar dari rumah ini. Asalkan bisa jauh dari mereka. Suami Bibinya adalah saudara ibunya. Jadi dia hanya memiliki ikatan kekeluargaan kuat bersama Maya bukan Bibinya. Itulah sebab kenapa keluarga dari pihak ibunya melarang ia meninggalkan rumah itu.
Sejak dulu keluarga dari pihak ibunya tidak merestui bila pamannya menikah dengan Bibinya itu. Hal ini lah yang menjadi batu penghalangan kebebasannya untuk tinggal sendiri. Ia benar-benar ingin lepas.
"Tapi kamu nggak usah terlalu khawatir, kalau Maya nikah sama nak Kennan maka bisa saja saya tinggal sama mereka"
Ia terkejut dengan pernyataan itu. Terlalu yakin dan berani. Hampir saja ia tersedak."Nikah?" Katanya menatap Maya.
Namun, yang di tatap hanya tersenyum congkak kearahnya.
"Berapa lama lu kenal dia?", Ia bahkan ragu kalau Maya tahu bahwa Kennan adalah pemimpin di perusahaannya.
"Baru berapa hari. Tapi nggak masalah kok" jawabnya percaya diri.
"Udah jalan kemana aja?"
"Dia seringnya kesini. Justru bagus dong"
"Dia ngajak Lu nikah?"
Kali ini Maya dan Mamanya saling berpandangan tidak yakin.
Dan Elsa tau bahwa dari awal kedua orang ini lah yang selalu memaksakan kehendak mereka.Ia menengak habis kopinya. Kemudian ponselnya berbunyi. 5 menit yang lalu ia telah memesan transportasi. Kemungkinan jemputannya telah sampai.
"Bibi nggak usah pikirin masalah rumah. Saya nggak akan pindah kok. Kecuali kalau terpaksa. Saya berangkat dulu"
Ia tak perlu mendengar jawaban mereka. Namun ia yakin setelah ini, mereka akan melakukan segala cara agar Kennan mau menikahi Maya.***
Banyak yang harus ia lakukan terkait pekerjaannya dan ia membutuhkan seseorang untuk berdiskusi. Melisa atau Elsa adalah kemungkinan itu.Kemarin wanita itu membuatnya terkejut. Ia tak menyangka bahwa ia bekerja di perusahaan ini. Saat memasuki ruangan rapat itu, ia mengedarkan pandangannya dan Elsa sedang berdiri disana. Ia tampak biasa saja, jika dibandingkan dengan kecantikan yang sepupunya miliki maka ia hanya separuhnya saja. Tapi, sesuatu dalam dirinya membuat ia terlihat menarik. Itu adalah kali kedua pertemuan mereka. Dan kedua-duanya membuat ia terkesan.
Ia berharap dapat bertemu dengannya saat kunjungannya semalam tapi ia justru harus menghadapi sikap dan ramah tamah tuan rumah dan anaknya yang terlalu berlebihan.
Sepanjang pertemuan itu ia berharap bahwa Elsa akan masuk ruangan seperti cara dia di malam sebelumnya. Namun, ia harus kecewa karena, walaupun Elsa telah pulang ternyata ia tak tertarik untuk bergabung dengan mereka. Ia lantas segera berpamitan dan pulang. Sungguh wanita yang sangat membuat penasaran. Di lain pihak ia bertanya-tanya apa sebab kakeknya menitipkan pesan kepada sekertarisnya agar mengunjungi rumah itu. Ia menerima ultimatum itu pada hari pemakaman.
Seminggu sebelum ia mulai bekerja pada perusahaan kakeknya. Ia bersama sekertaris kakeknya berkunjung kerumah yang disebutkan. Disana ia disambut oleh seorang wanita paruh baya yang anggun tapi plin plan dan kaku. Wanita itu mengatakan bahwa ia hanya memiliki seorang anak perempuan dan saat ini bekerja sebagai stylish di permodelan. Ia meragukan kemungkinan bahwa kakeknya mengenal seseorang dari bisnis itu. Bukan kebiasaannya. Namun, ia tidak banyak bertanya dan langsung mengajukan pertemuan berikutnya.
Dalam seminggu itu ia hanya mengunjungi rumah itu sebanyak 4 kali. Sebab ia harus mempersiapkan banyak hal terkait dengan kepindahannya ke indonesia juga karena ia akan bekerja di perusahaan kakeknya. Dan dalam 4 hari itu ia tak pernah sekalipun melihat orang lain selain Ibu dan anaknya.
Kesan pertama bertemu dengan Maya adalah ia cantik dan sangat fashionable, kemungkinan itu karena tuntutan pekerjaannya. Ia juga melihat cincin di jari manisnya dan menyimpulkan bahwa ia kemungkinan sudah bertunangan baik formal atau nonformal. Entah itu hanya aksesoris atau benar-benar cincin tunangan.
Pada hari kedua ia mengamati cincin itu tak lagi berada disana. Tapi, ia merasa janggal karena bekas cincin itu tergambar jelas disana. Putih pucat. Semakin meyakinkannya bahwa pemikirannya benar. Dan ia pun yakin bahwa wanita ini adalah jenis yang harus dihindari. 'Gold digger' terlintas dalam benaknya.
Malam ketika ia di perkenalkan dengan Elsa adalah malam ketika ia akhirnya bertanya tentang kekasih Maya yang sebenarnya. Ia ingin memastikannya secara langsung. Ia juga ingin menegaskan bahwa posisinya saat ini bukanlah kekasih dan hanya kenalan. Jadi tak perlu sungkan untuk mengakui kebenaran itu. Namun baik Maya atau ibunya, mereka dengan keukeuh membantah hal itu. Karena tak ingin memperpanjang masalah, jadi Kennan membiarkannya saja.
Saat itulah Elsa muncul. Kesan pertamanya terhadap wanita itu adalah tidak ada. Wanita itu sopan dan sangat tertutup. Ia hanya diam saat Ibu dan anak itu berceloteh. Ia tak banyak tingkah, ia tak berusaha menarik perhatiannya. Tidak juga diam-diam melirik kearahnya. Ia tau semua itu sebab sepanjang pertemuan itu ia kerap kali mencuri pandang kearah wanita itu. Ia tak seperti Maya pada saat pertama kali bertemu dengannya. Genit dan berusaha menyenangkannya. Yang justru semakin membuatnya risih dan tidak nyaman.
Ia juga tahu bahwa, Elsa hanya sesekali menatap Maya dengan pandangan yang tak bisa di baca. Tak ada emosi disana, tapi ia yakin ada sesuatu dalam tatapannya yang justru membuatnya semakin penasaran tentang wanita itu. Dan saat ini pun tetap sama. Ia penasaran
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Mine
RomanceMe and mine Lihat! Apa yang telah kau lakukan padaku... By : Zaya Nara