Kennan sedang membaca di perpustakaan, ketika mendengar ketukan ringan diluar ruangan itu. Sesaat kemudian kepala pelayannya muncul dan berjalan menghampirinya. Di tangannya Ia memegang secarik kartu.
Lalu menyodorkan kartu nama itu kepada majikannya. Kennan menerima dan melihatnya, raut wajahnya tidak menunjukan apa-apa. Tapi kepala pelayan itu tahu bahwa majikannya tidak suka di ganggu.
"Seorang wanita memaksa bertemu dengan tuan" jelasnya
"Kalau tuan mau saya bisa menyuruhnya pulang". Dan entah kenapa Kennan tahu bahwa maksud kalimat "menyuruhnya pulang" adalah "mengusirnya". Kepala pelayannya itu terlalu sopan untuk berbicara blak-blakan.Ia memikirkan usul itu. Sebab ia sendiri tidak ada keinginan bertemu siapapun hari ini. Banyak yang harus ia kerjakan. Padahal sekertarisnya bisa melakukan itu untuknya. Pak Ilham, akan senang melakukannya. Pikirnya.
Namun, disisi lain. Selalu saja Maya mengingatkan ia tentang Elsa. Mungkin karena mereka tinggal bersama. Oh....tiba-tiba ia mendapatkan gagasan yang kemudian membuat semangat dan senyumannya muncul.
"Tidak, biarkan wanita itu masuk. Saya akan kesana 10 menit lagi. Juga siapkan kendaraan saya segera."
"Siap tuan"***
Sebenarnya ia sudah mau pulang bahkan sebelum 10 menit menunggu. Ia merasa bahwa itu hanya akal-akalan si pelayan agar terlihat sopan tapi juga tidak kurang ajar. Menyuruhnya menunggu, huh!. Keterlaluan!.Tapi beruntungnya ia, ketika tahu bahwa Tuan rumah bersedia menemuinya. Ia pun diantar masuk ke ruang tamu yang menurutnya sangat-sangat besar dan mewah. Semua perabotannya terlihat berkualitas dengan harga yang melampauhi jangkauan taksirannya, karpetnya tebal dan halus, semua hiasan dan bahkan lukisan dinding pastilah sangat berharga dan mahal. Pandangannya sangat di manjakan, ia bahkan telah melupakan rasa kesal karena di buat menunggu. Well, ini sepadan. Katanya dalam hati.
Ia lalu di persilahkan duduk. Ia dengan hati-hati melakukannya bermaksud agar tak merusak lapisan mahal sofa lembut tersebut. Padahal kalau di pikir-pikir ia tak perlu melakukannya.
Ia dijamu dengan teh berkualitas tinggi serta di temani berbagai macam kue kering yang sangat menggugah selera hanya dengan melihat tampilannya saja.
Dan diam-diam merasa malu mengingat bahwa ketika Kennan berkunjung di kediaman mereka. Ia hanya di jamu dengan jamuan yang sederhana dan bahkan tak sebanding dengan jamuannya saat ini. Kemudian suatu gagasan muncul dalam benaknya. Ia berfikir akan melakukan yang terbaik lain kali. Lalu senyumnya pun mekar.
Setelah merasa puas telah melayani tamunya. Para pelayan pun meninggalkan tamu itu seorang diri.
Merasa yakin ia telah sendiri. Maya kembali memeriksa riasannya. Memastikan semua pada tempatnya. Memang mau kemana lagi?
Jika saja ia tipe wanita yang banyak makan pastilah semua jamuan di hadapannya sudah habis. Namun, ia bukan tipe wanita seperti itu. Ia selalu berusaha keras mempertahankan berat badannya. Berbeda dengan sepupunya yang kalau mau memakan semua jamuan di meja ini, berat badannya tetap akan sama. Ideal. Pikirnya merasa Iri.
Pikirannya masih terus melayang, ketika seseorang memasuki ruangan itu. Kennan, katanya dalam hati. Ia di ikuti oleh seorang pria paruh baya. Yang dengan samar-samar mendengar memanggil Kennan dengan sebutan 'tuan'.
Ia berdiri menyambut pria itu. Sangat takjub, hingga ia sulit berkata-kata. Reno di bandingkan pria ini tak ada apa-apanya. Wajah, status, materi dan keturunan, ia memiliki segalanya. Segala yang Maya ingin dan butuhkan. Mereka akan menjadi pasangan yang sangat membuat iri setiap manusia yang melihat mereka. Cantik dan tampan. Pasangan serasi. Senangnya.
Ia terus tersenyum, dengan pikirannya sendiri. Sementara Kennan telah duduk di hadapannya. Pria itu mengamatinya dengan seksama, hingga membuat Maya tersipu dan merona. Ia malu sendiri dengan pikirannya yang terlampau jauh itu.
Tanpa ia sadari orang yang mengikuti pria itu telah tiada. Sekarang hanya tinggal mereka berdua saja.
"Maaf menunggu" kata Kennan.
"Tidak, saya yang salah, tidak mengabari dulu" ia mengatakan itu dengan nada bersalah yang di buat-buat.
Ia harus menjadi wanita pengertian yang lembut. Ia merasa Kennan menyukai tipe wanita seperti itu, sebab sikap pria itu kepadanya pun demikian lembut, sangat pengertian.
Mendengar jawaban itu, pria itupun tersenyum padanya. Seperti dugaannya."Belakangan ini saya sibuk jadi selain urusan pekerjaan saya tidak ingin terganggu"
Maya merasa entah kenapa seharusnya ia tersinggung di sebut "penganggu". Tapi, demi aktingnya, ia akan terus bersikap seolah-olah tidak tahu maksud perkataan pria itu. Ia sangat yakin dengan kepribadian lembut Kennan yang tak mungkin akan menolak kehadirannya disini.
"Nggak masalah, saya paham kok" masih dengan lemah lembut.
"Begitu" jawab pria itu dengan asal.
"Mama nanyain kenapa udah nggak pernah kerumah lagi?"
"Kalau gitu kenapa nggak kerumah kamu saja?"Jawaban pria itu tak di duganya. Ia tak ingin mereka kerumah. Ia tak mungkin terang-terangan menggoda pria itu dirumah sepupunya yang mungkin saja akan terlihat oleh si mboh. Memikirkan hal itu membuatnya malu. Pertanyaan basa basi itu menjebaknya. Lagi pula, ibunya mungkin tidak disana. Ia semakin cemberut mengetahui mungkin saja Elsa berada dirumah.
"Tapi..."
"Kamu nggak mau"
"Mana mungkin"
"Kalau gitu kenapa?"
"Kamu pasti mati kebosanan?"
"Wah, kalau gitu selama saya kerumah kamu seharusnya saya sudah mati di hari pertama"
Godanya.Mendengar hal itu, menaikkan level kepercayaan dirinya. Ia memutuskan untuk tak ambil pusing dengan tanggapan Elsa dan si mboh. Biarkan saja mereka!
"Kamu kesini naik mobil yah?"
"Eh... iyah"
"Kunci mobil kamu kasih kesupir saya, kita naik mobil saya saja, nanti dia ngikutin kita"
Maya tak sanggup berpikir, ia sedang sangat senang jadi dengan mudah ia mengikuti semua perkataan pria itu.Dalam perjalanan kerumahnya. Meskipun berada dalam satu mobil tapi Kennan tak banyak bicara. Selalu saja ia yang memulai semua percakapan itu.
Tidak masalah,pikirnya. Setelah sampai rumah, ia akan memaksa pria itu mengakui bahwa Maya tak bisa di tolak!.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Mine
RomanceMe and mine Lihat! Apa yang telah kau lakukan padaku... By : Zaya Nara