Bab 05 Bingung

11.3K 3K 207
                                    

Tubuhku terasa lebih sehat setelah tidur hampir seharian. Aku juga tadi saat dari rumah sakit dibangunkan Pak Atma. Aku malu tertidur di dalam mobil. Hanya saja Pak Atma memang langsung pergi setelah mengantarkanku sampai rumah. Setelahnya aku langsung tepar di dalam kamar.

Menjelang maghrib, ibu membangunkanku. Menyuruhku shalat dan bersiap menerima kedatangan keluarganya Pak Atma. Saat itulah aku menjelaskan kepada ibu kalau aku tidak ingin dijodohkan seperti ini. Apalagi mengingat Pak Atma adalah atasanku. Semuanya akan canggung. Terlebih aku masih 20 tahun. Masih terlalu muda untuk menikah.

Hanya saja ibu bilang, ayah dan ibu tidak memaksa. Acara malam ini hanya sebuah acara perkenalan antara aku dan Pak Atma. Sungguh, aku masih tak nyaman.

Saat memakai hijab di depan cerminlah aku baru tersadar. Astaghfirullah.

Mataku melebar melihat sosok diriku yang kini masih setengah memakai hijab. Ingatan tadi pagi saat Pak Atma masuk ke dalam kamar membuat aku langsung menutup wajahku dengan tangan. Saat itu aku tidak mengenakan kerudung, berarti Pak Atma melihat rambutku?

Astaghfirullah. Kenapa aku baru sadar sekarang?

******
"Kamu kenapa to nduk? Wajahnya mbok jangan cemberut terus. Malu sama keluarganya Sofia sama Mas Aslan. Mereka udah jauh-jauh  ke sini loh."

Bisikan ibu membuat aku hanya terdiam. Malam ini, tepat setelah Isya', rombongan keluarga Pak Atma datang. Ada Om Aslan dan Tante Sofia yang ternyata sahabat ibu saat bekerja dulu.  Ibu langsung akrab dengan Tante Sofia yang sangat cantik dan ramah itu. Sedangkan Mas Serkan datang bersama Mbak Jenny, istrinya. Mereka langsung menyapaku dengan akrab. Suasana sedikit mencair memang dengan keberadaan mereka. Om Aslan juga sudah mengobrol akrab dengan bapak. Yang tidak membuka suara sedikitpun sejak datang juga pria yang tadi pagi menerobos masuk ke dalam kamarku secara tidak sopan itu. Dialah Sang bos.

Pak Atma tampak rapi dengan kemeja lengan pendek warna putih. Sosoknya memang terlihat lebih manusiawi daripada saat dia di hotel. Kali ini lebih dapat disentuh. Hanya saja dia tidak tersenyum atau bahkan menatapku. Padahal dia berada persis di depanku.

Owh iya si Romeo, adik tengilku itu juga sudah akrab dengan Lusi, si bungsu dari keluarganya Pak Atma. Mereka malah sudah cekikikan bermain kembang api di halaman rumah.

"Eh Mel, nggak nyangka ya anak kita akhirnya.."

Celetukan Tante Sofia membuat aku menatap mamanya Pak Atma itu. Ibuku malah kini tersenyum senang.

"Iya Mbak, nggak nyangka ya? Chit chat kita dulu. Eh anaknya Mbak Asih ada juga yang naksir Jovanka. Tapi ndak tak kasih ijin. Lha nanti malah disuruh pake bulu mata palsu piye?"

Terdengar tawa renyah dari kedua orang tua kami itu. Sedangkan Mas Serkan malah kini asyik berbicara dengan istrinya. Mereka ini memang masih tergolong pengantin baru. Baru satu tahun menikah.
Bapak sudah bermain catur dengan Om Aslan di pojok ruang tamu. Kalau sudah seperti itu pasti bapak nggak mau diganggu.

Jadi acara ini tuh memang bukan lamaran resmi. Saat pertama datang tadi keluarganya Pak Atma cuma bilang sama aku, kalau harus menikah sama Pak Atma karena sudah dijodohkan. Tapi selebihnya itu keputusan kami berdua. Dan sekarang rumahku malah seperti tempat reuni ibu dengan Tante Sofia. Aku dan Pak Atma dibiarkan diam saling berhadapan. Kaku banget.

"Mah.."

Suara Pak Atma membuat Tante Sofia yang masih asyik ngobrol kini menoleh.

"Atma ijin mau bicara sama Jovanka."

Mendengar hal itu tentu saja aku langsung menatap Pak Atma.

"Boleh. Sana... akrabin dulu."
Itu jawaban tante Sofia.

"Nduk, diajak ke taman samping itu loh.. sana."

Dan itu celetukan ibu. Duh aku bisa apa kalau sudah begini?
Akhirnya aku beranjak dengan ragu, diikuti oleh Pak Atma. Tanpa bicara aku melangkah ke arah pintu samping yang langsung membawa kami ke taman samping rumah. Di depan kolam ikan memang disediakan kursi dari rotan untuk duduk. Hawa dingin langsung menyergap begitu aku melangkah ke arah kolam.

Suara langkah kaki di belakangku memastikan kalau Pak Atma mengikuti.
Aku duduk dan Pak Atma duduk di sampingku tapi agak jauh. Kami terdiam. Aku sendiri tidak tahu harus ngomong apalagi.

"Dingin."

Suara itu membuatku menoleh. Pak Atma sedang menangkupkan kedua tangannya ke depan. Hawa dingin memang makin menusuk. Dia tiba-tiba beranjak berdiri dan tanpa menoleh ke arahku masuk ke dalam lagi. Loh dia ngapain? Bukannya dia yang memintaku bicara? Aneh.

Aku menatap ikan-ikan koi peliharaan bapak. Biasanya aku dan Romeo yang memberi mereka makan.

Langkah kaki kembali terdengar, belum sempat aku menoleh kurasakan sebuah jaket menghangatkan tubuhku.

"Pak.."

Aku menoleh ke arah Pak Atma yang kini sudah duduk kembali. Dia sudah memakai sweater warna hitam di tubuhnya. Jadi dia mengambil jaketnya? Pipiku langsung memanas.

"Ehmm makasih."

Aku mengucapkan itu dan Pak Atma hanya diam. Matanya menatap air di kolam. Kalau begini bagaimana bisa bicara coba?

Tapi kemudian aku teringat sesuatu

"Bapak harusnya tanggung jawab sama saya. Tadi masuk kamar tanpa permisi. Saya gak pakai kerudung pak. Itu dosa."

Ucapanku tentu saja langsung membuat Pak Atma menatapku. Seperkian detik kami bertatapan. Tapi kemudian dia mengalihkan tatapannya lagi.

"Maaf."

Hanya kata maaf? Padahal aku sudah...

"Maka dari itu ayo kita menikah. Aku sudah melihat auratmu. Kamu harus jadi istriku."

Bersambung

I LOVE YOU , MR. ICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang