Cantik. 1 kata itu yang patut aku ucapkan untuk Jovanka. Wanita calon dari ibu dari anak-anakku kelak. Aku memang tidak bisa menghapuskan sosok dirinya yang kemarin memakai kebaya warna merah muda itu. Dia tampak sangat manis dengan kepolosannya dan aku menyayanginya.
Pagi ini, aku absen menemuinya karena harus bertemu dengan perusahaan properti yang akan bekerjasama dengan hotel dalam memperluas area hotel. Dari pagi hingga jam 3 sore aku tidak bisa turun ke lobi. Padahal aku tahu Jovanka shift pagi. Aku khawatir sebenarnya, dia selalu melewatkan sarapan kalau masuk pagi. Dan juga makan telat. Gadis itu terlalu tidak memperhatikan kesehatannya sendiri dan aku tidak suka.
Sampai akhirnya aku melihat sosok dirinya yang berjalan beriringan dengan Ryan. Pria yang selama ini memang menyukai Jovanka, aku tahu fakta itu sudah lama. Aku tahu gerak-geriknya setiap di dekat Jovanka. Sejak dulu, pertama kali Jovanka masuk ke hotel ini. Aku mempelajari lawan, bergerak secara perlahan. Tak kasat mata, meski sepertinya tidak melakukan apapun selama 2 tahun ini. Tapi aku menjaga Jovanka.
Sebenarnya, bukan Ryan yang membantu Jovanka mendapatkan kos, bukan. Ada aku di balik itu semuanya. Hanya saja belum saatnya aku keluar, aku masih memantau Ryan. Hanya saja, 1 tahun yang lalu dia mulai tergoda dengan kehadiran Vivi. Dia mulai mundur mendekati Jovanka, Ryan berpacaran dengan Vivi, dan itu membuatku tenang. Tapi beberapa bulan ini gelagat Ryan yang sudah ditinggal Vivi kembali terlihat ingin mendekati Jovanka. Aku tahu dia sebenarnya menyukai Jovanka dan kecewa karena tergoda oleh Vivi. Aku tidak mungkin sudi menyerahkan Jovanka kepada pria tak berpendirian itu. Maka aku mulai menampakkan diri, dan mengklaim jodohku sejak kecil itu. Jovanka milikku.
Langkahku terhenti saat tadi sore mengantar Pak William, salah satu pemilik perusahaan properti yang bersedia bekerjasama denganku. Di lobi aku bisa melihat Jovanka berjalan beriringan dengan Ryan. Jovanka tidak tahu kalau aku juga berjalan di belakangnya, dengan Pak Wiliam di sampingku. Ada Aldo, satpam bagian pintu yang memayungi kami berdua. Mobil Pak Wiliam memang di parkir di area lapangan terbuka khusus untuk tamu yang tidak menginap. Dan saat Aku mendengar ucapan I love You dari Ryan yang lantang itu, aku sempat menoleh ke arah parkiran para karyawan yang jaraknya memang tidak jauh tapi tidak cukup dekat juga. Hanya saja aku tidak bisa menyusul Jovanka yang berjalan tergesa dan kehujanan di bawah payung kecilnya, karena Pak Wiliam sedang berbicara denganku.
Aku merasa benci kepada diri sendiri, kalah dari Ryan dan membiarkan Jovanka kehujanan dan aku yakin Jovanka pasti sakit. Dan dugaanku benar adanya.
Sekarang aku berada di dalam kamar kos Jovanka, di tengah hujan yang masih mengguyur dengan lebat. Aku sendiri juga baru keluar dari hotel. Wajah Jovanka terlihat pucat, dengan kerudung warna cream yang dikenakannya saat ini membuat wajahnya makin terlihat pias.
"Bapak kok tahu kalau.."
Jovanka menggigit bibirnya dan kini menatapku dengan malu-malu. Aku sudah duduk di atas karpet di bawah kasur Jovanka, sedangkan dia kini duduk di tepi kasur.
"Aku ada di dekatmu."
jawabanku itu tentu saja membuat mata indah Jo makin membulat. Dia tampak tak bisa berkata-kata.
"Bapak mendengar.." dia mengucapkan itu dengan lirih tapi aku bisa mendengarnya.
"Sudah aku bilang aku ada di dekatmu."
Aku kini menatap Jovanka yang makin membenamkan dirinya di dalam selimut tebal yang kini menyelimutinya.
"Jadi saat Mas Ryan mengucapkan..." Kuangkat alisku mendengar ucapan Jovanka. Tapi kemudian dia menggelengkan kepala.
"Saya gak menjawab kok pak. Saya tidak.."
Jovanka kini tampak gelisah, lalu dia beringsut untuk bersandar di dinding kamarnya. Dia tampak lelah. Aku jadi merasa iba.
KAMU SEDANG MEMBACA
I LOVE YOU , MR. ICE
ChickLitAku tidak pernah bermimpi bertemu dengan pria yang dingin, berpendirian kuat, dan benar-benar lempeng jalannya. Tapi di sinilah aku berada. Jatuh cinta dengan pria yang dijodohkan denganku, pria yang sejak pertama datang sudah membuat beku semuanya...