Chapter 10

21 2 0
                                    

Setelah adegan latihan bela diri itu, kini tubuh Nayla sukses merasakan pegal tak terkira. Sepulang dari latihan bela diri, Nayla langsung mengunjungi restaurant. Sekitar 3 jam ia berada disana, berbincang dengan Keira, melihat laporan pemasukan dan pengeluaran untuk bulan sekarang. Barulah pukul 5 sore Nayla kembali ke kontrakan. Lebih tepatnya ia sekarang masih terbaring di sofa. Mungkin karena terlalu lelah hingga akhirnya ia tertidur disana.
Meskipun malas, tapi Nayla sekeras mungkin mengusir balatentara syetan yang masih membelenggu jiwanya. Sekuat tenaga Nayla bangun, merengganggkan otot-ototnya dan kemudian beralih ke kamar mandi.
"Gara-gara tuan salju itu badanku jadi sakit semua" gerutu Nayla setelah membasahi wajahnya saja.
Setelah sholat, Nayla melipat mukenahnya. Wanita itu kini melantunkan ayat-ayat suci alquran, lagu hijaz mengalun dengan syhadu dari mulut Nayla. Kemudian menciumnya dan meletakkan kembali alquran itu ke nakas samping tempat tidurnya.
Hari ini Nayla kembali berkativias seperti semula. Masuk kuliah seperti biasanya. Hijab pastel yang dipakai Nayla sekejap tertiup angin, namun dengan segenap semangat wanita itu tetap membelah trotoar agar segera sampai di kampus.
Saat Nayla menginjakkan kakinya disalah satu kampus tertua di Amerika Serikat itu, pikirannya langsung beralih pada pertemuan pertama kalinya dengan Christian. Pria yang tak diduga adalah cucu kakek Carlote. Andai Nayla tahu dia dibagian fakultas mana, pasti sudah Nayla hampiri pria itu. Untuk menuduhnya sebagai pengirim misterius itu, belum ada cukup bukti. Tapi selangkah lagi semuanya akan terbongkar.
Buugghhh!!!
"Awww...!!!" Nayla berteriak, tubuhnya sudah tersungkur ke bawah.
"Sudah ku katakan gunakan tubuhmu dengan baik, apa kau tidak bisa menyayangi tubuhmu?!" entah dari mana tiba-tiba Qiu hadir tepat disaat Nayla terjatuh. Mungkin karena pikirannya yang tak mau beralih dari Christian. Nayla berdiri dengan wajah yang meringis kesakitan. Batu yang tidak terlalu besar itu sukses membuatnya jatuh seperti anak kecil.
Nayla menghela napasnya, kemudian mneghembusnya kasar.
"Entah sejak kapan kata-kata kasarmu akan lenyap dari bumi ini" sindir Nayla sembari melihat telapak tangannya yang sedikit lecet.
"Diam kau! Perlihatkan tanganmu!" ucap Qiu datar.
"Saya tidak apa-apa" sahut Nayla santai.
"Obati lukamu, atau nanti kau akan infeksi" tutur Qiu sembari menyerahkan kotak P3K kecil ketangan Nayla.
"Kau bawa ini?" tanya Nayla sekejap menatap kotak P3K, kemudian kembali menatap Qiu tidak percaya.
"Kau meremehkanku?" suara Qiu naik dua oktaf.
"Tidak, saya hanya bertanya tuan, kau hanya perlu menjawab iya atau tidak" sambung nayla tak henti menyindir Qiu.
"Selepas kuliah, jangan pulang dulu ada sesuatu yang ingin saya bicarakan"
Nayla mengangguk, kemudian keudanya berjalan berjauhan Qiu didepan sedangkan Nayla dibelakang.
******
Awan indah membungkus kota Cambridge. Sekali lagi, awan indah ini tak pernah mengkhianati langit. Rasanya kedua mata ini enggan untuk beralih pada pemndangan yang lain. Bahkan awan yang berakar-arak nyaris tak terlihat, meskipun kepulan asap masih bermunculan dimulut setiap insan.
Selepas kuliah Qiu benar-benar menepati janjinya. Sebuah bus ia hentikan, sayang sekali bus itu terlalu banyak penumpang. Nayla yang hanya berada dibelakangnya mau tidak mau harus mengikutinya.
Qiu sadar, jika hanya menghentikan taxi tentu Nayla tidak mau. Dan alasan itu tidak perlua ia tanyakan lagi, karena ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Padahal dalam mobil taxi itu ada seorang supir, tapi dahsyatnya tolakan Nayla membuat Qiu tak bisa berbuat apa-apa.
Benar-benar sial, hanya satu kursi yang tersisa. Qiu menatap Nayla tajam.
"Duduk!" titahnya yang hanya menggerakan kepalanya setengah.
"Tidak kau saja" sahut Nayla menolak santai.
"Kau mau mempermalukan saya karena tidak menghargai wanita?"
"Ok, baiklah tuan salju"
Naylapun duduk, sedangkan Qiu berdiri sembari memegang pegangan yang sudah disediakan. Pria itu hanya menatap ke depan, tak ada pembicaraan disana. Semuanya diam membisu, hanya dinginnya kota Cambridge yang membelenggu mereka.
Entah karena supir itu tidak bisa menyetir atau dia mengantuk. Tiba-tiba mengerem mendadak. Sontak Nayla yang hampir tersungkur ke depan dengan sigap tangan Qiu mneghalangi agar ia tidak terjatuh. Keduanya saling menatap, sepersekian detik dan Nayla langsung mengucapkan istigfar. Tidak hanya mereka yang hampir jatuh, tapi penumpang lainpun juga ikut berteriak. Beruntunglah tidak ada yang terluka. Supir yang dengan wajah bersalah langsung meminta maaf seketika.
Suasana canggung mulai terlihat.
"Seharusnya kau belajar lebih dari bela diri itu" ucap Qiu mencairkan suasana.
"Maksudmu?"
"Setidaknya kau bisa menopang tubuhmu sendiri"
"Jika saya tahu akan jatuh seperti tadi tentu hal ini tidak akan terjadi"
"Wanita sepertimu memang selalu ingin menang"
"Apa kau bilang?!"
Selang beberapa menit keduanya turun dari bus. Diikuti Nayla dari belakang layakanya seorang pengawal. Sampailah mereka pada suatu tempat yang sebelumnya belum pernah Nayla kunjung. Bukan lagi tempat kedai yang menjadi pertemuan mereka. Sesekali Qiu menoleh ke kanan dan kekiri.
"Kenapa bukan di kedaimu?" tanya Nayla bingung.
"Gunakan otakmu baik-baik nona, kau tidak pernah tahu bahwa kita sering diintai?"
"Benarkah?" bola mata Nayla membulat.
"Itulah kenapa kau harus belajar menjadi orang cerdas seperti saya"
"Oh ayolah jangan bercanda, apa kau tahu siapa yang sedang mengintai kita. Apa mungkin dia Christian?" tebak Nayla.
"Entahlah, jaket tebal dan maskernya selalu menjadi penghalang"
"Apa warnanya juga hitam?" Qiu mengangguk.
"Saya yakin pasti dia Christian" sambung Nayla lagi.
"Kita hanya belum punya banyak bukti untuk menuduh dia sebagai pengirim pesan misterius itu" tutur Qiu dengan suara pelan. "Mungkin dengan misi ini kita bisa berhasil menangkapnya"
"Apa?"
Kembali Qiu menoleh ke kanan dan kekiri memastikan bahwa tak ada orang yang mengintainya.
"Apakah pemuda misterius itu masih sering mengirimmu pesan?"
"Ya"
"Kau tidak pernah mencoba untuk menelponnya?"
"Pernah, tapi selalu tidak aktif"
"Kau tahu, ketika saya pura-pura menjauh dari kakek Carlote pesan misteriu itupun berhenti tidak menggangguku. Tapi setelah itu saat saya mulai membantu kakek Carlote barulah pesan itu muncul kembali. Salah satu orang yang menentang semua itu adalah Christian, untuk itulah saya sangat yakin bahwa dia adalah pengirim pesan misterius itu" jelas Nayla panjang lebar.
"Kita harus bisa menangkapnya" yakin Qiu.
"Bagaimana caranya?" tanya Nayla bersemangat.
"Dia sendiri yang akan menunjukkan wajahnya"
"Maksudmu?" sekali lagi Nayla tidak paham apa yang dikatakan Qiu.
"Kau harus bisa memancingnya. Sebenarnya ini terlalu berbahaya, tapi saya yakin kau bisa" Nayla semakin serius mendengarkannya.
"Apa resikonya saya akan meninggalkan mama selamanya?" tanya Nayla menahan ketakutan.
"Bisa jadi" ucap Qiu santai. "Kenapa kau ragu? Tenanglah saya tidak akan membiarkanmu begitu saja" tambah Qiu membuat Nayla sedikit merasa tenang. "Tepat pukul 7 malam kau harus ke rumah kakek Carlote, pura-pura datang untuk mengunjunginya. Saya yakin disetiap sudut ruangan kakek Carlote terpasang CCTV hingga dia dengan mudah melihat segala aksimu"
"Bagaimana bisa kau mengetahuinya?"
"Bukan waktunya untuk bertanya. Kau harus melakukan apa yang saya perintah. Dengan begitu nanti pemuda itu akan muncul" Qiu menarik napas kemudian melanjutkan pembicaraannya. "Sekitar pukul 8 malam maka pemuda itu akan datang ke rumah kakek Carlote, dan selanjutnya mengirim pesan padamu. Aku sudah menduga ini akan terjadi" yakin Qiu percaya diri.
"Apa semua ini akan berhasil?"
"Tidak ada salahnya mencoba bukan?" Qiu meyakinkan Nayla, dan wanita itu hanya mengangguk.
"Baiklah, saya akan lakukan apa yang kamu perintah"
"Kau tidak perlu takut, karena saya akan ada disana. Kau hanya perlu memakai ini" Qiu mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna hitam. "Jangan melakukan tindakan bodoh, mengerti? Cukup kau katakan apa saja jika melihat sesuatu yang mencurigakan"
Nayla menatap Qiu penuh keyakinan.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Qiu yang menyadari aksi Nayla. Wanita itu membenarkan posisinya.
"Terkadang saya berpikir, kau ini makhluk seperti apa. Tapi saya akui, kali ini kau bukan orang penjahat, meskipun sifat saljumu masih terlihat. Tapi jangan terlalu percaya diri, karena bisa saja suatu saat saya menarik pujianku ini" ucap Nayla.
"Wanita aneh! kau pikir saya suka dengan pujianmu?"
Nayla menghela napas. Baru saja ia memuji tuan salju itu, sifat aslinya sudah muncul kembali.
"Lantas setelah pemuda itu mengirim pesan, apa yang akan saya lakukan?" tanya Nayla tidak mengerti.
"Kau buat dia semakin marah, katakan apa saja yang ingin kau katakan padanya, dengan begitu dia akan muncul"
"Apa kau yakin ini akan berhasil, bagaimana jika dia lebih pintar dari kita?"
"Setidaknya kita sudah berusaha"
"Saya pernah melacak nomor ini, tapi hasilnya nol besar. Dia sangat licik" sahut Nayla mengadu.
"Baiklah, mungkin ini salah satu jalan keluar untuk menguak semuanya. Apa kau siap?"
Nayla mnegangguk yakin. Setelah itu meraka berdiri, menghampiri para kasir yang ramah dan membayarnya. Keduanya kini kembali menghentikan sebuah bus yang akan mengantarkan mereka pulang.
Beruntunglah sebab bus ini tidak seramai yang tadi, hanya mereka berdua yang menjadi penumpang. Meskipun begitu, keduanya tidak duduk secara bersama, lagi-lagi kecanggungan tercipta. Qiu berada didepan Nayla. Hanya kepala Nayla yang terlihat oleh Qiu. Entah apa yang tengah dirasakannya.
Misi kali ini bisa dikatakan sangat berbahaya. Sebab Qiu menyuruh Nayla untuk memunculkan pengirim misterius yang asli. Sebenarnya Naylapun tidak sabar ingin melihat siapa sosok dibalik itu semua.
Senja indah membungkus kota Cambridge, kota dengan sejuta sejarah yang menakjubkan. Nayla yang sedari tadi melihat pemandangan dengan pohon-pohon hijau ditepi jalan raya tersontak kaget karena tiba-tiba ada seorang pria duduk disampingnya.
Nayla menatap pria itu mulai tidak nyaman. Bukan hanya dia tapi Qiu juga demikian.
"Apa kau sendiri disini?" tanya pria itu berbahasa inggris. Nayla tidak menggubris.
"Maukah kau menemaniku malam ini nona?" Nayla menelan ludahnya secara paksa. Qiu yang mendengarkan itu mulai geram.
"Jangan terlalu jual mahal, wanita sepertimu ini banyak diluaran sana"
Ia sontak berdiri menghampiri pria itu dengan tatapan yang tajam.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya pria itu tatkala melihat Qiu masih diam, namuan dari isyarat wajahnya bahwa ia sedang menahan amarahnya.
"Cepat pergi atau kau akan mati disini!"
"Kau siapa?" tanya pria itu santai.
Qiu mulai kehabisan rasa sabar. Kedua tangannya mengepal dengan kuat.
"Saya tidak main-main dengan ucapanku, saya ingatkan lagi. Jika kau masih menyayangi hidupmu maka cepatlah pergi!" tegas Qiu sembari mencengkram kerah jaket pria itu. Sangat jelas, bahwa ia ketakutan lantas pergi dan langsung menghentikan bus.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Qiu menyembunyikan rasa khawatirnya. Nayla mengangguk dua kali.
Tidak ada pembicaraan sepersekian detik dari keduanya. Hanya suara deru bus yang terus berjalan membelah jalan raya.
Bus itu berhenti disekitar gang menuju kontrakan Nayla. Sementara Qiu memperhatikan Nayla yang sudah turun dari bus.
"Jangan lupa kau pasang benda itu!" ucapnya datar. Nayla hanya tersenyum kemudian mengangguk.
******

Keajaiban Di langit CambridgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang