"Adinda Assegaf!"
Sebuah interupsi keras dari dosen saat Dinda kehilangan konsentrasinya terhadap mata kuliah hari ini. Lamunan membawanya pada ribuan kenangan indah bersama mantan kekasihnya, Alea.
"Ya, Bu?" sahutnya ketika ia menyadari kekonyolannya.
Dosen tersebut menggelengkan kepalanya saat melihat wajah sendu Dinda yang pucat dan sorot matanya kosong.
"Materi dari saya tidak pernah seburuk ini untuk Adinda Assegaf. Saya rasa hari ini cukup sampai di sini. Selamat malam, terimakasih."
Kelas malam akhirnya ditutup berkat Dinda, mahasiswi populer dengan kecerdasan di atas rata-rata yang dibicarakan hendak menerima kesempatan student exchange ke luar negeri.
Semua orang menatap Dinda penuh tanya. Gadis manis berkacamata itu memeluk buku-buku teorinya menyusuri koridor kampus. Ia tampak berbeda hari ini, namun yang sama adalah Adif tetap selalu berusaha mendekatinya.
"Din." sapa Adif, memperhatikan Dinda yang lebih pendek itu dari samping.
"Lu kenapa?"
Dinda tak memberi Adif jawaban, hanya terus jalan dalam diam.
"Udah makan belum? Makan yuk? Gue beliin apa aja yang lu mau deh! Mau apa? Mau apa? Sini-sini bilang sama abang!"
Dinda masih tak menggubris. Kali ini makin menunduk, dan mungkin mulai muak terhadap keberadaan Adif di sampingnya.
Kondisi hati Dinda sama sekali tidak baik. Benci rasanya bila Adif masih berusaha mengganggunya. Mungkin Dinda tau ini adalah usaha Adif untuk mendapatkan hatinya, tapi yang ia tau kini ia sudah tak punya hati. Alea telah menghancurkannya berkeping-keping dan tak tersisa lagi untuk siapa pun.
"Din?"
Langkah kaki Dinda berhenti, ia melihat ke depan sejenak untuk memastikan ke arah mana lagi harus berjalan.
"Adin!"
Sayang sekali Adif berani membuat Dinda menghentikan langkahnya dengan menahan lengannya. Itu membuat Dinda menoleh, melihat Adif di belakangnya yang memberi tatapan penuh harap.
"7 tahun, gue nungguin lu, Din. Please, kasih gue kesempatan sekali aja. Please, Din?"
Adif seorang putra dari keluarga terpandang. Ayahnya masuk di jajaran kursi pemerintahan, ibunya pun demikian, sekaligus banyaknya perusahaan yang dimiliki mereka.
Jika bukan karena Dinda, Adif tidak mungkin melanjutkan pendidikan di Indonesia. Ia memutuskan masuk di kampus yang sama dengan Dinda, hanya karena ia sangat menyukai Dinda sejak lama.
"Jangan abu-abu sama gue, please. Gue akan lakukan apa pun buat lu. Apa-aja!"
Nyatanya memang Adif melakukan apapun untuk Dinda. Semua hal baik telah ia buat untuk Dinda. Banyak pengorbanan yang Adif lakukan demi Dinda. Tapi seorang pria tidak akan pernah mengerti perasaan Dinda yang sebenarnya. Dinda yang nyatanya terjebak dalam cinta yang menyakitinya saat ini.
Dinda melirik lengannya yang Adif tahan. Ia menghela napas panjang, lalu memandang wajah Adif. Di situ ia melihat kesungguhan di mata Adif. Bibir Dinda bergetar, ia sudah cukup terluka kemarin. Dan hari ini Adif lagi-lagi membuat kepalanya sakit.
"Adif, sebaik apapun lu sama gue, nggak akan ngebuat gue cinta sama lu. Seburuk apapun lu sama gue, juga nggak akan ngebuat gue benci sama lu. Paham, kan?"
Adif terdiam, ia nyaris menitikkan air mata. Namun pria tidak boleh lemah. Adif berusaha menahan emosinya, ia terlalu mencintai Dinda.
"Please, cari orang lain. Gue sama sekali nggak bisa nerima perasaan lu. Dan semua kebaikan lu selama ini, gue usahakan buat ganti dan balas itu semua. Tapi tidak dengan cinta. Gue nggak bisa kasih itu. Oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacamata Adinda
General Fiction10 tahun lalu, Adinda Assegaf menyaksikan banyak kisah di balik kacamata bersama pahitnya kopi hitam. Adinda-ku sayang... Adinda-ku malang...