4. Dara Riyadi

694 110 17
                                    

Matahari nyaris tinggi, namun tubuh yang lemah tak bisa memenangkan pertarungan antara harus bangkit atau tetap berbaring di atas tempat tidur.

Falian membuka matanya perlahan, menyadari dirinya tidak sedang berada di kamar rumahnya sendiri. Melainkan kini di sebuah kamar asing, yang ia ingat terakhir kali semalam tubuhnya terbaring di dalamnya dengan lemah, bersama seseorang.

"Fal? Udah bangun?" sapa sosok lembut yang baru saja masuk, menutup pintu kembali dengan sebelah tangan membawakan segelas susu hangat.

"Dinda?" kaget Falian.

Bukannya lupa, tapi Falian heran karena Dinda berbuat lebih padanya.

Kemarin, sehabis menangis tersedu-sedu di dekat mushola gedung FISIP kampus Dinda, Falian diajak pulang ke rumah kost. Niatnya pun tersambung untuk sekaligus mencari Manda yang tak muncul-muncul sejak kemarin. Sayangnya, Falian sudah merasa lelah dan dipinta untuk menginap oleh Dinda untuk semalam saja.

"Nih, diminum. Kamu lemes banget dari kemarin. Disuruh makan malah nggak mau." perintah Dinda, menyodorkan segelas susu pada Falian yang tersenyum getir.

"Makasih banyak ya, Din. Maaf aku ngerepotin." sesal Falian sebelum mulai meneguk pelan-pelan susu buatan Dinda.

"Nggak papa, Fal. Kasian kamu lagian."

Falian hanya tersenyum sendu. Melihat itu, Dinda bisa merasakan bagaimana sedihnya Falian saat ini.

Manda memutuskan hubungan secara sepihak dengan Falian tanpa alasan yang jelas. Lalu marah-marah tidak biasa, mencari-cari kesalahan yang dibuat-buat, tak memberi kabar, intinya berusaha meninggalkan Falian. Hal ini mungkin bukan pertama kalinya Falian menerima perlakuan demikian dari Manda. Tapi kali ini bisa dibilang yang terbesar. Falian tidak pernah terluka lebih dari ini.

Di situ Dinda mulai ingin masuk semakin dalam pada sosok Falian yang semakin malang, semakin mengagumkan bagi Dinda. Kesetiaan tidak murah, justru sangat mahal. Dinda memahami itu, dan ia sangat amat menghargai Falian yang setia kepada sahabatnya.

"Istirahat dulu, Fal. Mungkin aja Manda nanti dateng. Kalau ada apa-apa, biar aku bantuin ngomong ya?"

Falian tersenyum pasrah lalu mengangguk pelan sebelum meneguk lagi susunya hangatnya hingga habis.

Mungkin yang tampak adalah Falian berusaha bersikap tenang. Tapi Dinda bisa melihat Falian kali ini sedang hancur. Meski begitu, tak banyak yang bisa diungkapkannya. Hanya sebatas kesedihan yang terukir di wajah manisnya akibat ulah Manda.

"Mungkin aku memang seburuk itu, Din."

"Maksud kamu?"

Lagi-lagi Falian tak menyalahkan Manda. Sekali pun yang salah adalah Manda, ia menyalahkan dirinya sendiri. Mengaku punya banyak kekurangan sehingga Manda meninggalkannya. Dia merasa tidak pantas dan tidak cukup berkembang untuk sanggup mempertahankan orang yang ia cintai.

"Aku paham, aku nggak cukup pantes buat dia, Din. Semua yang deketin dia, orang berada. Cowok-cowok keren ibukota. Kalau mau, Manda bisa pilih yang mana aja yang dia suka." ungkap Falian, memandang kosong ke arah depan.

Dinda benci mendengar ini, ia merasa sedih. Rasanya tak suka bila ada sosok yang baginya sempurna, malah berkecil hati di depannya. Tidak, bukan lagi sempurna, tapi Falian adalah seseorang yang selama ini Dinda harapkan. Falian adalah cerminannya.

"Kamu udah cukup baik, Fal. Kamu udah usaha. Jangan kecil hati. Batas kemampuan seseorang kan beda-beda? Sepatutnya, kamu perlu dihargai. Paling tidak, diri kamu sendiri. Jangan merasa rendah, ya?"

Menasehati seseorang yang sedang patah hati, padahal dirinya sendiri tidak pernah luput dari patah hati sejak lama. Mungkin itu merupakan keahlian baru bagi Dinda. Sejujurnya ia tidak pernah berharap semuanya akan berujung seperti ini. Ia sangat sulit peduli terhadap sekitarnya, namun Falian adalah salah satu contoh manusia yang bernasib sama dengannya. Dinda tidak suka melihat ketulusan dan kesetiaan seseorang disia-siakan begitu saja.

Kacamata AdindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang