Terhitung dua minggu sejak tahun baru. Liburan nyaris usai. Dinda tertanam dalam kebisuan di sebuah cafe bersama Adif di hadapannya. Jangan tanya bagaimana bisa. Tentu saja Dinda terima saja diajak Adif pergi. Setidaknya hanya satu Adif, tidak semua orang ia terima ajakan untuk jalan seperti ini.
Sambil mengetuk-ngetukkan pensil pada buku teorinya, Dinda berpikir keras. Kacamatanya hampir turun meluncur di hidung mancungnya.
Tidak, bukan tentang pemrograman sistem, analisis numerik, juga bukan desain dan analisis algoritma seperti materi kuliahnya yang cukup berat.
Melainkan adalah hal yang sempat ia ucapkan pada Falian di malam tahun baru, menyentil kesadarannya saat ini. Kata-kata sakral yang tidak boleh diucapkan kepada sembarang. Sekali pun tidak, harusnya diucapkan di waktu yang tepat. Tidak seceroboh kemarin-kemarin.
"Kenapa lu, Din?" tanya Adif, menyadari kegelisahan Dinda. Dia tidak fokus pada laptopnya sendiri, melainkan sibuk memandangi gadis pujaannya itu.
Dinda sedikit terkejut, kemudian ia menggeleng dan berdecak. Sedikit kesal karena kehilangan lamunan pentingnya, dan nyaris bingung hendak menjawab apa atas pertanyaan sederhana dari Adif.
"Enggak. Lagi mikirin kuis-kuis aljabar linier aja."
Adif tertawa geli, "Materi di luar kepala kenapa lu pikirin udah kayak sidang skripsi besok?"
Dinda menggeleng, "Ya, kayanya sesulit itu sih."
Kali ini Adif tak bisa menahan tawa kerasnya. Adinda Assegaf yang tidak pernah dapat nilai B, apalagi C, sedang khawatir terhadap materi dasar perkuliahannya. Itu bahkan materi yang tidak perlu dipikirkan oleh mahasiswa seperti Dinda.
"Din, gue aja berani taruhan kalau lu bakalan dapat IPK penuh. Masa ginian dipikirin sih? Come on? Misal lu nggak dapat nilai 4 nih, gue jual Mercy gue buat traktir mahasiswa se-kampus deh."
Dinda berdecak, "Diem lu!"
Kadang Dinda punya pikiran, takut bila orang lain menganggapnya sama seperti Manda dan para korban prospeknya. Dekat dengan Adif hanya untuk membuat Adif seperti ATM berjalan. Layaknya Manda memperlakukan semua pria yang menyukainya. Tapi Dinda menepis pemikiran itu selagi dirinya hanya mau dekat dengan Adif, tidak sebanyak orang yang seperti Manda manfaatkan. Dinda menganggap dirinya paling tidak harus dekat dengan salah satu saja teman pria.
Falian yang ada dalam pikirannya, mendistraksi. Yang ia pikirkan adalah bagaimana pemikiran Falian jika sebenarnya saat itu Falian dengar ucapan Dinda.
"I love you, Fal."
Dinda terngiang-ngiang oleh kata-katanya sendiri. Ceroboh sekali baginya saat mengucapkan kalimat penting itu.
Dan lagi pula, Dinda mulai memikirkan lagi dalam-dalam, perasaannya pada Falian, kini benar-benar berubah dari sekedar simpati, menjadi cinta.
Setiap hari, Dinda tak bisa menahan dirinya untuk sadar bahwa ia telah jatuh cinta pada Falian.
Perasaan ingin bersama, selalu mencari, dan rindu. Dinda membenci dirinya sendiri. Merasa nyaman pada seseorang semudah ini. Seakan-akan dunia telah mempertemukan dirinya dengan apa yang selama ini dicarinya.
Falian.
"Din, Adin?"
Kenyataan lagi-lagi memutus lamunannya. Yang ada di depannya hanyalah Adif. Bukan Falian. Kadang memang realita tak bisa sesuai dengan harapan. Dinda tersenyum kecut melihat Adif mengagetkannya dari lamunan.
"Udah ah, gue mau pulang. Pusing lama-lama."
Adif tertawa, "Ya udah bentar, gue bayar dulu."
Dinda berdiri, lalu meninggalkan Adif yang masih di kasir. Tidak akan mudah untuk memaksa Adif menerima uangnya, membayar makanan dan minuman di cafe tadi. Makanya Dinda terbiasa untuk membiarkan Adif mentraktirnya, dan pergi begitu saja. Karena berdebat dengan Adif, akan membuatnya lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacamata Adinda
General Fiction10 tahun lalu, Adinda Assegaf menyaksikan banyak kisah di balik kacamata bersama pahitnya kopi hitam. Adinda-ku sayang... Adinda-ku malang...