"Din..."
"Ya, Fal?"
"Ulang tahun kamu, kapan?"
Dinda menolehkan kepalanya, menatap Falian yang sedang terlentang di sampingnya, berbagi bantal yang sama. Dari samping, Dinda terpana melihat lekuk pahat wajah Falian. Poni-poninya sedikit menyentuh mata. Dinda tersenyum sejenak, Falian memang manis dan wajahnya sangatlah polos.
"Kenapa tiba-tiba nanyain itu?"
Falian tertawa kecil, "Yaa, cuma mau nanya aja. Emang nggak boleh?"
Dinda tersenyum tipis. Kemudian ia kembali menatap langit-langit kamar Falian. Tersadar bahwa sekarang telah memasuki bulan Februari.
"14 Februari, Fal."
Falian langsung bangkit, dengan raut wajah yang heran tidak percaya.
"Hari Valentine?!"
Kali ini, Dinda ikut bangkit. Bedanya, Dinda memilih bersandar pada tembok yang menjadi ujung kepala tempat tidur. Ia kemudian memeluk boneka berbentuk hiu milik Falian.
"Iya. Kenapa?"
Falian berdecak kagum, "Kamu pasti aslinya romantis ya, Din?"
Dinda tertawa mendengar pertanyaan konyol dari Falian. Tidak ada korelasi yang cukup relevan untuk itu.
"Enggak gitu juga kali, Fal. Cuma kebetulan aja ibu aku pengen lahiran di tanggal segitu. Hahaha."
"Pasti pas abis lahiran, Mama kamu dapat banyak cokelat!"
Raut wajah Dinda berubah. Secerah langit musim semi, kini berubah sendu seperti senja.
"Enggak, Fal. Dia meninggal sehabis ngelahirin aku. Jadi ya..."
Falian lebih terkejut lagi saat mendengar pengakuan Dinda. Matanya membulat lebar. Langsung saja ia memeluk Dinda dan memohon maaf berkali-kali. Ia merasa sangat bersalah karena tidak sengaja membuat Dinda mengungkit salah satu duka hatinya.
"Maaf ya, Din. Aku beneran nggak tau. Maaf banget ya?"
Dinda terkekeh, "Nggak papa, Fal. Kan aku duluan yang mulai."
"Apanya? Enggak, aku yang salah. Maaf ya?"
"Iya, Falian. Kamu nggak salah. Udah ya? Aku sudah biasa soal itu. Palingan sedih, karena nggak sempat lihat ibu aku. Aku lihat dari foto sih, dia cantik."
Falian melepas pelukannya. Lalu melihat wajah Dinda yang masih tampak sedih meski memaksa untuk sedikit tersenyum. Rasa bersalahnya tak kunjung lenyap. Dengan panik, ia memegang kedua tangan Dinda.
"Maaf ya? Nanti kamu ulang tahun, aku kasih kado, oke?"
Dinda tertawa, merasa perutnya digelitik kencang. Falian sangat lucu, benar-benar sepolos ini. Mungkin dirinya merasa sedih, namun Falian tidak bisa disalahkan. Falian tidak tau apa-apa mengenai masa lalu Dinda.
"Kamu ada-ada aja. Lagian aku udah biasa. Cuma emang kayanya udah lama banget orang tau soal ibu aku. Terakhir kayanya Dara sama Manda yang nanyain soal itu. Dulu banget pas masih maba."
Falian menggeleng, "Tenang aja. Aku janji!"
Sambil berjanji dengan semangat, Falian menunjukkan jari kelingkingnya. Menunggu Dinda untuk mengaitkan jari yang sama padanya. Dengan senyum, keduanya membuat janji. Dinda merasa jantungnya sulit untuk ditahan berdebar-debar sekencang ini. Berada dalam jarak sedekat nadi, sedalam nafas. Bersama Falian, yang sejak awal tahun telah ia cintai sepenuh hati.
"Makasih ya, Fal?"
"Buat?"
Dinda senyum, "Ada aja!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Kacamata Adinda
General Fiction10 tahun lalu, Adinda Assegaf menyaksikan banyak kisah di balik kacamata bersama pahitnya kopi hitam. Adinda-ku sayang... Adinda-ku malang...