Definisi lebih baik itu nggak ada.
Semua bergantung dari sudut pandang masing-masing.
Orang bakal bilang aku lebih baik dari siapapun, nyatanya kamu merasa dia yang terbaik kan?
Cerita ini terjadi 10 tahun lalu tepatnya.
Waktu itu, semua masih serba terbatas.
Aku hanya anak kuliahan yang sangat amat penurut pada keputusan orang tua semata wayangku, ayah...
****
Adinda Assegaf, mahasiswa Fasilkom UI angkatan tahun 2006. Sedang berada di fase mengambang semester buncit. Antara sibuk, namun tidak begitu sibuk. Memulai pengembangan skripsi, bimbingan, dan lain-lain.
Sementara itu, lingkungannya tidak cukup bersahabat. Gangguan setiap hari. Biasa, anak perempuan dengan paras rupawan akan selalu jadi bahan incaran lawan jenisnya. Dinda tak mau bersikap dingin pada siapa pun, namun ia harus begitu oleh sebab-sebab tertentu yang baginya tak perlu banyak orang lain tau.
"Sorry, gue nggak bisa terima lu lebih dari sebatas temen." begitu jawab Dinda saat dirinya lagi-lagi harus menerima ajakan pacaran oleh salah satu teman lelakinya.
"Kenapa sih, Din? Gue kurang apa sama lu coba?"
Sorot mata Dinda naik, ia adalah gadis bertubuh kecil yang tidak sebanding dengan pria yang lebih tinggi di depannya. Katakan Dinda sebagai gadis yang tingginya tak sampai lima kaki. Namun nyalinya cukup tinggi untuk menolak laki-laki mana pun.
"Ya kan udah gue bilang? Gue nggak bisa. Gue nggak bisa lebih dari temen sama lu. Gitu masih nggak paham?"
"Oke, jelasin kenapa? Gue udah nyoba ngasih yang terbaik sama lu, kan? Apapun bakalan gue lakuin buat lu, Din."
Benar apa yang Adif bilang. Ia bisa melakukan apapun untuk Dinda selama ini. Semua orang tau hal itu. Kemana Dinda pergi, akan ada Adif yang menemani.
"Dear, Adifian. Makasih untuk banyak hal yang udah lu lakuin buat gue selama ini. Tapi sorry, gue nggak bisa diajak punya hubungan lebih sama lu. Cukup segini yang bisa gue kasih. At least sebagai sahabat lu, pasti gue dengerin semuanya." putus Dinda saat Adif mencoba menyentuh tangannya, menahan Dinda supaya tidak pergi.
"Tapi Din-"
Dinda berdecak, benci pada drama yang terlalu sering ini. "Udah, gue harus ngerjain tugas."
"Din! Tunggu! Adin!"
Koridor kampus pasti memperhatikan drama dua mahasiswa hits pada masanya itu. Adinda dan Adifian. Mahasiswa kesayangan para dosen yang nyaris tidak pernah absen dan selalu mengumpulkan tugas dengan hasil maksimal. Banyak yang menduga mereka pacaran. Karena Dinda memang ke kampus hampir selalu diantar oleh Adif pulang pun sama-sama.
Sayang, Dinda selalu mengelak tiap kali orang menanyakan berita itu. Dan itu juga sebabnya Dinda masih mendapat pertanyaan atau ajakan pacaran oleh orang lain. Dinda diduga, sedang jomblo.
Sampai suatu waktu, seorang mahasiswa lain menemui Dinda dengan tampang polosnya. Dia seorang adik tingkat. Namanya Rania. Alisnya tebal namun pitak sebelah, mirip penyanyi terkenal di masa kini, Charlie Puth. Dan Dinda merasa aneh karena mahasiswa itu mengikutinya seperti anak kucing.
"Hari ini nggak sama Kak Adif, Kak Adin?"
Alis Dinda terangkat. Permasalahannya adalah, hanya Adif yang biasa memanggilnya Adin. Dan beberapa orang terdekatnya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacamata Adinda
Ficção Geral10 tahun lalu, Adinda Assegaf menyaksikan banyak kisah di balik kacamata bersama pahitnya kopi hitam. Adinda-ku sayang... Adinda-ku malang...