Sekampus dan satu kost-an sejak jadi mahasiswa baru, Dinda, Manda, dan Dara tak pernah bermasalah. Atau mungkin jarang. Mereka saling paham satu sama lain. Tiga orang, tiga karakter berbeda, berteman dalam jangka waktu tidak sebentar.
Dinda tak tau harus berbuat apa saat suasana canggung antara dirinya dan Manda tercipta. Sebelumnya memang tidak pernah seperti ini. Perkara hati memang sensitif bukan?
Dara sebagai sosok cuek bukan tak menyadari apapun, tapi mungkin baginya akan lebih mudah untuk bicara pada Dinda saat ini. Baginya Manda tidak mudah kompromi untuk diajak mengobrol dengan tenang. Ia menemui Dinda di dalam kamar sedang duduk meratap pada sebuah bingkai foto. Itu foto Dinda bersama Alea.
"Kenapa? Ngerasa bersalah?"
Dinda mendongak saat Dara naik ke atas tempat tidur, mengambil salah satu boneka Dinda untuk dipeluk. Bergabung dengannya.
"Percuma lu ngeliatin foto orang lain buat nutupin perasaan lu sama orang baru. Yaaa, seenggaknya kan Alea sekarang udah jadi orang lain buat lu?" ujar Dara, menarik bingkai foto yang Dinda pegang.
"Ngeliat lu kayak gini tuh kadang ngebikin gue kasian sama Adif yang nganggep elu sebagai pacar fiktif, tapi itu cowok emang najis banget sih. Pengen gue musnahin!"
Dinda tertawa kecil. Ia teringat akan perilaku Adif yang berlebihan padanya tapi bisa ia pahami, itu terjadi semata-mata karena Adif sangat menyukainya. Mungkin jika tidak, Adif mana peduli padanya? Tidak mungkin seorang laki-laki rela buang waktu, materi, dan segalanya kalau tak ada maunya kan?
Dinda meringis membayangkan betapa Adif gila padanya.
"Udah ah, Adif basi." cibirnya.
"Hahaha, mau belajar jadi Manda lu?"
Dinda menggeleng dengan senyum tipisnya, "At least gue ngomong sama Adif kalau gue nggak mau sama dia. Mau sebaik apa dia juga, gue tetep nolak dia. Nggak gue main-mainin, nggak gue tahan-tahan, nggak gue kasih bualan manis juga biar dia mau spend banyak hal buat gue. Shit, men. Gue nggak butuh itu semua sekalipun gue miskin!"
Senyuman Dara berubah menjadi sebuah seringai, "Oh, jadi mau nyindir Manda?"
Dinda melempar bantal pada Dara yang bersandar pada headboard tempat tidur di sampingnya.
"Nggak gitu, Ra."
"Manda akan selalu seperti itu, Din. Udah, biarin aja. Gue sih ngerti kemarin lu cuman pengen lurusin yang nggak bener aja. Cuman ya, lu tau sendiri kalau Manda orangnya keras. Mirip-mirip Alea, tapi nggak brutal alias versi manjanya gitu deh."
Dinda tertawa geli, "Versi manja gitu ya? Makanya kadang gue rasa namanya emang pas sih. Prasetya Riskha Amandjya~"
"Amanda, goblok!"
"HAHAHAHAHAHA!"
Dara dan Dinda saling memacu tawa kencang. Sampai Dinda tiba-tiba kehilangan kesenangan sesaatnya lagi karena ia merasa sedih mengingat sejak Alea meninggalkannya, semua jadi rumit.
Dara melihatnya, keterpurukan sahabatnya, ia menarik Dinda ke dalam pelukannya. Sebagai satu-satunya yang paling 'kuat' di antara dua temannya, Dara selalu menjaga mereka berdua. Tertua, dan menjadi kakak bagi mereka.
"Gue ngerti. Lu nggak bisa nutupin perasaan lu dari gue. Ya mungkin nggak sebesar itu, tapi gue paham Din. Dari awal, gue udah tau. Hati kecil lu, nggak bisa biarin yang kayak Falian disakitin, kan?"
Dinda terhenyak mendengar pertanyaan Dara. Punggungnya bergetar dalam pelukan sahabatnya.
"Gue nggak berhak, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacamata Adinda
General Fiction10 tahun lalu, Adinda Assegaf menyaksikan banyak kisah di balik kacamata bersama pahitnya kopi hitam. Adinda-ku sayang... Adinda-ku malang...