PROLOG

9 2 6
                                    

PROLOG

Sang Dewa yang semena - mena

___________________________________

Tempat yang seperti gua ini tidak lain adalah tempat bernaung bagi Dewa muda sepertinya. Tempat ini sangat sunyi dengan aroma khas yang menentramkan jiwa, membuat siapapun pasti merinding. Suara tetesan air dari langit - langit gua tampak menggema dengan bebas.

Sang Dewa kini sedang duduk santai di sofa favoritnya sambil menatap ke depan dengan tatapan kosong. Jika dilihat lebih lama, seperti mayat seorang gadis muda yang mati karena patah hati.

Tapi ia sama sekali tidak mati, hanya merenung memikirkan sesuatu yang hanya dipikirkan olehnya sendiri, tidak ingin dicurhatkan pada siapapun. Walaupun ia memang tidak pernah curhat pada siapapun.

Matanya berkedip. Tatapannya mulai mengisi kekosongan tadi dengan secercah cahaya di pupil matanya. Ia menopang pipinya dengan tangan kanannya yang mungil. Pipi itu terlihat seperti bakpao sekarang.

Ia tersenyum ria dan memutar kursinya ke arah kaca besar di hadapannya. Sesuatu muncul disana, ia mengamati semua manusia yang ada disana.

Tangannya bergerak di udara seperti sedang menggerakkan kaca dari jauh. Kaca itu sekarang seakan seperti layar monitor jaman modern.

Ia melihat seorang anak laki - laki bule dengan rambut kuning dan mata biru serta sungut kembar yang berdiri kokoh di atas kepalanya. Anak itu terbaring di jalanan dengan bersimbah darah membanjiri jalanan. Semua orang menghampiri dengan ekspresi yang berbeda - beda, tapi tujuh puluh persen wajah mereka terlihat takut dan shok. Tentu saja dua puluh persennya adalah para polisi yang harus menyikapi TKP. Sisanya? Manusia tidak berhati disana yang menonton bangkai dengan tenang.

Di tempat lain ada laki - laki berambut oranye yang mengapung di laut dengan darah yang mendominasi warna biru lautnya. Bagian bawah tubuhnya serta tangan kanannya tidak lagi terpasang pada tubuhnya. Wajahnya juga sudah terlihat pucat.

Di gambar ketiga terdapat seseorang berambut biru tua yang terbaring lemas di lantai setelah para perampok bank menembaknya dengan pistol karena ketahuan mencoba menghubungi polisi.

Dan terakhir muncul seseorang dengan luka kepala. Dihadapannya terdapat seseorang laki - laki paruh baya yang sepertinya adalah ayahnya, ia memegang sebuah botol kaca yang ujungnya pecah dengan darah di ujungnya. Ayahnya lah yang telah membunuh orang berambut hitam itu.

Mereka berempat disusun dengan rapi di layar kaca tersebut dengan keadaan mereka yang mengenaskan. Sang Dewa berkucir dua ini tersenyum senang. Ia tertawa terbahak - bahak hingga akhirnya berhenti dengan seringaian di wajahnya.

"Ketemu" ucapnya.

Kaca monitor tiba - tiba bersinar menyilaukan. Angin kencang keluar dari sana tiba - tiba, membuat rambut merah muda milik Dewa berkibaran sana sini. Seringaiannya masih setia bertengger di bibirnya yang kecil.

Tiba - tiba semuanya menjadi gelap dan menghilang. Dewa berada di satu tempat asing dengan keempat orang itu berada di hadapannya dengan wajah pucat dan baju putih polos.

"Kalian pasti memiliki keinginan yang belum tercapai kan?" Dewa menatap mereka dengan tatapan sinis yang bahagia. "Maukah kalian menjadi.."

Kata - katanya terhenti, ia sengaja menghentikannya sebentar. Senyuman liciknya ditunjukkan kepada mereka, sedangkan mereka hanya menatapnya bingung.

"...HERO"

To be continued...

War of HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang