Rangga berdiri tegak memandang ke puncak Gunung Balakambang yang terselimut kabut. Di belakangnya jauh tampak Desa Pasir Batang Rangga menoleh ketika merasakan ada langkah kaki mendekati. Bibirnya tersenyum melihat Sawung Bulu telah duduk di batu. Rangga menghampiri.
"Ada yang dipikirkan?" tanya Rangga. "Ya," sahut Sawung Bulu mendesah.
Rangga mengambil tempat di samping Sawung Bulu. Mereka bersama sama memandang puncak Gunung Balakambang Sementara di kaki lereng, jauh di bawah sana kelihatan Desa Pasir Batang yang tampak sepi bagai tidak berpenghuni.
"Aku tidak mengerti mengapa kau menolongku kemarin," Sawung Bulu bergumam pelan.
"Aku menolong, karena kau perlu ditolong," sahut Rangga seenaknya.
"Seharusnya bukan aku, tapi penduduk desa itu," Sawung Bulu memandang ke arah Desa Pasir Batang "Rasanya aku lebih baik mati daripada melihat kehancuran orang-orang yang kucintai."
Rangga diam mendengarkan. Sejak dibawanya ke sini, baru kali inilah Sawung Bulu mau berkata. Dia selalu murung, seperti ada yang sedang dipikirkan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tahu, hal apa yang dipikirkan Sawung Bulu. Semalam dia mendapat banyak keterangan, juga pagi tadi dari beberapa penduduk Desa Pasir Batang.
Sama sekali Rangga tidak menyangka Sawung Bulu yang berbuat nekad tanpa memperhitungkan resikonya. Siapa yang rela kalau kekasihnya dijadikan korban persembahan iblis? Hanya saja tindakan Sawung Bulu yang gegabah dan terlalu menurutkan darah muda. Kini semua telah terjadi. Seluruh penduduk Desa Pasir Batang tinggal menunggu nasib.
"Aku tidak tahu, apakah mereka iblis-iblis yang datang dari neraka, atau manusia sakti yang mengumbar hawa nafsu. Mereka begitu tangguh dan sulit dicari tandingannya," Sawung Bulu sedah mengeluh.
"Mereka manusia biasa yang bisa mati," kata Rangga. "Kau tahu mereka?" Sawung Bulu agak terkejut.
"Ya, tiga orang dari lawanmu kemarin, telah mati," sahut Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Kau membunuh mereka?" makin terkejut Sawung Bulu. Matanya merayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak percaya pada pendengarannya.
"Bukan aku, tapi Yang Maha Kuasa yang berkenan," sahut Rangga merendah.
"Kapan kau membunuh mereka?" tanya Sawung Bulu seolah menyelidik.
"Semalam, di depan rumah kepala desa. Tapi aku terlambat..."
"Terlambat? maksudmu?" potong Sawung Bulu dengan nada cemas.
"Mereka berhasil membunuh tidak kurang dari sepuluh orang."
"Lalu?"
"Aku sempat bicara dengan Ki Brajananta, Ki Gandara, dan beberapa orang lainnya. Tampaknya mereka semua memang ingin lepas dari cengkeraman Raja Dewa Angkara."
"Ah, seandainya saja Yang Maha Kuasa berkenan memberiku kekuatan. Aku rela berkorban nyawa untuk membebaskan mereka," lirih suara Sawung Bulu.
Rangga hanya tersenyum, lalu bangkit berdiri. Kakinya terayun menuju ke Desa Pasir Batang.
"Mau ke mana?" tanya Sawung Bulu.
Rangga hanya menunjuk ke arah desa tanpa menjawab.
"Aku ikut!" Sawung Bulu bergegas menghampiri. "Sebaiknya untuk sementara kau tinggal di sini dulu,"
cegah Rangga.
"Aku bukan pengecut yang hanya bisa bersembunyi!" dengus Sawung Bulu.
"Aku tidak mengatakan kau pengecut. Tapi ini demi keamanan dan keselamatan semua orang yang kau cintai." Sebenarnya Sawung Bulu ingin bersikeras, tapi segera diurungkan niatnya. Dia percaya kalau pemuda yang sebaya dengannya itu bukan orang sembarangan. Buktinya, tiga anak buah Raja Dewa Angkara telah dibunuhnya hanya dalam satu malam saja.
"Siapa kau sebenamya?" tanya Sawung Bulu jadi ingin tahu.
"Aku, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga.
Secepat dia menjawab, secepat itu pula dia mencelat Tiba-tiba telah lenyap dari pandangan Sawung Bulu Tentu saja pemuda ini mencari-cari. Dalam hari, dia sangat mengagumi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang sempurna itu.
"Pendekar Rajawali Sakti...," Sawung Bulu bergumam menyebut nama itu beberapa kali.
Dia kembali duduk di atas batu. Bibirnya masih menggumamkan nama Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya dia tengah mengingat-ingat nama itu. Ya, nama itu pernah didengarnya dari Ki Gandara. Juga beberapa tokoh rimba persilatan dari golongan putih yang kerap datang ke Padepokan Pasir Batang. Nama Pendekar Rajawali Sakti selalu disebut-sebut sebagai seorang pendekar muda yang sangat tinggi ilmu kesaktiannya.
"Apakah benar dia Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung Bulu bertanya tanya sendiri.***
Di ruang pendopo utama Padepokan Pasir Batang, Ki Gandara tengah berbincang-bincang dengan Sangkala. Beberapa murid padepokan teriihat berjaga-jaga dengan senjata terhunus. Sudah dua hari ini Ki Gandara memerintahkan murid-muridnya untuk selalu siaga di sekitar padepokan.
"Kau tidak melihat Pendekar Rajawali Sakti hari ini, Sangkala?" tanya Ki Gandara.
"Tadi pagi saya masih melihatnya, tapi sampai sore begini tidak kelihatan lagi," sahut Sangkala.
"Bagaimana keadaan desa?"
"Belum ada kejadian apa-apa Tapi Ki Brajananta kelihatannya terus gelisah."
"Ya, aku sendiri juga gelisah," Ki Gandara mengakui terus terang.
"Ki...."
"Hm, ada apa?"
"Apa Pendekar Rajawali Sakti mampu menghadapi Raja Dewa Angkara?" tanya Sangkala ragu-ragu nadanya.
Ki Gandara tidak segera menjawab. Matanya kosong menatap lurus ke depan, ke arah puncak Gunung Balakambang. Memang terlalu riskan hanya mengandalkan nama besar Pendekar Rajawali Sakti. Dia sendiri baru mendengar namanya saja. Belum melihat secara langsung sepak terjangnya menghadapi tokoh tokoh sakti aliran hitam.
Memang semalam Pendekar Rajawali Sakti telah membuktikan dengan merobohkan tiga orang dari Raja Dewa Angkara. Tetapi itu hanya kaki tangannya saja. Ki Gandara sendiri mungkin juga mampu menghadapinya. Bahkan Sangkala juga masih bisa menandingi. Jadi hal itu belum jadi jaminan Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkan Raja Dewa Angkara.
"Maaf, kalau kata kataku membuat gundah," kata Sangkala merasa tidak enak juga melihat Ki Gandara berubah murung.
"Tidak Kata-katamu ada benarnya juga. Kita memang tidak mungkin mengandalkan sepenuhnya pada Pendekar Rajawali Sakti. Raja Dewa Angkara sulit diukur tingkat kepandaiannya. Sepuluh tahun telah ditancapkan kukunya untuk menguasai seluruh desa-desa di lereng Gunung Balakambang, tanpa ada seorang pun yang dapat menghentikan perbuatannya."
Sangkala merayapi sekitarnya. Tatapan matanya langsung terpaku pada puncak Gunung Balakambang.
"Sudah banyak tokoh rimba persilatan dari golongan putih mencoba untuk membasmi mereka, tapi sampai sekarang tidak ada yang berhasil. Bahkan mereka hanya tinggal namanya saja," Ki Gandara kembali melanjutkan. "Kau ingat peristiwa di Desa Kenanga, Sangkala?"
"Iya, Ki," sahut Sangkala pelan.
"Tidak kurang dari sepuluh tokoh sakti rimba persilatan membantu, tapi mereka semua tewas di tangan Raja Dewa Angkara. Juga Pendekar Ruyung Emas, yang nyata-nyata berada setingkat di atasku pun tewas."
Sangkala membisu. Memang sulit mengukur tingkat kepandaian Raja Dewa Angkara. Dia bisa mengerti kenapa Ki Gandara sampai gundah begini. Tentunya dia sudah menyadari kalau dirinya tidak mungkin bisa menandingi kesaktian Raja Dewa Angkara.
Pada saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar teriakan- teriakan melengking dari bagian Timur padepokan. Ki Gandara segera melompat seraya mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam sekejap saja, dia sudah berada di luar pendopo. Sangkala menyusul.
"Raja Dewa Angkara...," desis Ki Gandara ketika melihat murid-mundnya tengah bertarung melawan sekitar sepuluh orang berpakaian serba hitam.
Dalam waktu yang singkat, murid-murid Padepokan Pasir Batang sudah bertumbangan mandi darah. Melihat kenyataan ini, Sangkala segera melompat sambil mengempos tenaga dalamnya. Gerakannya ringan, sekejap saja dia telah terjun dalam pertarungan. Sangkala tidak sungkan-sungkan lagi untuk mencabut pedangnya, menerjang orang-orang Raja Dewa Angkara.
Begitu Sangkala masuk dalam arena, seorang dari mereka segera menghadang. Sangkala terpaksa harus menghadapinya. Pedangnya berkelebat cepat disertai pengerahan tenaga dalam. Sangkala memang ahli dalam ilmu pedang. Lebih-lebih saat dikeluarkan jurus-jurus pedang andalannya.
Pedang perak yang menjadi kebanggaan seperti tak berujud lagi Yang nampak hanya sinar keperakan mengurung lawan.
Trang! Trang!
Beberapa kali pedang Sangkala berbenturan dengan tombak hitam lawannya, sehingga dirasakan tangannya seperti kesemutan. Sangkala sadar kalau tenaga dalamnya masih di bawah lawan. Menyadari hal ini, dia berusaha untuk tidak sering-sering berbenturan senjata.
Sementara itu korban dari pihak murid Padepokan Pasir Batang sudah banyak Ki Brajananta pun kini tengah menghadapi dua lawan. Sangkala tidak bisa lagi mengalihkan perhatiannya pada yang lain. Serangan-serangan lawan terasa makin menghebat Bahkan sambaran-sambaran tombaknya terasa panas menyengat kulit.
"Uts!" Sangkala memiringkan tubuhnya ke samping menghindari sodokan tombak lawan.
Ujung tombak itu lewat sejauh beberapa helai rambut di depan dada. Sungguh dahsyat angin sambaran tombak itu. Sangkala sampai bergerak mundur dua tindak terdorong angin sambaran tombak itu. Begitu keras dan panas anginnya
Trang!
Sangkala terpaksa membabat ujung tombak yang begitu cepat berbalik setelah serangan pertamanya gagal. Lagi-lagi Sangkala terdorong mundur dua tindak ke belakang. Jari-jari tangannya terasa kaku seketika. Hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman.
"Setan!" dengus Sangkala ketika mengetahui mata pedangnya gompal.
Rasa terkejut Sangkala belum lagi hilang, mendadak ujung tombak lawan sudah kembali mengarah ke dadanya. Dia segera memiringkan tubuhnya, tapi terlambat.
Cras...!
Tak terduga sama sekali orang itu memutar tombaknya dan berhasil melukai pundak kiri Sangkala. Darah keluar dari pundak yang sobek cukup dalam dan lebar. Sangkala meringis kesakitan, lalu dengan cepat melompat sejauh dua tombak lebih. Jari-jari tangannya segera menotok beberapa jalan darah di pundaknya Seketika itu juga darah berhenti mengalir.
"He... he... he... Pintu neraka sudah terbuka untukmu, sobat," orang itu terkekeh pongah.
"Jangan besar kepala dulu, iblis!" dengus Sangkala geram. "Aku masih mampu mencabut nyawamu!"
"Tikus sudah masuk jebakan masih juga bisa berlagak!" "Terima Jurus 'Pedang Ekor Naga'ku," bentak Sangkala gusar.
Sehabis berkata demikian, dengan cepat Sangkala melompat sambil berteriak nyaring. Pedangnya kembali berkelebat lebih cepat. Suara bersiutan terdengar dari setiap kelebatan pedangnya. Ujung pedang Sangkala bagaikan ekor naga yang murka terusik ketenangannya. Dikempos seluruh tenaga dalamnya untuk menandingi tenaga dalam lawan.
Namun semua serangan Sangkala yang dahsyat dan mematikan, tidak membawa hasil sama sekali. Bahkan tiba-tiba saja kaki lawan berhasil mendarat di dadanya. Sangkala terjengkang ke belakang. Dadanya mendadak sesak, napasnya tersengal. Matanya berkunang-kunang.
"Mampus kau, hiyaaa..!" orang itu berteriak keras. Sangkala yang dalam posisi sulit, tidak mampu lagi untuk mengelakkan ujung tombak yang datang deras mengarah ke dadanya. Dia pasrah seandainya harus mati di ujung tombak hitam itu. namun kebka ujung tombak hampir menyentuh kulitnya, mendadak...
Trang!
Secercah sinar biru menyilaukan menghantam tombak hitam itu. Sangkala membeliak kaget, ketika melihat tombak itu tiba-tiba terpotong jadi dua. Rasa kagetnya belum lagi hilang sekonyong-konyong orang yang menjadi lawannya itu terjengkang ke belakang beberapa batang tombak jauhnya.
Disusul dengan munculnya sebuah bayangan, disertai kilatan sinar biru menyilaukan mata.
Cras!
Tanpa mengeluarkan suara lagi, orang berpakaian serba hitam itu ambruk dengan kepala terpisah dari badan.
Bayangan itu tidak berhenti. Dia berkelebat dengan kilatan-kilatan sinar biru terarah pada orang-orang yang berpakaian serba hitam. Sungguh dahsyat, setiap kibasan sinar biru itu berkelebat, segera satu orang lawan terjungkal mandi darah. Mati.
Ki Gandara cepat melompat mundur dari kancah pertarungan. Dia sudah berhasil merobohkan dua lawan. Orang tua yang masih kelihatan gagah itu segera menghampiri Sangkala.
"Mundur!" teriak Ki Gandara keras.
Seketika itu juga murid-murid Padepokan Pasir Batang berlompatan mundur. Namun beberapa di antaranya yang tidak sempat mundur, terjungkal tertembus tombak hitam. Ki Gandara menahan geram melihat lebih dan separuh muridnya tewas bergelimpangan.
Sementara itu bayangan yang selalu diikuti kelebatan sinar biru, tidak menghiraukan teriakan Ki Gandara. Dia terus saja berkelebat mencari nyawa. Kini orang-orang berpakaian serba hitam tinggal berjumlah lima orang saja. Mereka mengurung rapat kelebatan bayangan itu. Tetapi bayangan itu masih belum terlihat jelas juga. Seluruh tubuhnya seperti terselimut sinar biru yang sesekali mencuat menyambar lawan.
"Tinggalkan tempat ini, cepat!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar. Seketika itu juga lima orang berpakaian serba hitam itu mencelat
kabur dari Padepokan Pasir Batang. Namun salah seorang dari mereka harus menerima nasib. Dia rupanya terlambat kabur.
Sinar biru menyilaukan itu sangat cepat menghantamnya. Dan dengan satu teriakan menyayat, orang itu terjungkal dengan dada terbelah lebar. Sebentar dia meregang nyawa di tanah, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. "
Bersamaan dengan itu, sinar biru lenyap. Lalu disusul dengan munculnya sosok tubuh berpakaian rompi berdiri dekat mayat terakhir. Darah hangat masih keluar dari dada mayat yang terbelah hampir purus itu.
"Pendekar Rajawali Sakti..." desah Ki Gandara. Bergegas guru besar Padepokan Pasir Batang itu menghampiri, diikuti Sangkala dari belakang. Tangan kanan Sangkala menekap luka di pundak kiri. Darah kembali keluar, karena totokan yang sifatnya hanya sementara sudah tidak bekerja lagi.
"Bagaimana lukamu, Sangkala?" tanya Rangga seraya memperhatikan luka di pundak kiri Sangkala. "Hanya luka luar," sahut Sangkala. Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Tangannya terulur dan menekap pundak yang terluka itu. Lalu bibirnya tersenyum sambil menarik tangannya lagi
"Hanya luka biasa," kata Rangga.
"Terima kasih," ucap Sangkala. "Kalau kau tidak cepat menolong, mungkin aku hanya tinggal nama."
Rangga hanya tersenyum. Lalu dihampirinya salah satu mayat yang berpakaian serba hitam. Dia jongkok, lalu tangannya merenggut kain potong yang menutupi seluruh wajah orang itu. Tampak seraut wajah cantik lagi putih terpampang. Wajah seorang wanita.
Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran. Dihampirinya mayat yang kedua, dan direnggut topengnya.
Kembali terlihat wajah seorang wanita cantik dengan rambut tergulung rapih. Ki Gandara yang juga merasa penasaran, ikut membuka topeng-topeng hitam lainnya. Jelas, enam orang berpakaian serba hitam ini, semuanya adalah wanita.
"Apa artinya semua ini?" tanya Sangkala tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut dan herannya.
Sungguh tidak ada yang menduga kalau orang-orang Raja Dewa Angkara adalah wanita berparas cantik. Sangkala yang tadi hanya sempat bertarung dengan satu orang saja, kini benar benar terkesima. Sungguh tak diduga sama sekali dirinya hampir tewas oleh seorang wanita muda yang tersembunyi di balik topeng kain hitam.
Sangkala tiba-tiba tersentak. Padahal dia sempat mendengar suara lawannya tadi. Benar-benar bodoh tidak bisa membedakan suara laki-laki dengan suara perempuan. Tapi..., yang didengamya tadi memang suara laki-laki. Bukan suara halus seorang perempuan. Apakah wanita-wanita itu punya ilmu untuk menipu suara?
"Sayang tidak ada yang hidup," gumam Ki Gandara. "Maaf, aku terlalu muak melihat kekejaman mereka,"
kata Rangga.
"Tidak apa-apa. Memang sudah sepantasnya mereka mati," sahut Ki Gandara.
Ki Gandara segera memerintahkan murid-muridnya untuk menguburkan mayat-mayat itu. Meskipun dalam keadaan letih, tidak ada yang membantah perintah itu. Segera murid-murid Padepokan Pasir Batang yang masih tersisa, melaksanakan perintah guru besarnya. Ki Gandara mengajak Rangga ke pendopo, sementara Sangkala minta ijin untuk mengobati lukanya. Langkah Rangga terhenti di depan pendopo utama. Dibalikkan tubuhnya, langsung menatap ke arah puncak Gunung Balakambang. Ki Gandara juga berhenti dan berbalik. Matanya juga meng- arah ke puncak gunung yang selalu diselimuti kabut tebal itu.
"Di gunung itu Raja Dewa Angkara membangun istananya," kata Ki Gandara setengah bergumam.
"Sudah ada yang pernah ke sana?" tanya Rangga. "Belum ada yang bisa mencapai. Memang sudah ada
beberapa pendekar mencoba ke sana, tapi mereka selalu tewas sebelum mencapai tujuan."
"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas.
"Raja Dewa Angkara memiliki orang-orang yang berkepandaian lumayan tinggi. Gunung itu selalu dijaga ketat. Tidak ada seorang pun bisa kembali setelah mencoba kesana," Ki Gandara menjelaskan.
"Aku akan coba ke sana," kata Rangga.
"Sebaiknya jangan. Terlalu berbahaya bagimu," Ki Gandara mencoba mencegah.
"Untuk menumpas suatu kejahatan, harus sampai ke akar-akarnya, Ki. Aku tidak bisa hanya menunggu di sini, menanti cacing-cacing tak berguna."
"Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Tapi hendaknya berpikirlah matang matang untuk pergi ke sana."
Rangga tersenyum tipis. Dirasakan ada nada lain dalam kata kata Ki Gandara. Bagaimana pun juga orang tua ini merasa bertanggung jawab atas keselamatan seluruh penduduk Desa Pasir batang. Rangga dapat menangkap maksud kata kata itu. Memang, dalam saat saat seperti ini tidak mungkin Rangga meninggalkan Desa Pasir Batang. Sewaktu-waktu orang-orang Raja Dewa Angkara dapat menghancurkan seluruh desa. Kapan waktunya, memang belum bisa diduga.
Pelan-pelan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terayun menuju pintu gerbang padepokan. Dia terus berjalan melewati pintu yang terbuka lebar. Pikirannya dipenuhi oleh persoalan yang tengah dihadapi seluruh penduduk Desa Pasir Batang ini. Persoalan yang tidak mudah dihadapi begitu saja. Di luar padepokan, Rangga melangkah menuju jalan utama desa ini. Padepokan Pasir Batang memang berada di tengah tengah desa. Tidak jauh dari sini, teriihat rumah kepala desa yang selalu dijaga oleh beberapa murid padepokan. Rangga merayapi keadaan sekitarnya yang tampak sepi.
Mendadak matanya menangkap sekelebat bayangan menyelusup di antara rumah-rumah penduduk dan pepohonan. Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat sambil mengerahkan ilmu peringan tubuh mengejar bayangan itu. Matanya yang setajam mata rajawali, masih bisa melihat bayangan itu menghilang di balik sebuah rumah.
Sementara senja terus merayap makin jauh. Keadaan sekeliling sudah remang-remang. Malam sebentar lagi menjelang. Tubuh Rangga melayang ringan ke atas atap rumah tempat bayangan tadi menghilang. Begitu ringannya sehingga tidak ada sedikit pun suara terdengar ketika kakinya hinggap di atap rumah itu.
"Hm... dia menuju kedai makan," Rangga bergumam dalam hati.
Matanya masih sempat menangkap bayangan itu. Segera dia melesat dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya. Begitu cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti dalam sekejap saja telah bertengger di atas atap kedai makan. Sedangkan bayangan yang tersusul itu masih berkelebat menuju ke arah Rangga yang tengah bersembunyi.
"Wratama...," gumam Rangga lagi dalam hati.
Di dalam kegelapan yang bagaimana pun juga, Pendekar Rajawali Sakti sangat mampu mengenali bayangan yang sejak tadi diikutinya. Bayangan itu memang milk Wratama. Gerakannya cukup ringan dan cepat Sepertinya dia memiliki ilmu peringan tubuh yang lumayan tinggi.
Rangga masih bertengger di atas atap meskipun Wratama sudah masuk dalam kedai makan ini. Rangga segera mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' yang di-arahkan langsung ke dalam kedai makan. Kedai ini rupanya sekaligus dijadikan rumah penginapan satu-satunya yang ada di Desa Pasir Batang ini. Apa yang dapat didengar Rangga?***
KAMU SEDANG MEMBACA
6. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Gadis Tumbal
ActionSerial ke 6. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.