BAGIAN 2

1.4K 59 2
                                    

Melewati jurus kelima dua murid Padepokan Pasir Batang makin terdesak Tingkat kepandaian mereka memang jauh di bawah anak buah Raja Dewa Angkara. Rangga yang sejak tadi memperhatikan pertarungan mereka, dapat memastikan kalau dalam dua atau tiga jurus lagi, Sawung Bulu dan Badara dapat dikalahkan.
Dugaan Rangga memang tepat. Dua jurus berlangsung, Badara menjerit keras. Tubuhnya limbung, darah mengucur deras dari dadanya yang sobek. Belum sempat Badara menguasai diri, sebuah tendangan keras menghantam kepalanya. Tidak ampun lagi, Badara terjengkang ambruk Kepalanya pecah.
"Kejam! Iblis!" geram Sawung Bulu ketika melihat putra tunggal Ki Gandara tewas.
Pada saat Sawung Bulu lengah, mendadak sebuah tendangan keras mendarat di dadanya. Murid utama Padepokan Pasir Batang itu terjengkang dua depa. Dadanya  terasa sesak, matanya berkunang-kunang. Sawung Bulu belum dapat mengatur posisi, tiba-tiba salah seorang lawan menerjang dengan ujung tombak terhunus.
Sawung Bulu yang memang sudah tidak berdaya, hanya pasrah menerima nasib. Serangan orang berpakaian serba hitam itu sangat cepat. Dan ketika ujung tombak telah berada seujung rambut lagi membelah dada Sawung Bulu, sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat cepat menyambar murid utama Padepokan Pasir Batang itu.
Tubuh Sawung Bulu lenyap begitu saja. Tombak yang hampir membelah dadanya menerobos tempat kosong. Hal ini membuat empat orang berpakaian serba hitam itu terkejut Mereka saling berpandangan satu sama lainnya.
"Kadal! Siapa berani main-main dengan Raja Dewa Angkara!" bentak salah seorang dari mereka.
Tidak ada sahutan sama sekali. Mata mereka beredar ke sekeliling. Tidak ada seorang pun di dalam kedai makan ini. Hanya meja kursi saja yang terlihat berantakan tidak tentu arahnya.
"Huh! Kepala Desa Pasir Batang harus bertanggung jawab!" dengus orang itu lagi.
"Sebaiknya segera kita laporkan hal ini pada Raja Dewa Angkara," kata lainnya mengusulkan. "Baiklah! Ayo kita pergi!"
Empat orang anak buah Raja Dewa Angkara itu pun dengan cepat mencelat. Sekejap mata saja mereka tak teriihat lagi bayangannya. Kini kedai makan itu kembali sepi. Tidak ada orang lagi di sana kecuali mayat Badara yang menggeletak mandi darah.
Dalam waktu yang tak lama, muncul Ki Gandara diikuti pemuka pemuka Desa Pasir Batang dan beberapa penduduk di pintu kedai makan. Ki Gandara tampak terkejut melihat putranya menggeletak dengan kepala pecah. Sangkala, Bagaspata, Rawusangkan, dan dua orang lainnya, seperti terkunci mulutnya. Mereka sangat terkejut melihat mayat Badara dan dua tombak berwarna hitam pekat yang masih tertancap di tengah-tengah meja dan di tanah dekat tubuh Badara.
"Mana Sawung Bulu?" tiba-tiba Sangkala ingat keponakannya.
"Tadi... tadi ada di sini, Gusti," jawab seorang penduduk yang tadi juga ada di kedai ini. Bicaranya tergagap.
Muka Sangkala berubah merah pada. Matanya liar merayapi  sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda Sawung Bulu ada di sekitar sini. Sementara itu Ki Gandara memeriksa mayat putranya. Kelihatan sekalii dua bola matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Siapa yang berbuat ini?" tanya Sangkala pada penduduk yang menjawab tadi.
"Orang-orang Raja Dewa Angkara, Gusti," sahut penduduk itu lagi.
"Berapa orang mereka?" tanya Bagaspati.
"Empat Semuanya mengenakan topeng"
"Lalu, siapa di antara kalian yang melihat Sawung Bulu?" tanya Rawusangkan. Matanya menatap satu persatu penduduk yang sudah banyak berkumpul di depan kedai.
Semua orang tidak ada yang membuka mulut. Kepala mereka perlahan tertunduk. Memang tidak ada seorang pun yang melihat, kemana Sawung Bulu pergi. Apalagi melihat kepergian empat anak buah Raja Dewa Angkara yang begitu cepat melesat. Mereka memang hanya penduduk biasa yang awam terhadap ilmu silat.
Kl Gandara berdiri. Matanya merayapi lima orang pemuka desa, lalu memandang satu-satu wajah penduduk Desa Pasir Batang yang tertunduk. Sebentar guru besar Padepokan Pasir Batang menarik nafas panjang. Tangannya memberi isyarat kepada mund-muridnya untuk mengangkat mayat Badara. Segera empat orang murid Padepokan Pasir Batang bergerak.
"Apa yang kita khawatirkan selama ini sudah jadi kenyataan," pelan suara Ki Gandara bergumam.
"Maafkan anak ponakan saya, Ki," ucap Sangkala menyesali perbuatan Sawung Bulu.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semuanya telah terjadi. Entah kapan waktunya, malapetaka akan datang ke desa ini," masih terdengar pelan suara Ki Gandara.
"Saya yang akan mewakili meminta maaf pada Raja Dewa Angkara," kata Sangkala merasa bertanggung jawab. "Percuma saja, Sangkala. Raja Dewa Angkara tidak memandang satu dua orang. Kini yang harus bertanggung jawab adalah kita semua."
Seketika semua terdiam. Wajah-wajah pucat tergambar jelas. Semua mengerti maksud kata-kata Ki Gandara. Pada saatnya nanti, desa Pasir Batang akan lenyap seperti Desa Kenanga. Pertentangan sudah dibuka. Korban pertama telah jatuh. Mereka tinggal menunggu nasib.
Sangkala menyesali diri karena tidak bisa meredam darah muda keponakannya. Kini semuanya terlambat.
Mau tidak mau seluruh penduduk Desa Pasir Batang harus menghadapi kelompok Raja Dewa Angkara. Kehancuran sudah terbayang di mata seluruh penduduk. Rasanya saat ini nyawa telah lenyap dari badan. Satu per satu mereka melangkah pergi dengan wajah tertunduk lesu. Tidak ada semangat hidup. Sepertinya tinggal tunggu waktu saja malaikat maut datang ke Desa Pasir Batang.

6. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Gadis TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang