BAGIAN 7

1.2K 54 0
                                    

"Sawung Bulu, di mana kau...!"
Teriakan yang keras dan menggema itu membuat Sawung Bulu tersentak kaget. Bergegas dia bangun dari tidurannya Teriakan itu terdengar sangat dekat dan berulang-ulang. Dia kenal dengan suara itu.
"Paman Sangkala...," desis Sawung Bulu. "Bagaimana mungkin dia tahu aku ada di sini?"
Sawung Bulu sedikit ragu-ragu untuk ke luar goa. Matanya sempat melirik Melati yang masih tergolek lemas di atas  hamparan  dedaunan. Rupanya Melati juga mendengar suara itu, namun karena pengaruh totokan pada tubuhnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sawung Bulu...!"
Terdengar lagi suara panggilan yang keras. Pelan-pelan Sawung Bulu mendekati mulut goa. Tangannya menyibakkan sedikit semak-semak  rimbun yang menutupi mulut goa. Jelas terlihat Sangkala bersama empat orang lainnya berdiri di depan mulut goa dengan mata beredar mencari- carl
"Paman.... Paman Sangkala" panggil   Sawung Bulu sambil menguakkan semak-semak.
Sangkala langsung menoleh dan berlari ketika melihat Sawung Bulu muncul dari rimbunan semak. Sesaat mereka saling bertatapan, lalu berpelukan hangat.
"Aku tak mengira kau masih hidup, Sawung Bulu," kata
Sangkala penuh rasa haru.
"Pendekar Rajawali Sakti telah menyelamatkan hidupku, Paman," sahut Sawung Bulu sambil melepaskan pelukannya.
Kembali mereka saling tatap, penuh rasa haru. "Bagaimana Paman bisa tahu aku ada di sini?" tanya
Sawung Bulu.
"Pendekar yang menolongmu  memberitahuku," sahut
Sangkala.
"Maksud Paman, Pendekar Rajawali  Sakti?" Sawung Bulu belum yakin. "Benar."
"Lalu, di mana dia sekarang?"
"Ke puncak Gunung Balakambang."
"Celaka!" Sawung Bulu terkejut Wajahnya seketika menyiratkan  kecemasan. "Ayo, Paman. Kita harus bantu dia!"
"Tunggu dulu, Sawung. Aku juga akan ke sana, tapi aku harus membawa dulu orang yang bersamamu di sini."
Sawung Bulu menepuk keningnya sendiri. Dia teringat Melati yang masih tergolek lemas di dalam goa. Cepat-cepat Sawung Bulu mengajak  pamannya ke dalam goa batu ini.
Betapa terkejutnya Sangkala ketika melihat Melati terbaring lemas di atas tumpukan daun-daun kering.
Pakaian hitam ketat masih membungkus tubuh yang ramping.
"Melati...," desis Sangkala setengah tidak percaya. "Benar, Paman. Dia Melati putri Kepala Desa Karang
Sewu," Sawung Bulu membenarkan.
"Bagaimana mungkin? Bukankah sudah dijadikan korban  persembahan tiga tahun yang lalu?"  Sangkala masih belum percaya.
"Tidak salah Paman. Tiga tahun yang lalu Melati memang dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa Angkara."
Sawung Bulu menjelaskan semuanya yang didapat dari Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lupa juga tentang kekuatan yang mempengaruhi semua korban korban persembahan, sehingga mereka tidak ingat akan diri masing masing Raja Dewa Angkara juga menjadikan gadis-gadis itu sebagai laskar yang tangguh.
Sangkala mendengarkan dengan penuh perhatian. Pantas saja Pendekar Rajawali Sakti melarang membunuh laskar Raja Dewa Angkara yang telah mengganas membantai penduduk desa. Rupanya memang orang-orang itu tidak berdosa, yang jiwanya dalam pengaruh kekuatan Raja Dewa Angkara.
"Hm..., siapa Raja Dewa Angkara itu sebenarnya?" Sangkala seolah bertanya pada dirinya sendiri
"Orang-orang yang selama ini kita hormati, Paman," sahut Sawung Bulu
"Maksudmu?" tanya Sangkala tidak mengerti. "Rawusangkan, Wratama,   Bagaspati, dan Paralaya. Merekalah yang menamakan diri sebagai Raja Dewa Angkara."
Bagai disambar petar rasanya Sangkala saat ini. Bola matanya menatap tajam Sawung Bulu. Dia masih belum percaya dengan pendengarannya sendiri. Apakah Sawung Buki tidak main-main? Mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati, karena mereka orang kerajaan yang menguasai seluruh desa di sekitar lereng Gunung Balakambang.
Lebih-lebih Rawusangkan yang sampai saat ini sebenarnya masih menjabat patih. Juga Bagaspati dan Paralaya yang merupakan punggawa pilihan. Sedangkan Wratama bekas punggawa yang sudah beralih jadi tabib yang sangat terkenal. Tetapi untuk Wratama sendiri, Sangkala tak ambil peduli. Orangnya telah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Menurut Pendekar itu pula, Wratama adalah salah satu dari orang-orang Raja Dewa Angkara. Hanya yang masih belum dipercaya adalah ketiga orang itu.
"Aku sendiri hampir tidak percaya kalau mereka berada di belakang layar selama ini. Tetapi setelah kubuktikan dengan mata kepalaku  sendiri, baru aku bisa percaya," kata Sawung Bulu.
"Bagaimana kau bisa tahu semua ini?" tanya Sangkala ingin tahu.
"Dengan itu," Sawung Bulu menunjuk seonggok baju hitam yang tergeletak di pojok gua.
Sangkala menghampiri baju itu, dan  mengambilnya.
Baju itu sama persis dengan yang dikenakan Melati, serta orang-orang Raja Dewa Angkara lainnya.
Sangkala memandang keponakannya untuk minta penjelasan.
'Tadi pagi ketika berburu, aku menemukan beberapa mayat yang  seluruhnya mengenakan baju hitam.  Saat itulah akalku berjalan. Kulepaskan salah satu baju mayat itu yang masih utuh. Dengan baju itu aku menyamar sehingga dapat menyusup ke sarang Raja Dewa Angkara," Sawung Bulu menjelaskan.
"Lalu, apa yang kau dapat dari sana?" tanya Sangkala. "Raja Dewa Angkara  menggunakan kekuatan batin
untuk mempengaruhi gadis-gadis korban persembahan untuknya   sekaligus menjadikan mereka   laskar yang tangguh dan perkasa."
Sangkala mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam hati memuji kecerdikan keponakannya ini.
"Yang jadi biang keladi semua ini adalah Rara Inten."
"Rara lnten...?!" Sangkala terkejut.  "Bukankah Rara Inten istri ketiga Ki Ardareja?"
"Benar, Paman. Selama ini kita tidak mengetahui kalau Rara Inten mempelajari ilmu kekuatan bathin. Rara Inten pun tahu betul semua peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu. Ketika dia tahu kalau Rawusangkan sebenarnya adalah kakak Wratama, anak istri pertama Ki Ardareja, maka dengan kekuatan batin itulah jiwa mereka dipengaruhi. Tak ketinggalan dua punggawa kepercayaan Rawusangkan ikut dipengaruhi kekuatan batin itu."
"Hm...," Sangkala mengguman dengan kepala terangguk-angguk.
"Sebenarnya pula Rara Inten yang membunuh Ki Ardareja. Dia menunggu saat yang tepat untuk melancarkan fitnah. Dipengaruhilah Wratama dan Rawusangkan dengan mengatakan kalau yang membunuh ayah mereka adalah Ki Brajananta."
"Kenapa Rara Inten melakukan  semua  itu?"  tanya Sangkala.
"Rara Inten mencintai Ki Brajananta, namun cintanya tak pemah kesampaian. Dia dendam dan melarikan diri ketika bayi pertama Ki Ardareja hilang. Kemudian dia menyepi di puncak Gunung Balakambang sambil mempelajari semua ilmu-ilmu kebatinan dari buku-buku peninggalan kakeknya."
"Ya, aku tahu itu. Ki Gandara pernah cerita kalau kakek Rara lnten seorang ahli kebathinan di samping jadi tabib. Hm..., tidak mustahil kalau Wratama dan Rawusangkan tidak mengenalnya. Yang pasti Rara Inten sekarang sudah tua," pelan suara Sangkala terdengar.
"Paman salah duga. Rara lnten masih kelihatan muda dan cantik," selak Sawung Bulu.
"Oh...!"
"Dengan ramuan ramuan yang dikuasainya, Rara lnten bisa membuat dirinya jadi awet muda dan tetap kelihatan cantik."
Sangkala menggeleng-gelengkan kepalanya, setengah tidak percaya. Tapi dalam dunia ketabiban, hal itu mungkin saja bisa terjadi. Tidak mustahil, sebelum meninggal kakek Rara lnten menurunkan ilmu-ilmunya pada sebuah buku yang kini sudah dikuasai betul oleh Rara Inten.
"Menakjubkan," gumam Sangkala.  "Apa yang dicari Rara Inten sebenarnya?"
"Menguasai seluruh rimba persilatan."
"Edan!"

6. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Gadis TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang