Udara malam terasa panas. Angin seolah-olah enggan bertiup. Langit merah merona bagai membakar. Tanda malam ini akan turun hujan lebat. Keadaan yang seperti tak bersahabat ini, tidak membuat Rangga gundah Pendekar Rajawali Sakti ini tampak duduk tenang, bersandar pada sebuah batu besar dan beralaskan rerumputan tebal bagai permadani terhampar.
Matanya menerawang jauh, menatap sebuah desa yang terlihat sepi dan tenang. Menurut seorang pencari kayu yang ditemui tadi siang, desa itu bernama Pasir Batang. Tampak rumah rumah penduduk yang hanya diterangi pelita dari buah Jarak, berjajar rapi sepanjang jalan utama desa itu. Pandangan Rangga terhenti pada sebuah rumah yang lebih besar dan lebih terang daripada rumah rumah lainnya. Empat buah obor terpancang di setiap sudut pekarangan depan.
Lewat pintu dan jendela yang terbuka, terlihat bagian dalam rumah yang ramai dan terang benderang. Mungkin rumah itu milik seorang saudagar kaya atau Kepala Desa yang tengah mengadakan pesta. Beberapa orang teriihat berjaga-jaga di sekelilingnya.
Dugaan Pendekar Rajawali Sakti memang hampir benar. Rumah besar yang kini jadi perhatiannya itu, milik Kepala Desa Pasir Batang. Tapi di sana bukan sedang mengadakan pesta, melainkan semacam sidang. Beberapa pemuka dan tokoh terpandang desa Pasir Batang berkumpul atas undangan Ki Brajananta, Kepala Desa Pasir Batang.
Di ruangan yang cukup luas itu, Ki Brajananta duduk dengan penuh wibawa. Matanya agak sayu memandangi tamu-tamu. Seorang laki-laki tua berpakaian serba putih duduk di sampingnya. Dialah Ki Gandara, seorang guru besar Padepokan Pasir Batang. Wajahnya bersih cerah memantulkan kewibawaan. Di depan mereka masih ada enam orang lagi.
"Tujuh hari lagi bulan purnama yang ke tujuh," kata Ki Brajananta perlahan, agak bergumam.
Enam orang yang duduk di depan Ki Brajananta memandang ke arahnya. Mereka telah mampu menebak arah pembicaraan itu. Suatu pembicaraan yang selalu ada setiap tujuh purnama.
"Tujuh hari bukan waktu yang lama, sedang kita belum siap apa-apa," kata Ki Brajananta lagi.
"Hal ini telah berlangsung lama, Ki. Mengapa Ki Brajananta murung dan gelisah?" tanya Sawung Bulu yang duduk tepat di hadapan Kepala Desa Pasir Batang itu.
"Apa kau tak tahu, Sawung Bulu? Untuk purnama kali ini, Dewi Purmita-lah yang harus dipersembahkan!" Bangka Putung menyelak.
"Benar begitu, Ki?" Sawung Bulu terkejut sekali. Matanya melotot dan menyala tajam.
Ki Brajananta mengangguk lemah. "Hhh...!" Sawung Bulu mendesah panjang.
Semua mata menatap Ki Brajananta dan Sawung Bulu bergantian. Mereka semua tahu bahwa Dewi Purmita putri tunggal Ki Brajananta adalah kekasih Sawung Bulu, murid andalan Padepokan Pasir Batang.
"Ini tidak boleh terjadi! Kita harus melawan!" tiba-tiba Sawung Bulu berkata keras.
"Sawung Bulu!" Sangkala tak kalah keras, sambil berdiri dia menggebrak meja. Mukanya merah. Matanya tajam menatap keponakannya. Sawung Bulu balas menatap tajam pula.
Darah Sawung Bulu mendidih. Hatinya berontak ketika mendengar Dewi Purmita akan dijadikan korban persembahan bagi siluman yang menamakan diri Raja Dewa Angkara.
Sebenarnya bukan hanya desa Pasir Batang saja yang dilanda kegelisahan macam ini. Sebelumnya, suatu desa yang bersebelahan dengan desa Pasir Batang, pernah mencoba menentang tradisi pengorbanan satu gadis perawan setiap tujuh purnama. Tetapi akibatnya, desa itu hancur rata dengan tanah. Tak seorang pun dibiarkan hidup. Gadis-gadis perawan lenyap tanpa bekas. Kejadian itu membuat desa-desa lain di sekitar kaki gunung Balakambang, berpikir seribu kali jika berani menentang kehendak Raja Dewa Angkara.
Kata kata Sawung Bulu yang dilandasi oleh hari panas dan gejolak darah muda itu, memang membuat semua orang yang hadir di situ terkejut Lebih lebih Sangkala, paman Sawung Bulu. Tak terkecuali Ki Gandara, guru sekaligus pengganti orang tua Sawung Bulu. Tetapi sikapnya sangat tenang. Matanya hanya menatap tajam pada murid kesayangannya itu.
"Aku akan menantang si keparat Raja Dewa Angkara itu! Kalau dia mampu mengalahkanku, maka aku baru rela Dewi Purmita menjadi korban persembahan!" lantang dan tegas suara Sawung Bulu.
"Edan! Apa kau sudah gila, Sawung Bulu?" Sangkala mendehem.
"Justru aku waras, maka aku berani menantang!" sahut Sawung Bulu tetap tegas suaranya.
"Jadi, kau anggap kami-kami ini tidak waras, heh?!"
"Aku tidak mengatakan begitu, Paman." Sawung Bulu mengalihkan pandangan pada gurunya. Sementara Sangkala kembali duduk setelah tangannya ditarik lembut oleh Rangkuti yang sejak tadi duduk diam di sebelah Sangkala.
"Kau tahu, apa akibatnya menentang Raja Dewa Angkara?" masih terdengar lembut, tenang, dan berwibawa suara Ki Gandara.
"Aku tahu, Ki," sahut Sawung Bulu. "Aku rela melepaskan nyawa demi kebenaran."
"Aku bangga mendengarnya, Sawung Bulu. Hanya saja kau salah menempatkan sikap satriamu."
Semua hening. Sawung Bulu perlahan kembali duduk.
Rasanya semua sungkan kalau Ki Gandara sudah ikut bicara. Tak ada suara yang terdengar.
"Tak pernah aku memberi pelajaran tentang pemikiran yang pendek dan mementingkan diri sendiri. Kau bisa menentang Raja Dewa Angkara. Tapi, cobalah pikirkan akibat yang lebih luas. Bukan kau saja yang akan terbunuh, bahkan seluruh penduduk desa ini akan musnah akibat kecerobohanmu. Ingat, Sawung Bulu. Kau dan kita semua berdiri demi kepentingan penduduk desa Pasir Batang yang kita cintai," ujar Ki Gandara dengan penuh wibawa.
"Tapi, Ki...!" Sawung Bulu coba membantah.
"Kau tidak rela Dewi Purmita jadi korban persembahan?" potong Ki Gandara.
Sawung Bulu hanya menatap saja. Hatinya memang tidak rela kekasihnya Jadi korban persembahan iblis itu.
"Lihatlah Ki Brajananta, Sawung Bulu. Dewi Purmita itu putri beliau. Sudah tentu kasih sayang dan cintanya melebihimu. Dia pun tak rela putrinya jadi korban persembahan, seperti halnya orang-orang tua lain yang anak gadisnya jadi korban. Kita semua tak rela, sedih, dan ingin berontak Namun keselamatan penduduk Pasir Batang di atas segala-galanya. Kita masih punya kekuatan dengan mengekang hawa marah, walaupun sakit. Kau mengerti Sawung Bulu?" panjang lebar Ki Gandara memberikan pengertian kepada muridnya yang tengah dilanda emosi.
Sawung Bulu terdiam. Dirundukkan kepalanya. Kata-kata lembut dan penuh wibawa itu menyentuh perasaannya. Hatinya merasa kerdil berhadapan dengan Ki Gandara. Sungguh picik mata hatinya jika tidak bisa melihat keadaan sekitar. Tetapi hatinya tetap merintih dan menangis. Sawung Bulu tak rela dan ingin berontak, tetapi akibatnya seluruh penduduk Pasir Batang akan merasakan murka Raja Dewa Angkara.
Sawung Bulu semakin tak bergairah mengikuti pembicaraan ini. Pikirannya kalut dan hanya tertuju pada Dewi Purmita tercinta. Tujuh hari lagi gadis itu akan jadi korban persembahan Raja Dewa Angkara. Malam pun merambat semakin larut. Pembicaraan terus berlangsung walau tersendat-sendat.
KAMU SEDANG MEMBACA
6. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Gadis Tumbal
AçãoSerial ke 6. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.