BAGIAN 4

1.4K 59 0
                                    

Wratama mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan kedai makan. Sepi. Tidak ada seorang pun yang ada di tempat ini. Kakinya terus melangkah masuk. Di dalam juga sepi. Bagian dalam merupakan sebuah lorong yang di kanan kirinya terdapat kamar-kamar sewa untuk menginap. Semua pintunya tertutup rapat. Wratama baru berhenti melangkah setelah sampai pada ujung lorong.
Matanya kembali beredar mengamati keadaan. Pelan pelan dia mulai mengetuk pintu kamar di depannya. Tidak terdengar sahutan. Kembali diketuknya agak keras dari pada semula. Matanya tetap mengamati sekehhngnya
"Masuk..." terdengar suara dari dalam kamar.
Wratama membuka pintu kamar. Cepat-cepat dia melangkah masuk, lalu bergegas ditutup kembali pintunya. Hanya ada satu pelita kecil yang menerangi, sehingga keadaan kamar menjadi remang-remang. Mata Wratama langsung mengarah ke pembaringan tempat sesosok tubuh ramping tergolek di atasnya.
"Tidak ada yang melihatmu ke sini, Wratama?" tanya sosok tubuh ramping itu. Suaranya halus lembut bagai butuh perindu.
"Tidak," sahut Wratama sambil mendekat.
Sosok tubuh ramping itu pun duduk ketika Wratama duduk di tepi pembaringan. Tampak wajahnya yang cantik dengan bibir merah merekah menyunggingkan senyum. Rambutnya panjang, hitam, dan lebat dibiarkan terurai melewati bahu. Kain sutra halus berwarna merah muda melilit di tubuhnya.
Wratama menelan ludah saat bola matanya menangkap dua bukit putih mulus, menyembul seolah-olah hendak berontak keluar dari balik kainnya. Seperti sengaja, wanita itu menggerakkan tubuhnya, sehingga belahan kain yang melilit agak tersingkap. Terlihatlah dua paha yang terbungkus kulit putih itu, Mata Wratama tidak berkedip memandanginya.
"Tunggu dulu, Wratama," wanita itu mendorong dada Wratama yang akan memeluknya.
"Kenapa? Kenapa kau menolak?" Wratama terus saja ingin memeluk.
"Kau belum mengatakan apa-apa padaku," kata wanita itu.
Keadaan di Padepokan Pasir Batang, maksudmu?" Wanita itu hanya tertawa mengikik. Irama tawanya dipenuhi nafsu birahi, sehingga Wratama hanya menelan ludah untuk yang sekian kalinya. Tangannya sejak  tadi telah bermain-main di paha yang putih terbuka.
"Separuh lebih murid Ki Gandara tewas, sedangkan hanya enam dari Raja Dewa Angkara," kata Wratama.
"Kenapa bisa begitu?" suara wanita itu terdengar terkejut mendengar enam orang dari Raja Dewa Angkara tewas.
"Ada seorang pendekar sakti yang membantu." "Siapa dia?"
"Pendekar Rajawali Sakti. Dia yang membunuh tiga orang Raja Dewa Angkara di halaman rumah kepala desa."
Sesaat suasana hening.
"Bagaimana orangnya?" tanya wanita itu.
"Masih muda, tampan, dan berilmu tinggi. Senjatanya sebuah pedang yang bisa memancarkan sinar biru."
Kembali tak terdengar suara.
"Ah, sudahlah. Kau datang ke sini bukan untuk membicarakan hal itu, kan?" Wratama sudah tidak sabaran lagi.
Wanita itu tidak dapat menolak lagi. Wratama sudah memeluknya ketat. Ciuman dan kecupannya membuat wanita itu mengerang, dan membalas dengan gejolak yang menggelegak dalam dada. Kini di kamar itu hanya terdengar desah nafas memburu disertai erangan dan rintihan yang membangkitkan gairah.
Sementara itu di atap, tepat di atas kamar yang dipenuhi hawa nafsu birahi, Rangga menahan nafas. Suara suara yang didengarnya terakhir membuat gelisah dirinya sendiri. Bergegas dia melompat menuju pohon yang berada tepat di depan jendela kamar itu.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menahan nafas dengan mata sedikit membelalak. Jelas sekali dari tempatnya bertengger, teriihat dua tubuh menyatu rapat di atas ranjang. Jendela yang terbuat dari bilah-bilah papan, memang terlalu renggang susunannya. Sehingga apa yang terjadi di dalam kamar dapat terlihat jelas meski hanya diterangi oleh sebuah pelita kecil.
"Siapa wanita itu? Apakah salah seorang dari Raja Dewa Angkara?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu belum dapat menduga-duga lebih jauh. Dipalingkan mukanya, karena tidak sanggup untuk melihat terus ke dalam kamar. Hanya sesekali saja matanya melirik ke sana. Dan setiap kali melihat dua manusia berlainan jenis itu tengah dimabuk birahi, dadanya seketika berdetak lebih keras dari biasa-nya. Sungguh pemandangan yang membuat Rangga jadi berkeringat.
Agak lama juga Rangga tersiksa sendiri di atas pohon. Rasa penasarannya pada wanita itu, membuatnya bertahan dalam ketersiksaannya. Padahal sejak tadi dia ingin pergi. Saat matanya kembali melirik dalam kamar, ternyata Wratama telah tergolek dengan dada bergerak cepat. Sedang wanita itu duduk di sampingnya.
Wanita itu beringsut turun dari pembaringan. Terlihat jelas kalau dia tidak mengenakan selembar kain pun pada tubuhnya. Kembali Rangga menahan nafas melihat lekuk- lekuk tubuh indah dan menggairahkan. Wanita itu mengenakan kembali pakaiannya. Wratama masih tergolek tak berdaya.
"Dia keluar," bisik Rangga dalam hati.
Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali berada di atas atap lagi. Sebentar dia menunggu, dan terlihatlah wanita itu telah mengenakan pakaian serba hitam. Dia melesat cepat ke luar kedai makan yang sekaligus tempat penginapan. Gerakannya lincah dan ringan, sulit diikuti oleh mata biasa. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti, hal itu bukanlah persoalan.
Sambil mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, Pendekar Rajawali Sakti terus mengikuti ke mana wanita itu pergi. Wanita itu tidak menyadari kalau sejak semula telah dibuntuti karena gerakan Pendekar Rajawali Sakti sangat ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit pun.
"Mau ke mana dia?" Rangga bertanya dalam hati. Kening Rangga berkerut makin dalam setelah tahu kalau wanita itu menuju ke Gunung Balakambang. Kini tubuh wanita itu sebentar menghilang, sebentar kemudian terlihat. Pohon-pohon dan semak yang makin rapat mem- buat Rangga makin berhati-hati mengikutinya. Dia yakin kalau wanita itu salah seorang dari Raja Dewa Angkara.
"Hm, Wratama..., apa  hubungannya dia dengan Raja Dewa Angkara?" lagi-lagi Rangga bertanya dalam hati.
Namun belum lag! sempat mendapat jawaban, mendadak...
"Uts!"
Rangga melompat sambil bersalto cepat ketika sebuah tombak hitam meluncur deras ke arah tubuhnya. Belum lagi dia sempat turun, kembali sebatang tombak mengarah deras kepadanya. Berikutnya disusul tombak tombak lain dari segala penjuru mata angin.
"Setan!" dengus Rangga sambil bersalto di udara menghindari serangan gelap yang datang bagai hujan.
Ternyata bukan hanya tombak yang mengincar nyawanya, tetapi juga serbuan anak-anak panah yang kini meluncur dari segala arah. Pendekar Rajawali Sakti dibuat sedikit kewalahan. Tidak diberi kesempatan untuk menarik napas  sedikit  pun!  Bahkan  untuk  menjejakkan  kaki  di tanah saja, tidak ada peluang sama sekali. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak sedang mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', mungkin sudah sejak tadi tubuhnya tercincang.

6. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Gadis TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang