Dua

180 3 0
                                    

Rencana Pemerintah dalam Menanggulangi Sampah Plastik di Indonesia

Seperti yang kita ketahui, sampah di Indonesia terbilang cukup banyak. Para pengguna yang suka membuang sampah sembarangan membuat Indonesia tampak memiliki sampah di mana-mana, meski sebenarnya hal itu benar adanya. Namun, karena kebiasaan itu Indonesia dianggap kotor, tak menjaga kebersihan, bahkan bisa membuat Indonesia tak lagi nyaman karena adanya sampah di mana-mana.

Semua khalayak juga tahu, bahwa sampah plastik adalah sampah terbanyak dan tersusah untuk diurai, atau bisa dibilang butuh sekian waktu sampai bisa membusuk.

Meski setiap warga tahu bahwa plastik adalah sampah yang berbahaya, mereka hanya tinggal lalu, tak sepenuhnya melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan meski mereka tahu apa yang harus dilakukan. Peringatan dan sosialisasi seakan tak berfungsi karena masih saja ada masyarakat yang minim kepedulian.

Kita sering menemui seseorang berbelanja mengenakan plastik yang lalu dibuang setelah sekali pakai, atau langsung membuang botol minum yang telah habis airnya. Hal tersebut sangat membantu alam untuk rusak, dan para masyarakat seolah tak peduli.

Alangkah lebih baik jika para warga sebaiknya mengenakan barang awet, seperti membawa tas untuk membawa belanjaan, penggunaan kembali botol minum, atau membeli minum dengan membawa sendiri botol minum dari rumah.

Pernahkah Anda berpikir mengapa tidak bahan karet yang sering digunakan untuk membuat sandal jepit saja yang dibuat seperti plastik? Atau hanguskan saja plastik dari muka Bumi? Atau bagaimana jika tidak perlu lagi minum berbotol plastik? Bagus lagi kenapa tidak membuat besi berbentuk seperti plastik, layaknya pasak besi yang kokoh dan awet?

Pemerintah pernah melakukan program plastik berbayar, di mana seseorang harus membayar Rp200,00 untuk membeli satu plastik. Mulanya rencana tersebut berjalan, tetapi seiring waktu banyak protes dari berbagai pihak sehingga program tersebut dihentikan.

Selain sampah plastik, sedotan juga menjadi masalah besar. Kecil-kecil cabai rawit, peribahasa itu cocok digunakan untuk sedotan. Meski ukuran sedotan kecil, tapi dampaknya sungguh berbahaya jika terus digunakan. Seperti sekarang, sudah banyak artikel atau berita yang mengatakan sedotan yang dibuang memiliki populasi yang tinggi.

Seolah saudara, sampah plastik dan sedotan memang tidak bisa dipisahkan. Tidak di sungai, danau, bahkan laut, di sana pasti ada sampah plastik dan sedotan. Tidak di bawah jembatan, got, atau tepi jalan, pasti ada pula sedotan bersama sampah plastik. 2 benda itu seolah tak bisa dipisahkan.

Parahnya lagi, bukan hanya di daratan atau perairan, di dalam perut hewan pun 2 benda itu bisa berada. Banyak hewan mati akibat memakan benda yang seharusnya tidak dimakan, ya, seperti sampah plastik dan bangsanya. Penebangan hutan liar merajalela, makanan hewan menipis, plastik tersedia banyak. Mau tidak mau, suka tidak suka, para hewan harus makan makanan yang ada, bahkan jika itu bukanlah makanan. Benda yang bukan makanan itu, jelas tidak menyehatkan, namun para hewan terpaksa memakannya, membuat mereka bisa sakit karena tak ada manfaat bagi kesehatan. Jika bukan sakit, para hewan bisa langsung mati.

Jika hewan tidak ada, maka dari mana manusia makan? Daging? Telur? Susu? Akan ke mana para manusia mencarinya? Atau tanaman yang semakin sedikit, diganti lahan pemukiman. Dari mana manusia memperoleh sayur-mayur? Dari mana para hewan akan makan?

Meski manusia yang berulah, para hewan dan tumbuhan juga bisa menjadi imbasnya. Saat alam mulai membalas perbuatan para manusia seperti banjir dan tanah longsor, mereka justru berduka, atau mungkin ada segelintir orang yang sedikit merasakan kemarahan mengapa peristiwa tersebut terjadi padanya atau kepada orang terdekatnya. Meski alam membalas pun, para manusia tidak jera dan tidak sadar. Terbersitkah dalam pikiran mereka bahwa bencana tersebut bisa saja menjadi teguran akan keburukan mereka dalam membuang sampah sembarangan dan menebang hutan secara liar?

Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah mencoba melakukan berbagai cara. Seperti pemerintah yang menargetkan sekian persen dari target sampah yang terkurangi dengan memerlukan 2 indikator yang terukur dan dapat tercapai; indikator pengurangan sampah dan indikator penanganan sampah.

Indikator pengurangan sampah dapat berupa penurunan jumlah timbulan sampah per kapita, penurunan jumlah sampah yang diangkut ke tempat pemrosesan akhir, dan peningkatan jumlah sampah terpilah, terdaur ulang, dan dimanfaatkan kembali.

Indikator penanganan sampah sendiri berupa peningkatan jumlah sampah terolah menjadi bahan baku, peningkatan jumlah sampah dimanfaatkan menjadi sumber energi, dan penurunan jumlah sampah terproses akhir di tempat pemrosesan akhir.

Sayangnya, tidak banyak masyarakat yang mengetahui ini. Ada beberapa masyarakat yang hanya peduli lewat, peduli namun tak tahu bagaimana cara lebihnya, atau memang tidak peduli.

Pemerintah juga berupaya untuk menangani sampah menurut jenis sampah berdasar jumlah timbunan yang telah ada dan kesulitan penangan untuk diurai. Masih ada upaya lain dari pemerintah untuk menangani masalah sampah yang ada di Indonesia, namun seperti yang sudah diberitahu, beberapa masyarakat beragam komentarnya. Ada yang tidak tahu karena tidak peduli atau tidak niat mencari tahu, atau benar-benar peduli sehingga benar-benar mengorek hal ini.

Pada umumnya, masyarakat mendukung upaya pemerintah untuk mengurangi jumlah sampah plastik, karena masyarakat mengetahui apa saja dampak jika adanya ribuan sampah menumpuk. Masyarakat setuju-setuju saja, beberapa ikut serta untuk mendukung, jika upaya pemerintah dalam menanggulangi sampah terutama sampah plastik adalah upaya yang baik, asal tidak mengusik hidup mereka. Misalnya seperti pemerintah yang meminta sebuah perumahan digusur untuk ditanam pepohonan, tentu contoh upaya tersebut menelisik hidup masyarakat, otomatis masyarakat akan protes meski jika dilihat dari sudut pandang lain upaya tersebut bisa benar.

Meski para masyarakat setuju tentang upaya pemerintah dalam menanggulangi sampah, sekali lagi, jika kepedulian mereka tidak tertarik, atau dalam kata lain hanya pemerintah yang mencegah, butuh waktu lama Indonesia membersihkan sampah. Di zaman sekarang, anak nakal semakin susah diberitahu, menarik perhatian masyarakat untuk benar-benar sadar pun juga susah.

Meski jika ditanya jawaban mereka benar, itu seolah perumpamaan 1+1=2. Dalam perhitungan itu, masyarakat tahu jawabannya, namun tidak bertanya untuk apa mereka menghitung itu? Atau mengapa harus angka satu? Mengapa harus ditambah? Hal itu sama seperti ini, masyarakat bisa menjawab tentang sampah, tetapi hati mereka tidak tergerak untuk mencari tahu atau melaksanakan hal yang sebenarnya harus dilakukan.

Intinya, untuk menanggulangi masalah banyaknya populasi sampah di Indonesia, tidak hanya pemerintah yang berupaya mencegah hal tersebut, namun kerja sama masyarakat juga dibutuhkan. Indonesia tidak membutuhkan warga yang hanya bisa menjawab tetapi tidak bisa melakukan, masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mencegah masalah tersebut jika mereka memang ingin mencegah hal tersebut. Pandangan masyarakat terhadapa pemerintah tidaklah penting, untuk masalah seperti ini, kerja sama antara pemerintah dan masyarakat dibutuhkan.

Sekarang, untuk masalah sampah, semua berada di tangan masyarakat sendiri. Apakah mereka ingin berubah menjadi lebih baik ke depannya?

Artikel oleh: Nabila

Sajian OpiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang