22. Baper

107 75 33
                                    

Gue melempar handuk yang dipakai setelah keramas itu dengan asal. Menatap langit - langit kamar dengan teliti. Jantungnya berdebar dengan kencang, pipinya mulai memerah padam.

Sialan.

Siapapun yang bermain game pasti akan me-reject telepon dari orang lain, meskipun itu penting. Mereka tak akan membiarkan AFK begitu saja saat sedang asik bermain.

Perkataan Mentari kembali berputar dikepala nya, bahkan semua perkataan teman - temannya kembali berputar.

'Fero gak pernah nerima telpon siapapun'

'Fero lagi main game, jangan diganggu'

'Mungkin nomor lo bakal diblok ketika spam chat'

Gue mencoba mencerna kalimat yang sempat diucapkan kepada Fero, si manusia batu itu.

'Karna ditelpon'

Kenapa diangkat sih? Kenapa gak dibalas saja pesan singkatnya?!!

Ahhh menyebalkan.

Gue menutup muka dengan bantal, berguling - guling dengan gemas. Pipinya tetap saja memerah.

Boleh gue baper?

Gue membuka kembali aplikasi Whatsapp dan membuka roomchat dari grup 'The Secret' yang sudah berpuluh-puluh pesan padahal hanya ditinggal nelpon Fero beberapa menit yang lalu.

Jari ini ingin mengetik dan bertanya perihal Fero yang mengangkat telepon, tetapi urung. Merasa berlebihan.

Pernah gak sih kalian berprinsip 'jangan suka sama teman sekelas'? Rasanya gue gak suka....tapi kenapa gue baper?

Kalau difikir -fikir.......gue baper kenapa sih?

Gue membalikkan badan menjadi tengkurap, memainkan kedua kaki dengan refleks. Mencoba berfikir apa saja yang terjadi selama hampir 3 tahun ini.

Tak ada yang aneh.

Fero sering mengantarkan gue pulang kerumah, karena rumah kita memang searah. Awal permulaan gue diantar pulang Fero karena Sinta izin tak masuk sekolah karena sakit.

Jadi mau gak mau, gue minta anterin Fero pulang. Awalnya gak cuma Fero yang gue minta bantuan, tapi hampir sekelas tetapi tak ada yang searah dan kosong hari itu.

"Pinnnnnn"

Sevin memutar kepalanya, menatap gue. "Yoi kenapa?"

"Lo searah sana gue gak? Lewat baypas?" Yaps, baypas adalah salah satu nama jalan di kota Bandar Lampung.

"Lewat, mau nebeng ya?"

Gue tersenyum lalu mengangguk setuju membenarkan. Sevin mengangguk lalu membuka ponselnya saat berbunyi 'Ting!'

"Mal? Emm....gue gabisa, disuruh ngikutin rapat osis sama Deni, Maaf ya?"

Senyum dibibir gue hilang, pupus. "New member ya? Yaudah deh kalo gitu"

Kadek mencolek lengan membuat gue refleks menoleh. "Mau ke kosan gue aja? Ntar gue minta tolong kak Andi anter lo pulang, bentar lagi dia pulang kok"

Gue menggeleng pasrah, menolak halus. Merasa mengganggu dan merepotkan. "Enggak deh, gue nebeng......" Mata ini menyusuri kelas, lalu saat menemukan target gue segera melanjutkan. "......Fero aja. Iya kan Fer?"

Fero yang awalnya memasukkan buku kedalam tas, menoleh terkejut lalu mengangguk. "....iya"

Kadek menipiskan bibir menatap gue kembali. "Beneran? Gue duluan ya kalo gitu?"

Gue lagi-lagi mengangguk, lalu melambaikan tangan kepada Kadek yang keluar kelas.

Kelas sudah kosong. Tersisa gue, Fero, Gio, Wawan, dan juga Lutfiatus. Gue keluar kelas menunggu Fero yang sempat berbicara dengan Gio dan juga Wawan.

Melangkahkan kaki kedepan kelas, udara diluar lebih sejuk daripada udara didalam kelas yang notabene-nya pakai AC.

Gue memainkan jemari kaki didalam sepatu, kembali menatap ruang kelas lain yang mulai sepi karena para siswa pulang.

"....jadi?"

Sebuah suara itu membuat gue menoleh, menatap sang pemilik suara. "Searah?"

Fero mengangguk, lalu menutup pintu ruang kelas dan menguncinya. Karena ia selalu datang lebih awal, kunci kelas ia juga yang memegangnya.

Setelah selesai mengunci, ia kembali mendekat kearah gue, wangi parfum salah satu merk terkenal tercium hingga di indera penciuman gue.

Lalu gue mengikuti Fero dari belakang, terdapat Lutfiatus dan juga Gio yang memimpin, ntahlah sejak kapan mereka dekat. Dan juga Wawan yang sesekali menggunakan tangan jahilnya memetik bunga atau daun yang dapat ia gapai di sepanjang perjalanan.

Sampailah diparkiran motor yang tadi pagi padat dan sekarang tak sepadat tadi pagi. Fero mengambil motor dan mengendarainya kearah gue. "Gue gak bawa helm 2, gakpapa?"

Gue menggeleng. "Deket kok"

Fero mengangguk lalu tanpa disuruh gue naik dibelakang, berpegangan pada jaket yang Fero gunakan sebagai tumpuan naiknya.

"Udah?"

"Udah"

"Turun"

Gue membelalakkan mata, refleks mencubit pelan pinggangnya. "Is apaan sih"

Fero tertawa lalu melirik lewat kaca spionnya. Tanpa kata menjalankan motornya lalu keluar dari area parkir dan keluar gerbang sekolah.

Selama diperjalanan kami berdua diam, karena posisinya itu pas awal masuk sekolah. Masih canggung, maklum baru lulus SMP.

Yahh..... Fero cowok pertama kali yang membonceng gue saat SMA ini. Padahal kami tidak terlalu dekat, bahkan bisa dibilang jarang sekali berbicara.

Fero memang tipikal cowok yang jarang sekali berkomunikasi, apalagi dengan cewek walaupun itu teman sekelasnya sekalipun.

Fero terlalu introvert untuk berteman dengan gue yang extrovert. Fero terlalu pendiam untuk berteman dengan gue yang gak bisa diam.

Fero dan gue adalah 2 pribadi yang bertolak belakang, kami berbeda. Tapi anehnya kami tak pernah ribut tentang hal itu.

Bukan seperti gue dan Wawan, yang sampai ditahun ketiga ini masih saja bertengkar untuk hal yang sepele.

Fero memberhentikan motor, membuat gue tersadar atas lamunan. "Udah sampe"

Gue menoleh kesekitar, menatap gerbang berwarna biru yang notabene-nya adalah gerbang rumah gue.

Gue turun dengan perlahan, lalu berdiri disamping Fero. "Makasih ya?"

Fero mengangguk sebagai balasan perkataan gue. Lalu memutar balik motornya dan melanjutkan perjalanannya. Sebelum pergi, ia sempat mengklakson pertanda melanjutkan perjalannya.

Udah. Itu awal cerita gue sama Fero. Gak ada yang aneh menurut gue pribadi. Dan semenjak itu gue jadi ga terlalu canggung untuk sekedar minta anterin pulang.

Ehh bentar....



Mengingat kejadian 2tahun yang lalu itu, membuat gue tersadar. FERO TAU DARIMANA RUMAH GUE?!

Pemilik Otak Rumit [TERBIT-OPEN PO✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang