3

1K 123 13
                                    

Usia kehamilan Jihoon memasuki bulan ke tujuh. Badannya tak sekurus dulu. Pagi ini Jihoon membantu Bibi Yoon memasak. Gerakan aktif di perutnya membuat ia terkadang meringis. Bukan sakit, hanya geli.

Setelah sarapan, Jihoon berangkat ke villa mengambil botol bekas. Pakaian Jihoon tampak lusuh, rambutnya ia ikat keatas.

"Eonni, dimana botolnya?"

"Oh Jihoon, ada di tempat sampah belakang. Hati hati, agak licin."

"Ya eonni."

"Setelah selesai mengambil botol, kemari ya. Aku punya sesuatu untukmu."

Jihoon mengambili botol botol bekas di tempat sampah. Mengisi karung kosongnya dengan botol botol bekas wisatawan. Apalagi, villa ini satu satunya di desanya. Jihoon bukan tak bisa bekerja yang lain, tetapi ijazahnya ada di panti asuhan.

"Eonni, aku sudah selesai."

"Tunggulah sebentar, Jihoon."

Pemilik villa tampak keluar membawa kantong plastik.

"Ada roti baru datang dari rumah produksi, masih hangat. Ada beberapa apel dan jeruk. Aku tak ingin bayimu kekurangan gizi. Cah, makanlah bersama bibi Yoon."

Jihoon menangis, ini bukan pertama kalinya ia di beri makanan oleh orang lain. Hanya saja, kehidupannya kini benar benar di bawah. Bukan ia tak mampu sekedar membeli buah atau roti. Uang simpanan yang ia bawa saat kemari ia gunakan untuk membeli susu hamil dan biaya persalinan nanti.

"Jangan menangis. Tak apa, bawalah. Mau daging?"

"Tidak eonni, aku tadi sudah memasak tahu. Eonni, terimakasih banyak. Jangan memberiku makanan terus."

"Hei, ini untuk bayimu. Aku tak ada maksud lain Jihoon."

"Eonni, terimakasih banyak. Aku pulang dulu."

Jihoon menyusuri jalanan setapak di desanya sambil membawa karung. Hasil menjual botol tak seberapa, cukup untuk makan. Setidaknya ia tak menganggur.

Sampai di rumah, Jihoon memakan roti bersama bibi Yoon. Roti dengan isian pisang dan cokelat ini menjadi makanan favorit Jihoon selama satu bulan terakhir. Tiga hari sekali setiap mengambil botol, pemilik villa selalu memberi beberapa untuk Jihoon.

"Bibi, aku ingin ke danau sebentar."

"Ganti baju dulu Jihoon."

"Iya bibi."

Jihoon mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih. Berjalan sekitar dua ratus meter menuju danau. Danau ini banyak di datangi wisatawan. Sekedar berfoto atau memancing. Jihoon berjalan menuju kursi biru tua di ujung. Tempat kesukaan Jihoon akhir akhir ini.

Memikirkan apa mertuanya mencarinya? Apa Soonyoung merasa kehilangan? Apa Soonyoung saat ini juga tengah mencarinya?

Sementara di Seoul.

Soonyoung bersama orang tuanya menempelkan selebaran foto Jihoon. Di halte, di stasiun, di tempat tempat yang diizinkan untuk di tempeli. Ibunya menangis, takut terjadi apa apa dengan Jihoon.

Apa Jihoon baik baik saja? Bagaimana bayinya? Apa Jihoon sudah makan? Tidur dimana?

Cctv di depan rumah Soonyoung mati saat Jihoon pergi, jadi tak bisa merekam kejadian di depan rumah. Kendaraan apa yang di pakai, dan jam berapa Jihoon pergi.

Akhir akhir ini, Soonyoung merenungi kesalahannya. Ia tak mengenal Jihoon, tapi malah ia menyiksanya. Tak seharusnya bagitu. Tak ada lagi panggilan "soonyoung-ah, bajumu sudah aku gantung di dekat pintu." Tak ada lagi pertanyaan pertanyaan sederhana dari Jihoon "Soonyoung, kopi latte nya mau di temani dengan biskuit? Soonyoung, mau selai kacang? Soonyoung, apa boleh aku tidur di rumah ibu? Soonyoung, maukah memegang perutku sebentar saja?" Soonyoung menangis sambil memukuli dadanya, cukup sesak jika harus membayangkan Jihoon. Ia butuh tahu dimana Jihoon, bagaimana keadaannya, ia butuh tahu keadaan anaknya. Lebih lebih saat Jihoon menuliskan sesuatu di surat "jari kakinya tak sempurna" penyabab utamanya adalah tendangan Soonyoung yang kerap di layangkan di perut buncit Jihoon.

247 • SOONHOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang