Happy reading 🖤
Membawa Hana dalam gendongannya, Jihoon menyusuri jalan setapak untuk sampai di rumah ketua desa. Meminta pekerjaan.
"Jihoon. Ada apa?"
"Ahjussi, adakah pekerjaan untukku? Apa saja, asal aku bisa membawa Hana."
"Sebenarnya besok aku memanen lobak. Kalau kau mau, kau bisa ikut. Hana biar bersama istriku."
"Tak apa ahjussi, akan aku bawa keranjang untuk Hana."
"Terserah kau saja enaknya bagaimana Jihoon."
"Kalau begitu aku permisi, dan terimakasih ahjussi."
"Hati hati nak."
Jihoon pulang menenteng makanan untuk dirinya yang ia beli di kedai. Makanan sederhana untuk mengganjal perutnya. Kalau boleh jujur, Jihoon hanya makan dua kali sehari. Siang dan malam saja. Pagi hari ia ganjal dengan memakan sisa roti pemberian pemilik villa. Setidaknya ada gizi yang masuk, bagaimanapun Hana meminum asinya.
Ia pandangi wajah putrinya. Ia cium jari jari mungil Hana. "Bagaimana nanti jika tak ada yang mau bermain denganmu nak, jika keadaanmu begini. Eomma khawatir sayang. Eomma akan bekerja lebih keras lagi, agar bisa membawamu ke rumah sakit untuk operasi sebelum kau masuk sekolah. Maafkan eomma, tak bisa menjadi ibu yang baik sayang."
Bukan tak ingin menggunakan uang tabungannya. Hanya saja Jihoon takut jika nanti Hana tak bisa sekolah karena tak ada biaya. Handphone saja sudah Jihoon jual untuk membeli perlengkapan Hana.
___
Jihoon meletakkan Hana di keranjang. Sementara dirinya memanen lobak. Beruntung Hana bukan bayi rewel. Ia hanya kan merengek jika haus. Bayi belum genap dua bulan itu seolah mengerti, agar tak menyusahkan ibunya. Tapi karena istri dari pemilik ladang sangat baik, ia menemani Hana di pinggir ladang. Terlebih lagi pasangan yang sudah berusia lebih dari setengah abad ini tak memiliki anak.
"Jihoon, makan siang dulu!" Seru pemilik ladang.
"Baik, ahjussi."
Jihoon meninggalkan pekerjaannya untuk makan siang. Ia memanen sendiri. Karena ladangnya juga tak terlalu besar, sehingga hanya Jihoon yang bekerja.
Makan siang sendiri sambil menyusui Hana. Lalu lanjut bekerja hingga sore hari. Jihoon menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Besok ia harus kembali, masih ada setengah lagi yang belum dipanen.
Jihoon menerima upah hari ini dan membawa sayuran segar pemberian istri pemilik ladang. Terkadang Jihoon malu, selalu di beri makanan oleh orang.
___
Sementara Soonyoung sedang dibuat pusing sekarang. Bibi Jang mengundurkan diri. Ia sudah cocok dengan Bibi Jang. Namun apa boleh buat, ia harus mengerjakan semuanya sendiri mulai saat ini. Seperti saat ini, ia sedang membersihkan taman belakang rumahnya. Memotong rumput, memangkas tanaman yang sudah mulai mati, menyirami bunga, membersihkan kolam renang.
Usahanya mencari Jihoon berhenti sejak seminggu yang lalu. Jihoon tak bisa ia temukan, ia menyerah. Berharap pada Tuhan, suatu saat dapat bertemu dengan Jihoon dan anaknya kembali.
Termenung di pinggir kolam ikan, mendengar gemercik air yang mengalir. Soonyoung meminta pada Tuhan. Jika Tuhan masih memiliki kebahagiaan untuk dirinya, ia meminta pada Tuhan agar memberikan semua kebahagiaannya untuk Jihoon dan putrinya.
Benar kata orang. Penyesalan selalu datang terakhir, jika datang lebih awal namanya pendaftaran. Ya, selama ini Soonyoung telah mendaftarkan penyesalannya.
Meremat surai hitamnya, ia masuk ke rumah. Tak kuat dengan udara dingin. Lalu terlintas di kepalanya, apa Jihoon kedinginan? Apa putrinya kedinginan?
___
Selama beberapa bulan ini, Jihoon mengerjakan beberapa pekerjaan dalam sehari. Jika pagi pagi sekali ia mengambil botol di Villa, siangnya ia bekerja di perkebunan dan malamnya terkadang ia membantu berjualan Tteokbokki di desa sebelah. Jihoon benar benar rela melakukan apapun untuk kehidupannya dengan Hana.
Hana, bayi yang masih berusia enam bulan ini seolah mengerti keadaan ibunya. Ia tak pernah rewel ketika diajak Jihoon bekerja.
"Maafkan eomma sayang. Kau harus ikut eomma bekerja. Mari melewati semuanya bersama. Eomma mencintaimu nak." Jihoon mendekap erat tubuh Hana yang ia gendong. Saat ini Jihoon sedang dalam perjalanan pulang. Ini hampir tengah malam dan Jihoon berjalan sendirian melewati jalan setapak. Tak ada rasa takut yang hinggap.
Terkadang Jihoon ingin menyerah. Ia merasa tak sanggup melewati ini sendirian. Sejujurnya ia ingin menampakkan diri pada Soonyoung. Ingin meminta bantuan, ingin mengemis jika perlu. Namun bayangan Soonyoung menyiksanya membuat ia enggan menampakkan diri.
____
Hana sedang berlarian di halaman rumah. Memakai sandal baru yang Jihoon belikan. Gadis kecil itu tampak bahagia. Sederhana saja kebahagaiaan mereka.
Hampir dua tahun usia Hana. Apapun yang ada pada Soonyoung, ada juga pada Hana. Mata sipitnya, bibir semi tebalnya, hidung kecil. Bahkan jari jarinya persis jari Soonyoung. Berisi.
Tangan kiri Hana kesulitan memegang sesuatu. Kendala jari jarinya yang menempel satu sama lain. Jihoon selalu teriris melihat keadaan putrinya. Seharusnya dulu tak menerima perjodohan satu pihak oleh nyonya Kwon.
"Hana, ayo makan dulu."
"Eomma, kapan appa pulang?" Tanya polos gadis kecil berponi tipis ini.
"Appa akan segera pulang. Appa sedang mencari uang untuk membelikan Hana tenda. Hana ingin tenda seperti milik putri bibi di villa kan?"
"Nde eomma. Aku ingin tenda kuning bergambar beruang cokelat." Hana memeluk manja leher ibunya. Di usapnya wajah ibunya. Wajah yang tak menua namun kusam.
"Soonyoung ah, dia mirip denganmu. Matanya, bibirnya, hidungnya, bahkan pipinya."
Jihoon menyudahi acara melamunnya. Ini jam makan siang putrinya. Dengan telaten Jihoon membersihkan duri duri ikan. Agar Hana tak terganggu acara makan siangnya.
Hana berhenti minum susu sejak sebulan yang lalu. Hana memergoki ibunya duduk di depan laci. Menghitung jumlah won. Dengan polos ia berkata "eomma, aku sudah besar. Tidak mau minum susu lagi. Minum air putih. Seperti eomma." Hana tersenyum di sela bicaranya. Gadis kecil ini berbicara seolah olah dia sudah dewasa. Ia tumbuh dengan baik. Hana, putri Jihoon. Harta Jihoon.
____
"Soonyoung. Ini sudah dua tahun lebih. Tak ingin mencari Jihoon dan putrinya. Ayo mencarinya. Eomma rela kehilangan milyaran won supaya mereka bisa di temukan" nyonya Kwon memohon pada Soonyoung.
Soonyoung tak menjawab. Malah kepalanya serasa ingin pecah. Pekerjaan menumpuk akhir akhir ini. Ditambah lagi ibunya setiap hari memohon agar mencari Jihoon.
Jujur saja, setahun terakhir Soonyoung mulai melupakan Jihoon dan putrinya. Ia tak mau ambil pusing. Soonyoung tipe orang yang gampang menyerah.
MAAF LAMA. MAU LEBIH RAJIN SEKARANG WKWK.
KAMU SEDANG MEMBACA
247 • SOONHOON
Fiksi PenggemarKesakitan ini tak akan berhenti jika aku hanya diam. Aku tahu diri, darimana aku berasal. Tenang saja, aku akan kembali ke tempat aku dimana berasal. Setelah aku pergi, kau bebas melakukan apapun. Aku, tak kan mengganggumu lagi. -Lee Jihoon. Ternya...