BAGIAN 2

1.1K 54 0
                                    

"He he heehe...." Badrun terkekeh dengan mulut menyeringai. Sikapnya benar-benar meremehkan Mega Lembayung. Goloknya yang terhunus dia masukkan kembali ke dalam sarungnya sambil matanya terus memandangi lawannya, seolah-olah ingin menunjukkan kalau tanpa golok
pun dia bisa meringkusnya.
Tangannya terulur hendak mengangkat tangan gadis itu, namun dengan cepat Mega Lembayung menyentakkannya.
"Uts!"
Badrun cepat-cepat menarik tangannya kembali, dan segera meloncat meringkus lawannya. Mega Lembayung memutar tubuhnya sedikit, lalu dengan cepat kaki kanannya melayang ke arah perut Badrun yang menganggap remeh lawannya, tak dapat lagi mengelak. Tendangan perempuan muda itu amat telak dia rasakan.
Pembantu Banulaga itu mengeluh pendek. Tubuhnya terjengkang beberapa langkah ke belakang. Bibirnya meringis menahan sakit di perutnya, dan pandangan matanya terasa kabur. Badrun lalu mencoba bangkit dan menggerak-gerakkan tangannya.
"Hiaaat...!"
Sambil berteriak nyaring Badrun melompat seraya mengirimkan  pukulan pendek. Mega Lembayung memiringkan tubuhnya sedikit, dan tangannya terangkat menangkis pukulan. Dua tangan itu beradu keras. Badrun meringis merasakan tulang tangan kirinya seperti remuk. Kali ini dia tak bisa menganggap remeh lagi pada Mega Lembayung.
Sesaat Mega Lembayung   memperhatikan lawannya.
Hingga detik ini dia hanya bermaksud mempertahankan diri.
Lalu dia melihat lawannya mulai membuka jurus-jurus andalannya. Diapun tidak tinggal diam.
Badrun mulai kembali menyerang dengan jurus-jurus tangan kosong. Dia mengirimkan pukulan tipuan dengan tangan kanannya. Tapi secepat kilat Mega Lembayung berhasil menangkisnya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya mendorong ke depan, disusul dengan tendangan kakinya bertubi-tubi. Badrun jadi kelabakan. Dia bergegas mundur, namun dia masih merasakan dorongan angin dari tendangan Mega Lembayung. Badrun bersalto dua kali sebelum kakinya menjejak tanah.
"Phuih!" dengus Badrun menyemburkan ludahnya.
Sret!
Tanpa malu-malu lagi Badrun  mencabut goloknya. Dia lalu melompat ke depan beberapa langkah, lalu menyerang
lawannya dengan jurus-jurus pendek dan cepat. Goloknya berkelebatan mengurung gadis itu. Namun sampai lima jurus telah ia kerahkan, Mega Lembayung tak tersentuh sedikitpun oleh ujung goloknya yang tajam dan berkilat-kilat. Bahkan beberapa kali pinggangnya terkena sodokan kaki lawannya.
Memasuki jurus ke sepuluh, Badrun mulai terdesak. Dia tak punya kesempatan lagi untuk menyerang. Goloknya seperti tumpul dan mati. Tepat memasuki jurus ke duabelas, dia kecolongan, kaki kanan Mega Lembayung menendang pinggangnya yang kosong. Badrun melenguh pendek, dan tubuhnya terdorong ke samping. Belum lagi dia sempat menguasai diri, datang lagi serangan cepat dan beruntun dari lawannya.
"Akh!" Badrun memekik tertahan.
Saat laki-laki berkulit hitam legam itu hilang keseimbangannya, Mega Lembayung menggebrak dengan
cepat ke arah dada. Badrun terjengkang roboh ke tanah. Darah segar menyembur dari mulutnya. Dadanya terasa amat sesak. Sulit untuk bernapas.
Badrun tengah berusaha bangkit, ketika gadis itu menjerit keras dengan kaki tersentak ke depan. Kakinya nyaris menghantam kepala Badrun, ketika mendadak sebuah sinar keperakan meluncur ke arahnya. Mega Lembayung melenting ke  belakang menghindari sinar  keperakan itu yang ternyata sebuah golok.
"Pengecut!" dengus Mega Lembayung geram.
"Kau memang tidak bisa diajak senang, perempuan setan!" geram Banulaga.
"Phuih! Kau bisa berbuat semaumu pada gadis lain. Tapi jangan harap bisa memangsaku!"
"Kau memang cantik, tapi mulutmu kotor!"
"Tidak lebih kotor dari dirimu sendiri, bangsat!"
Banulaga menahan geram dan darahnya mendidih. Kalau saja   bukan perempuan cantik yang ada di hadapannya, perempuan muda itu pasti sudah mati oleh jarum-jarum beracunnya. Atau wajahnya sudah robek terkena sepasang golok peraknya. Perempuan muda itu sudah telanjur membangkitkan birahinya, hingga terasa sayang kalau dia bunuh sebelum dinikmati kehangatan tubuhnya.
Banulaga meraba pinggangnya. Tangan kanannya lalu menarik ikat pinggang yang melilit. Tampak sebuah cambuk dari bahan kulit yang dipintal dengan urat kuat tergenggam di tangannya. Suara cambuk itu menggelegar ketika Banulaga mengebutkannya. Mega Lembayung beringsut mundur dua tindak.  Sepasang bola matanya yang indah  menatap tajam pada cambuk yang tergenggam di tangan Banulaga.
Banulaga segera menyerang Mega  Lembayung dengan cambuknya.   Mega Lembayung berlompatan   menghindari ujung cambuk yang bergerak cepat mencecar tubuhnya. Sementara dua pasang mata lainnya melihat dengan caranya yang berbeda. Badrun melihatnya dengan senyum yang mengejek, tanpa rasa malu telah dipecundangi oleh seorang perempuan muda. Tapi sepasang mata lainnya begitu cemas dan  ketakutan melihat pertempuran itu  dari balik sebatang pohon. Pak Karta mulai meraba apa yang akan terjadi pada diri Mega Lembayung.
Tiba-tiba tercium bau busuk yang menusuk hidung dan amat memualkan. Cambuk Banulaga itu ternyata beracun. Semakin gencar cambuk itu menghajar lawannya, baunya semakin menyengat dan memabukkan. Mega Lembayung sudah tak bisa menguasai diri, tubuhnya limbung mencium bau busuk semakin memecah terkena cambuk bertubi-tubi.
Tap!
Perlawanan Mega Lembayung pun tampaknya mati ketika ujung cambuk membelit tangan kanannya, lalu terangkat dan disentakkan dengan keras oleh Banulaga yang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tubuh Mega Lembayung tersentak keras dan terbanting ke tanah.
"Ha ha ha...!" Banulaga tertawa puas melihat lawannya tak berdaya.
Beruntung Mega Lembayung memiliki kekuatan dan kepandaian  yang lumayan, hingga sentakan cambuk itu tak sampai merenggut  jiwanya. Sementara tak jauh dari tempatnya, Pak Karta  tergeletak pingsan. Tubuhnya yang ringkih tak mampu menahan bau busuk cambuk Banulaga. Dia muntah-muntah sebelum akhirnya tergeletak lemas.
Mega Lembayung berusaha menghimpun kekuatannya kembali. Dia mencoba bangkit, tapi Banulaga segera menyambar tubuhnya dengan lecutan cambuknya. Pinggang Mega Lembayung pun terbelit tanpa bisa mengelak. Banulaga menarik cambuk itu kuat-kuat sambil memutarkan badannya, dan tubuh perempuan muda yang malang itupun kembali roboh.
Banulaga tertawa terbahak-bahak melihat korban keganasannya berkutat sendiri berusaha melepaskan belitan cambuk di tubuhnya. Dia seperti tengah menonton adegan lelucon.
"Badrun!" Banulaga menjentikkan  jarinya. Badrun yang sedari tadi ikut terkekeh-kekeh melihat adegan itu langsung menghampiri sambil menuntun kuda putih kesayangan
tuannya. Dia sudah hapal betul apa yang yang akan diperguat Banulaga jika menghadapi musuh-musuhnya yang sudah tak berdaya.
Banulaga pun langsung melompat ke atas punggung kuda tanpa melepaskan gagang cambuknya.     Tubuh Mega Lembayung tersentak, terseret sempoyongan, lalu tersungkur sampai cambuk itu terlepas sendiri dari tubuhnya yang memar dan penuh luka cambukan.
"Ha ha ha...! Perempuan tolol! Rupanya kau lebih suka dengan caraku begini, heh?" Banulaga tertawa dari atas kudanya, lalu menoleh pada tubuh Ki Karta yang masih tergeletak pingsan, "Ikat tua bangka itu di pohon!"
Badrun terkekeh sambil melangkah menghampiri laki-laki tua itu, lalu digelandang dengan kakinya ke sebuah pohon. Mega Lembayung yang melihatnya, mencoba bangkit dan berlari mendekat.
"Iblis kejam!"
Tar!
Lecutan cambuk kembali mengenai tubuhnya, lalu ia roboh seketika.
Badrun mulai mengikat tangan Ki Karta. Lalu dengan tambang panjang dia mengikat leher laki-laki tua itu. Sedang ujung satunya lagi dia ikatkan ke batu sebesar dua kali kepala manusia.
Batu itu diletakkan di atas tonggak kayu, lalu di limbungkan dengan tongkat yang dibelitkan dengan tambang yang mengikat leher Ki Karta. Sedikit saja pak tua itu siuman dan menggerakkan kepalanya, tongkat itu akan menarik batu terjatuh ke tanah, dan leher Ki Karta pun akan tercekik.
"He he he...," Badrun terkekeh melihat hasil pekerjaannya yang sempurna, lalu mendekati Mega Lembayung yang sudah berdiri dengan cambuk yang membelit dadanya.
"Kau juga akan bernasib sama, Nona Manis. Kecuali kalau kau mau Jadi... he he he...," Badrun kembali terkekeh.
"Cuih!" Mega Lembayung menyemburkan ludahnya, dan,tepat menemplok di muka Badrun.
"Sompret!" Badrun jadi geregetan.   Tangannya sudah terangkat hendak menampar.
"Badrun!" sentak Banulaga cepat.
Badrun mendengus seraya menurunkan tangannya kembali. Dengan muka cemberut dan menahan dongkol dia menyeka ludah di mukanya. Laki-laki berkulit hitam legam itu menghampiri kudanya yang tertambat di pohon. Matanya melirik Mega Lembayung sebelum meloncat ke punggung kudanya.
"Hiya!" "Hiya!" Tras!
Tiba-tiba saja cambuk yang membelit dada Mega Lembayung terputus   begitu Banulaga menyentakkan tali
kekang kudanya. Banulaga terkejut dan segera melenting dari punggung kudanya. Badrun segera mengejar kuda putih tunggangan tuannya ini.
"Bangsat!" geram Banulaga.
Dengan amarah yang memuncak, dia membuang cambuknya yang sudah butut. Sedang Mega Lembayung bergerak bangkit sambil melepaskan sisa cambuk yang melilit di tubuhnya. Tak jauh dari gadis itu, berdiri seorang pemuda tampan berpakaian rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung menyembul di pinggangnya. Pemuda itu tak lain dari Pendekai Rajawali Sakti. Dia lalu menolong Mega Lembayung melepaskan belitan cambuk.
"Terima kasih," ucap Mega Lembayung.
Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti itu hanya tersenyum  tipis. Matanya  tak lepas menatap Banulaga yang sudah mencabut golok peraknya.  Tampak wajah Banulaga yang merah-padam menahan amarah. Kemudian terdengar suara langkah kuda mendekati mereka. Badrun   muncul dengan menuntun kuda putih dari atas punggung kudanya, dan segera meloncat turun begitu melihat tuannya tengah memandang orang asing yang belum dikenalnya. Tangannya langsung mencabut golok.
"Siapa kau? Berani mencampuri   urusanku!" bentak Banulaga sengit.
"Aku Rangga," sahut Rangga tenang.  "Aku tidak suka melihat kekejaman berlangsung di depan mataku."
"Setan alas!"
"Menyingkirlah, Nona. Bebaskan orang tuamu," kata Rangga lembut.
"Hati-hati, orang itu kejam sekali,"  Mega Lembayung mengingatkan.
"Hm," Rangga hanya tersenyum kecil.
"Badrun!" Banulaga menjentikan jarinya.
Badrun langsung melompat menyerang dengan goloknya. Rangga  hanya memiringkan tubuhya sedikit,  dan tebasan golok itu lewat di sampingnya. Secepat kilat tangan Pendekar Rajawali Sakti itu  mengibas ke arah dada. Namun  Badrun sudah lebih dulu bergerak ke kiri dan kibasan tangan Rangga lewat di tempat yang kosong.
Kembali Badrun mengayunkan goloknya ke arah kepala,
dan Rangga mengangkat tangan kanannya. Tap! Golok Badrun berhasil dijepit dengan dua jari tangan. Badrun berusaha menarik goloknya keluar dari jepitan jari yang  bagaikan sebuah penjepit baja itu. Rangga menggerakkan jarinya sedikit, dan...
Trak!
Golok yang dijepit patah jadi dua. Badrun terkesima menatap goloknya yang patah itu. Dan belum sempat ia mengalihkan perhatian, mendadak kaki Rangga sudah melayang deras menghantam dadanya.
Badrun terjengkang sejauh kira-kira dua batang tombak ke  belakang.  Dari mulutnya memuncrat darah  segar. Dan belum lagi dia sempat bangun, Rangga sudah melompat bagai kilat, dan kakinya langsung menjepit leher laki-laki berkulit hitam legam itu.
"Hih!" Trak
Badrun tak mampu lagi bersuara. Tulang lehernya langsung patah. Hilang sudah nyawa dari badannya. Rangga lalu memandang Banulaga yang masih terkesima melihat kematian pembantunya yang hanya dengan sekali gebrak saja. Banulaga cepat mengalihkan perhatiannya pada Rangga. Dengan cepat dia meloncat sambil mengibaskan golok kembarnya.
Rangga berkelit menghindari serangan cepat dua golok kembar keperakan itu. Serangan Banulaga itu amat gencar dan dahsyat. Dua golok di tangannya berkelebatan cepat, hingga yang terlihat hanya dua berkas sinar putih keperakan yang mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.
Banulaga telah mengerahkan  kekuatannya hingga jurus ke sepuluh. Namun belum sedikitpun tubuh Rangga terkoyak oleh golok kembarnya. Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti ini belum melayaninya secara sungguh-sungguh. Dia hanya berkelit sekedar menghindari setiap serangan yang dilancarkan Ranulaga.
Tiba-tiba Banulaga menyatukan goloknya ke tangan kiri. "Hiaaa...!"
Banulaga meloncat sambil melontarkan jarum-jarum mautnya yang beracun. Rangga terbeliak sesaat, lalu secepat kilat tubuhnya melenting berputaran di udara menghindari jarum-jarum beracun yang datangnya bagai hujan. Rangga benar-benar dibuat kerepotan dengan serangan-serangan jarum-jarum itu. Dia berjumpalitan di udara sambil matanya mencari-cari celah untuk membalas.
Dan kesempatan itu pun datang   ketika Banulaga kehabisan jarum-jarum mautnya. Hanya sesaat memang, dan itu juga cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk membalas serangan. Secepat kilat dia meluruk deras ke arah Banulaga. Rangga langsung mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kakinya bergerak cepat dan berputar mengancam kepala lawan.
"Setan!" dengus Banulaga seraya menjatuhkan tubuhnya ke tanah.
Serangan Rangga luput di tengah jalan. Dan begitu kakinya mendarat,   secepat kilat Banulaga mengibaskan
goloknya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti harus melompat menghindari tebasan golok itu. Banulaga buru-buru bangkit, dan memisahkan  golok kembarnya lagi. Kini kedua tangannnya menggenggam senjata. Saat itu juga dia kembali menyerang dengan dahsyat.
Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dengan Jurus itu Banulaga jadi kerepotan, karena setiap  pukulan  yang  dilontarkan  lawannya,  menimbulkan hawa panas yang sangat menyengat kulit, yang diiringi dorongan angin pukulannya yang kencang, sehingga menyulitkan Banulaga untuk bergerak.
Menyadari kekuatan dirinya yang tak bakal mampu menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti dalam beberapa gerakan lagi, Banulaga segera melenting dan meloncat ke punggung kudanya. Secepat kilat dia menggebah kuda putih tunggangannya. Rangga berdiri tegak memandang kepergian Banulaga.
"Hm," Rangga menggumam pelan, lalu membalikkan tubuhnya. Matanya langsung memandang Mega Lembayung yang tengah menyadarkan orang tuanya. Rangga segera menghampiri dan segera memeriksa keadaan Ki Karta. Kemudian dia mengangkat dan membawa tubuh orang tua yang malang itu ke depan rumahnya. Ki Karta dibaringkan di balai-balai yang terbuat dari bambu.
"Ayahmu tidak apa-apa, cuma pingsan" kata Rangga. Lalu dia memijit bagian tangan dan tengkuk Ki Karta sebentar.
"Terima kasih, kau telah  menyelamatkan kami," ucap
Mega Lembayung. Kepalanya tetap tertunduk menatap wajah laki-laki tua yang tergolek di hadapannya.
"Sudah menjadi kewajiban manusia untuk menolong sesamanya," Rangga merendah.
Mega Lembayung mengangkat kepalanya, wajahnya menatap paras tampan di depannya. Rangga memberikan senyum simpatik dengan sedikit anggukan kepala.
"Siapa orang itu, dan kenapa dia menyiksa kalian?" tanya Rangga.
Belum lagi Mega Lembayung menjawab, terdengar suara
batuk-batuk. Seketika dua pasang mata mengalihkan tatapannya pada Ki Karta yang sudah mulai siuman. Lelaki tua berbadan ringkih itu berusaha duduk. Mega Lembayung segera membantu mengangkat  tubuhnya. Laki-laki tua itu duduk bersandar.
Sebentar dia mengatur napasnya,  kemudian menatap Rangga yang masih berdiri di depannya.
"Dia yang menolong kita, Kek,"   Mega Lembayung menjelaskan.
"Siapa namanmu, Kisanak?" tanya Ki Karta.
"Rangga," sahut Rangga tersenyum ramah.
"Terima kasih, kau telah menolong kami yang tak berdaya  ini."
"Ah, cuma kebetulan saja," Rangga merendah.
"Hm..., tampaknya kau bukan penduduk desa ini. Apakah kau seorang pengembara?"
"Benar, Pak. Saya cuma pengembara yang mencari hidup dari satu tempat ke tempat lainnya."
Ki Karta mengangguk-anggukkan    kepalanya. Dan mendadak dahinya berkerut melihat sesosok mayat tergeletak di depan rumahnya. Kembali matanya menatap Rangga dan Mega Lembayung bergantian. Dia lalu menarik napas panjang. "Seharusnya tadi kau tak usah ke luar, Mega," Ki Karta bergumam pelan seolah menyesali apa yang telah terjadi.
Lelaki tua itu mendesah perlahan. Kematian Badrun di depan rumahnya tentu akan berbuntut panjang. Lebih-lebih persoalannya langsung di tangan Banulaga yang mengangkat dirinya sebagai pengganti Badaraka. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Banulaga tentu tidak akan tinggal diam begitu saja.
"Maaf, Kek. Kedatanganku membuatmu susah," terdengar pelan suara Mega Lembayung.
"Semuanya sudah terjadi. Banulaga tentu akan kembali lagi menuntut balas."
"Aku akan menghadapinya, Kek."
"Tidak! Kau tak akan sanggup menghadapi orang-orangnya  Banulaga. Mereka orang-orang yang kejam dan sangat tinggi kepandaiannya."
"Maaf, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Rangga menyela.
Ki Karta memandang Pendekar Rajawali Sakti itu. Lalu mengalihlan pandangannya pada Mega Lembayung.
"Sebaiknya kalian segera pergi meninggalkan desa ini. Lebih-lebih kau, anak muda. Kau telah membunuh Badrun, meskipun  niatmu hanya menolongku dan  Mega. Banulaga tidak akan membiarkan begitu saja orang yang membunuh pembantunya, dan membuatnya kehilangan muka," Ki Karta berujar lirih.
"Siapa Banulaga itu, Ki?"
"Dia pewaris dan pengganti ayahnya, Badaraka. Ayah dan anaknya tidak jauh berbeda, mereka senang melampiaskan nafsunya pada setiap perempuan cantik yang ditemuinya. Bahkan Kepala Desa sendiri tunduk padanya. Dia bisa berbuat apa saja yang dia kehendaki, termasuk perempuan cantik yang sudah bersuami sekalipun, dia tidak peduli," kata Ki Karta menjelaskan.
Rangga mengangguk kecil. Kini dia sudah bisa memahami persoalan yang sebenarnya. Lalu sekilas sudut matanya melirik Mega Lembayung yang masih duduk di tepi balai-balai bambu. Dalam hati kecilnya, iapun mengagumi kecantikan Mega Lembayung yang nyaris menjadi korban kebuasan Banulaga.
"Mega cucuku yang tinggal satu-satunya. Baru seminggu dia tinggal di sini bersamaku. Dan sejak dia berada di sini aku sudah mengkhawatirkan keselamatannya.    Tapi memang tinggal akulah   satu-satunya yang dia miliki.  Ayahnya meninggal terbunuh saat mempertahankan istrinya yang diboyong paksa oleh Badaraka. Ya, ibunya juga tewas bunuh dirikarena merasa malu dirinya sudah ternoda.  Sekarang putranya juga ingin mengambil paksa, seperti yang dilakukan ayahnya pada ibu Mega," suara Ki Karta semakin lirih saat menyudahi ceritanya.
"Kek..," Mega memegang tangan keriput kakeknya. "Maafkan  kakekmu, Mega. Aku memang merahasiakan ini padamu. Baru  sekarang aku terpaksa menceritakannya," ujar Ki Karta menatap kosong.
Rangga memandangi Mega   Lembayung. Keningnya sedikit berkerut mendengar cerita Ki Karta mengenai anak gadis ini. Cerita yang   sangat mirip dengan perjalanan hidupnya. Dia sepertinya tengah melihat satu kilas balik dari riwayat hidupnya sendiri yang dialami Mega saat ini. Dia bisa memahami perasaan yang tengah bergayut di hati cucu Ki Karta ini.
"Belum lama Badaraka dikuburkan. Hanya sebentar penduduk Desa Malayasati ini menarik napas lega, dan sekarang mereka seperti menanti perjalanan panjang bagaikan neraka yang tak berujung," kembali Ki Karta berkata pelan.
"Sudahlah, Kek. Apapun yang akan terjadi aku akan menghadapinya," kata Mega Lembayung lembut.
Ki Karta hanya tersenyum pahit.

*  *  *

9. Pendekar Rajawali Sakti : Manusia Bertopeng HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang