BAGIAN 6

1K 48 0
                                    

Tubuh Santika terpental keras, lalu meluncur deras melewati puncak pepohonan. Dan ketika tubuhnya sedang meluruk, sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh Santika, lalu menghilang bagai sinar yang lenyap tanpa bekas.
Sementara itu tubuh Setan Mata Satu juga terloncat keras menghantam dinding batu hingga menimbulkan  benturan yang teramat dahsyat... lalu terbanting ke tanah. Tubuh Setan Mata Satu tak bergerak sesaat, lalu terlihat dia menggelang-gelengkan kepalanya sebentar sambil berusaha bangkit. Tubuhnya terhuyung-huyung sempoyongan, dan perlahan-lahan dapat berdiri kembali dengan tegak. Mulutnya penuh dengan darah, dan dari hidungnya mengalir darah kehitaman.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Banulaga yang langsung menghampiri begitu tubuh Setan Mata Satu membentur
dinding batu.
"Tidak," sahut Setan Mata Satu.  "Bagaimana Santika?"
"Hilang."
"Hilang...??"
"Ya, seseorang telah menyambar tubuhnya dan membawanya pergi."
"Lalu, Mega Lembayung?" Banulaga tersentak kaget, lalu....
"Aaakh...!"
Banulaga terkesiap. Baru saja dia menoleh ke arah Mega
Lembayung, seorang kaki tangannya roboh dengan belati tertancap di lehernya. Lalu tubuh bertopeng hitam menyambar tubuh Mega Lembayung. Banulaga menahan geramnya, Manusia Bertopeng Hitam itu muncul lagi. Kali ini dia membawa tubuh gadis yang selama ini diincarnya. Tiga orang kaki tangannya yang tersisa hanya terpaku melihat Manusia Bertopeng Hitam itu memanggul tubuh Mega Lembayung dengan kecepatan tinggi
"Kurang ajar!" Setan Mata Satu mengumpat tanpa bisa berbuat apa-apa.
Banulaga dan Setan Mata Satu benar-benar merasa dipermainkan.  Dua orang muncul sekaligus tanpa  diduga- duga dan menggagalkan niatnya.
"Aku yakin, si Pendekar Rajawali Sakti-lah yang menyambar tubuh Santika tadi. Kali ini dua orang musuh kita datang pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti dan Manusia Bertopeng Hitam." Banulaga berucap dengan bibir rapat dan gigi yang bergemeletuk menahan geram.
"Heh! Cepat kalian cari Mega Lembayung!" bentak Banulaga pada anak buahnya. Ketiga orang yang diperintah itu bergerak cepat ke arah Mega Lembayung yang dibawa pergi oleh Manusia Bertopeng Hitam. Mereka tak bisa berbuat lain kecuali melakukan perintah tuannya, meskipun sebenarnya nyali mereka sudah hilang sama sekali.
"Aku khawatir kau mendapat luka dalam yang serius," kata Banulaga setelah mereka tinggal berdua.
"Aku tidak apa-apa. Aku justru khawatir akan keselamatan Santika," sahut Setan Mata Satu.
"Mampus pun aku tidak peduli!" dengus Banulaga. "Bagaimanapun dia adikmu, Banulaga. Aku menyesal
telah mengeluarkan aji 'Pukulan Karang Samudra.' Ajian itu sangat dahsyat, selama ini belum ada seorang pun yang mampu bertahan hidup terkena ajian itu."
"Ah, sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus mendapatkan Mega   Lembayung," sergah Banulaga tidak peduli lagi soal Santika.
"Kau saja yang cari. Aku mau semedi dalam tiga hari ini," sergah Setan Mata Satu.
Banulaga melongo mendengar penolakan Seta Mata Satu.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa melihat laki-laki tinggi besar itu berlalu dari hadapannya. Banulaga menghentakkan kakinya kesal setelah punggung Setan Mata Satu lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
"Huh! Kenapa tidak kubunuh saja Santika tadi!" dengus
Banulaga sengit.
Banulaga membalikkan tubuhnya Kakinya terayun mendekati kuda yang tertambat di pohon. Dia tahu kuda itu milik Santika. Seekor kuda coklat bertubuh kekar hadiah dari ayahnya ketika Santika lulus ujian tingkat pertama dalam ilmu kanuragan.
Sesaat lamanya Banulaga tercenung memegang tali kekang kuda milik adiknya itu. Dia masih belum bisa mengerti, bagaimana Santika yang sedari kecil belajar ilmu olah kanuragan dan kesaktian pada guru yang sama, mampu menandingi tingkat kepandaian Setan Mata Satu. Terlebih lagi saat dia melihat Santika  mengeluarkan ajian 'Gelang Menghalau Petir'. Karena sepanjang  yang diketahuinya, Santika belum  pernah mempelajari ilmu itu. Dan  gelang pualam putih itu...? Bukankah gelang sakti milik ayah mereka? Dia tidak tahu bagaimana Santika bisa mendapatkan benda pusaka yang selama ini dia juga menginginkannya.
"Hup!"
Banulaga meloncat ke atas punggung kuda, lalu menggebahnya dengan cepat meninggalkan tepian danau menuju Desa Malayasati. Dia memacu kudanya bagaikan kesetanan, hingga debu-debu mengepul beterbangan.

* * *

Tak seorang pun tahu ke mana Santika dan Mega Lembayung pergi dibawa penolongnya. Juga Ki Karta yang setengah mati dipaksa Banulaga dan orang-orangnya untuk memberitahu di mana cucunya kini berada.
Muka dan sekujur tubuh Ki  Karta  penuh berlumuran darah. Kedua tangannya terikat di beranda depan rumahnya. Kakinya lemas tidak lagi mampu men han beban tubuhnya. Seluruh wajahnya telah berubah  kebiru-biruan dan penuh
benjolan-benjolan luka memar. Pakaiannya terkoyak-koyak menampakkan kulit yang bergurat bekas cambukan rotan.
"Mudah saja bagiku untuk membunuhmu, tua bangka. Semudah aku membalikkan telapak tangan. Tapi kau calon mertuaku, kau akan bahagia jika Mega Lembayung jadi istriku. Katakan di mana anakmu berada?" Banulaga mencoba mengambil hati Ki Karta.
Ki Karta tetap saja membungkam. Kepalanya lemas tak berdaya. Dia sudah tak mampu mengeluarkan barang sepatah katapun. Kata-kata Banulaga pun seperti hilang tertiup angin. Dan Banulaga pun menjadi gusar.
"Di mana Mega?" bentak Banulaga gusar.
Pelan-pelan kepala Ki Karta terangkat, dia seperti mendapat kekuatan. Namun matanya tetap redup, meski di balik itu terpancar sinar kebencian yang menyesak hingga ke dasar hatinya.
"Phuih!"
Ki Karta menyemburkan ludah yang bercampur darah dari rongga mulutnya. Ludah yang bercampur darah segar dan kental itu tepat memuncrat ke muka Banulaga.
Banulaga terkesiap sesaat Lalu tangannya dengan cepat melayang ke muka keriput itu beberapa kali. Darah segar memuncrat dan membasahi tangan Banulaga. Lalu kepala laki-laki tua itupun kembali terkulai.
"Ikat, dan seret dia keliling kampung! Biar semua orang tahu bagaimana nasibnya kalau berani menentang Banulaga!" Dua orang bertubuh kekar langsung bergerak. Mereka
membuka ikatan tangan Ki Karta, lalu mengikatnya kembali dengan tambang yang panjang dan kuat.  Seorang  lainnya sudah siap di atas punggung kuda dengan ujung tambang di tangannya.
Banulaga melompat ke punggung kuda putih tunggangannya. Sebentar dia menyeka sisa darah yang masih menempel di mukanya. Lalu dengan satu isyarat saja, orang
yang memegang ujung tali itu menggebah kudanya mengikuti langkah kuda Banulaga yang bergerak cepat.
Nasib pak tua itu benar-benar ada di tangan Banulaga. Dia diseret  mengelilingi kampung dengan sorot  mata penduduk yang begitu iba menyaksikannya. Mereka yang melihatnya hanya mampu mengelus dada, tak sanggup menyaksikan tubuh tua yang malang itu lebih lama. Tak seorang pun yang dapat memastikan apakah tubuh yang tua renta itu masih dapat bernapas. Darah dan debu yang menempel jadi satu di tubuhnya tak bisa lagi untuk mengenali keadaannya.
Mendadak tali yang mengikat lelaki tua itu terputus, ketika tubuhnya yang terseret itu melewati tepi hutan. Tubuh tua itu terguling-guling dengan tangannya yang masih terikat kencang. Orang-orang Banulaga yang mengiringinya langsung berlompatan turun dari kudanya.
Mereka segera mengepung sesosok tubuh yang tak lain si Manusia Bertopeng Hitam. Golok-golok mereka yang terhunus seperti siap menebas  kepala Manusia Bertopeng Hitam itu yang sudah berdiri di dekat tubuh Ki Karta yang tergeletak tak berdaya.
"Hmmm..., dengan cara seperti ini kau baru datang secara jantan, meski kau tak berani menunjukkan batang hidungmu yang sesungguhnya, Manusia Bertopeng Hitam. Aku tak perlu repot-repot mencarimu uniuk membalaskan kematian ayahku, juga ketololanmu yang gagal membunuhku."
"Tutup mulutmu, Banulaga! Kelak jika tiba saatnya, kau akan tahu siapa aku yang sesungguhnya. Sekarang kau hanya berani dengan orang-orang yang lemah tak berdaya. Hm..., aku ingin tahu kepandaianmu yang sesungguhnya, Banulaga."
"Keparat! Bunuh dia!" Banulaga berteriak lantang dengan darah yang mendidih.
Orang-orang Banulaga yang mengepung Manusia Bertopeng Hitam itu bergerak cepat Namun secepat kilat, Manusia Bertopeng Hitam melenting ke udara, lalu mendarat di tempat yang cukup jauh dari tubuh Ki Karta. Golok orang orang Banulaga itu hanya berkelebat menebas angln. Lalu bergerak cepat ke arah Manusia Bertopeng Hitam yang telah berdiri kembali.
"Hiaaat... Hiya...!"
Orang-orang Banulaga itu segera merangsek si Manusia Bertopeng Hitam. Mendapat serangan beruntun  dari segala penjuru, orang bertopeng hitam itu berkelit dan berlompatan sambil sesekali membalas serangan. Manusia Bertopeng Hitam itu bertarung tanpa mengeluarkan senjata belati andalannya. Tapi sampai beberapa gebrakan berlalu, tak seujung golok pun yang berkelebat bagai kilat itu menyentuh kulit tubuhnya.
"Lepas!" teriak orang bertopeng hitam itu tiba-tiba. Bagaikan  kilat,  tangannya bergerak cepat menyampok salah seorang pengeroyoknya yang terdekat. Gerakan tangannya yang cepat tak bisa dihindari lagi. Seorang dari pengeroyok itu menjerit kaget, dan goloknya melayang ke udara. Dia merasakan pergelangan tangannya patah dan terasa nyeri.
Belum lagi dia berbuat sesuatu, mendadak sebelah kaki
Manusia Bertopeng Hitam itu mendarat tepat di dada. Tak ampun lagi pengeroyok yang nyalinya cukup besar itu terjungkal ke tanah  dengan mulutnya memuntahkan  darah. Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi mengibaskan goloknya dari arah samping kiri. Manusia bertopeng itu memutar tubuhnya dengan kaki terayun cepat.
Buk!
Kaki orang bertopeng itu mendarat di perut, lalu tangan kanannya meringkus tangan orang yang memegang golok. Dengan sekali tekukan, tangan itu patah. Tangan orang bertopeng hitam itu cepat menyambar golok yang hampir jatuh ke tanah. lalu....
Bet!
"Aaakh...!" jeritan melengking terdengar. Orang bertopeng hitam itu cepat melepaskan kempitannya, dan penyerangnya langsung roboh dengan leher hampir putus terbabat goloknya sendiri yang kini berpindah tangan. Dalam satu gebrakan saja, dua orang  pengeroyoknya kehilangan nyawa.  Kini tinggal enam orang lagi yang masih mengepung.
"Sebaiknya kalian pergi, aku malas jadi tukang jagal manusia. Biarkan tuanmu menyelesaikan urusannya sendiri denganku!" dengus orang bertopeng hitam itu.
"Serang, bunuh dia!" teriak Banulaga memerintah. "Yeaaah...!"
Tiba-tiba salah seorang melompat sambil mengibaskan goloknya. Orang bertopeng hitam itu segera berkelit memiringkan tubuhnya sedikit, golok di tangan kanannya langsung dia babatkan ke arah perut. Teriakan mengerang terdengar menyayat, disusul tubuh yang roboh menyemburkan darah segar dari perutnya yang terkoyak. Orang bertopeng hitam itu menyilangkan golok rampasannya di depan dada.
"Seraaang...!" Banulaga kembali  memerintahkan orang-orangnya.
Seketika itu juga lima orang yang tersisa langsung merangsek. Kali ini jelas lerlihat kalau Manusia Bertopeng Hitam itu bukan tandingan mereka. Dalam waktu singkat saja dua orang lagi terjungkal bermandikan darah.
Banulaga mulai terllhat watak pengecutnya. Dia langsung menggebah kudanya meninggalkan tempat itu. Orang bertopeng itu mendengus kesal. Ketiga orang yang semakin gencar menyerangnya tak memungkinkan dia mengejar Banulaga.
"Maaf, aku tidak ada urusan dengan kalian!" seru orang Bertopeng Hitam itu, lalu tubuhnya melenting, berputar di udara, dan mendarat tepat di dekat tubuh Pak Karta. Secepat kilat dia menyambar tubuh tua yang tak berdaya itu dan membawanya pergi meninggalkan lawan-lawannya.
"Ayo, kembali!" seru salah seorang. Ketiga orang itu langsung melompat ke punggung kudanya masing-masing,
meninggalkan lima sosok tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Beberapa orang penduduk yang melihat pertarungan itu dari kejauhan begitu tercekam, lalu menarik napas lega ketika tubuh tua Ki Karta disambar dengan cepat oleh penyelamatnya.

9. Pendekar Rajawali Sakti : Manusia Bertopeng HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang