BAGIAN 3

1.1K 49 0
                                    

Kematian Badrun dan kegagalannya mendapatkan Mega Lembayung membuahkan dendam kesumat di hati Banulaga. Sebagai penguasa dan pewaris Badaraka, harga dirinya terasa dilecehkan begitu saja oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Banulaga mondar-mandir di beranda depan rumahnya. Hatinya penuh luapan emosi. Seorang centengnya pun menjadi sasaran kekesalannya dengan sebuah tendangan keras karena lamban menambatkan kudanya. Sesaat kemudian dia berteriak memanggil salah seorang kaki tangannya.
"Japra!"
Laki-laki yang dipanggil Japra itupun membungkukkan badannya. Dia melangkah mendekati Banulaga yang bertolak pinggang.
"Kau dan Sarkam pergi ke Gunung Kanji. Bilang pada Resi Maespati, kalau aku membutuhkan kedatangannya. Sekaligus kau ke Bukit Genting menemui Iblis Selaksa Racun. Katakan aku yang meminta dia datang!" kata Banulaga.
"Sekarang, Tuan?" tanya Japra sopan.
"lya, sekarang!" "Permisi, Tuan."
Japra melangkah pergi meninggalkan ruangan depan yang luas itu. Tatapan Banulaga beralih pada seorang lagi yang berdiri di sudut halaman. Banulaga memanggil dengan ujung jarinya. Laki-laki bermata picek itu mendekati.  Tidak sedikitpun dia membungkuk seperti Japra.
"Aku perlu bantuanmu, Setan Mata Satu," kata Banulaga pelan suaranya.
"Katakan saja, apa yang harus aku lakukan?" berat sekali suara Setan Mata Satu terdengar.
"Lenyapkan siapa saja yang ada di rumah Karta dan bawa Mega Lembayung ke sini," kata Banulaga tegas.
"Ha ha ha...!" Setan Mata Satu tertawa keras mendengar tugas yang diberikan padanya.
Kalau saja bukan Setan Mata Satu yang tertawa mungkin sudah dirobek  mulutnya. Dia tahu siapa Setan Mata  Satu, orang  kepercayaan ayahnya  yang memiliki kesaktian sangat tinggi. Dia tak segan-segan membunuh siapa saja yang mencoba menghalangi sepak terjangnya walaupun dia seorang perempuan Membunuh orang baginya sama saja dengan menekuk batang leher ayam.
"Kalau cuma itu persoalannya, kenapa kau harus memanggil gurumu dan pamannya?" ada nada  ejekan dari Setan Mata Satu.
"Kau akan tahu kalau sudah  berhadapan dengannya, Setan Mata Satu," dengus Banulaga sengit.
"Apakah dia raja setan? Atau dewa yang menyamar jadi manusia?" Setan Mata Satu bertanya lagi dengan nada meremehkan.
"Bukan! Aku tidak sedang bercanda, Setan Mata Satu. Dia masih sangat muda dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Kalau aku tak salah, julukannya Pendekar Rajawali Sakti."
Setan Mata Satu seperti tak percaya mendengarnya. Nama itu seperti pernah dikenalnya. Beberapa saat dia  tercenung.
Benar! Nama Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong dan sembarangan. Nama yang sudah terkenal, seorang pendekar pilih  tanding yang sudah banyak  mengalahkan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sampai saat ini kesaktian Pendekar Rajawali Sakti belum ada yang bisa menandinginya. Rasanya mustahil kalau pendekar itu bisa nyasar sampai ke sini.
Seratus orang yang kepandaiannya sama dengan dirinya pun belum tentu bisa mengalahkan kesaktian Pendekar Rajawali Sakti. Pantas saja Banulaga sampai-sampai mengundang guru dan paman gurunya untuk datang.
"Kenapa? Kau kelihatan terkejut  mendengarnya, Setan Mata Satu. Apakah kau gentar?" kali ini Banulaga mengejek.
"Phuih! Tidak ada kata gentar bagi Setan Mata Satu!" dengus Setan Mata Satu, "Aku justru heran kenapa kau keturunan Badaraka yang sakti tak bisa herbuat apa-apa menghadapinya,"
Deg!
Panas hati Banulaga mendengarnya. Setan Mata Satu memang pintar membalikkan omongan dari keadaan yang sebenarnya. Dia sendiri sebenarnya gentar.
Banulaga menahan emosinya.
"Kalau begitu, laksanakan tugasmu sekarang juga."
"Tidak sekarang!"
"Kenapa? Kau takut?"
"Tidak, untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti aku harus meminta bantuan saudaraku."
Banulaga tersenyum senang mendengarnya. Sejak tadi dia ingin mengutarakannya. Tapi kalau Setan Mata Satu sendiri yang mengatakannya, tidak ada alasan lagi untuk meminta. Banulaga tahu siapa yang dimaksud Setan Mata Satu. Kakak kandung Setan Mata Satu sendiri yang kini tinggal di pesisir Pantai Selatan.
"Aku yakin, Kakang Raja Ular mau membantu,"  kata Setan Mata Satu.
"Kalau begitu, berangkatlah sekarang juga,"
"Bukan aku, tapi seorang utusan yang akan membawa suratku,"
'Terserah, apa yang kau anggap baik, lakukan saja."
"He he he... " Setan Mata Satu terkekeh.

* * *

Saat itu, Japra dan Sarkam yang diutus untuk menemui Resi Maespati telah sampai di Gunung Kanji. Perjalanan dari Desa Malayasati ke Gunung Kanji hanya memakan  waktu setengah hari berkuda. Tidak ada hambatan berarti yang ditemui mereka sepanjang perjalanan.
Mereka hampir tak berkedip memandang laki-laki tua dengan janggut dan kumis lebat. Seluruh rambutnya dibiarkan bergerai tak teratur. Pakaiannya lusuh   kecoklat-coklatan seperti tak pernah  ketemu air. Rasanya tidak pantas  orang yang penampilannya seperti gembel itu dipanggil resi.
"Hm..., kau utusan dari muridku?" tanya Resi Maespati, suaranya terdengar pelan dan serak. Matanya merah dan tajam bagai elang menatap tak berkedip pada Japra yang berdiri paling depan.
"Benar, Resi," sahut Japra sambil membungkuk hormat.
"Apa tandanya kalau kau utusan Banulaga?"
"Ini."
Japra mengeluarkan sebuah cincin bermata cubung hitam dari balik saku bajunya, lalu diberikannya pada Resi Maespati. Sesaat lelaki tua yang berbaju kumal itu memandangi cincin yang sudah berpindah ke  tangannya. Kepalanya lalu terangguk-angguk sambil  memasukkan cincin itu ke dalam saku bajunya yang longgar.
Bola mata yang bulat merah itu kembali menatap tajam Japra dan Sarkam bergantian. Sepertinya dia tengah meyakinkan dirinya bahwa kedua orang itu benar-benar utusan Banulaga dari Desa Malayasati.
"Ada apa dia memanggilku?"
"Tuan Banulaga tidak menjelaskan, Tapi dugaan hamba mungkin ada hubungannya dengan kematian Tuan Besar Badaraka," sahut Japra.
"Bicara yang benar!" bentak Resi Maespati tak percaya. "Maaf, Resi.  Sudah empat hari yang lalu Tuan Besar Badaraka tewas terbunuh di...."
"Kurang ajar!" ucapan Japra terpotong oleh Resi Maespati yang tampak geram.
Wajah tua yang lusuh itu berkerut menegang. Sepasang matanya semakin merah menyala, giginya pun bergemeletuk rapat. Lalu dadanya mengembang naik, mencoba menahan amarahnya yang kian memuncak. Japra dan Sarkam yang melihatnya jadi merasa ngeri dan ketakutan sendiri. Mereka seolah melihat raja hutan yang terluka dan siap menerkam mangsanya.
Bagaimanapun Badaraka dan kedua anaknya Banulaga dan Santika,  adalah murid-murid kesayangannya.  Bahkan antara dirinya dan Badaraka masih adi hubungan darah. Resi Maespati adalah kakak misan dari orang tua Badaraka, sehingga kedua anak Badaraka itu memanggilnya dengan sebutan Eyang Guru. Dan hanya pada ketiga orang bapak dan anak itulah dia mewariskan segenap ilmu yang dimilikinya selama ini.
Lama sekali Resi Maespati terdiam. Dadanya yang mengembang perlahan-lahan turun, bersamaan    dengan amarahnya yang sedikit mulai berkurang. Tatapannya kembali kosong.
"Siapa pembunuhnya?" tanya Resi Maespati dingin.
"Belum terungkap, Resi. Kami berusaha sekuat tenaga untuk melacaknya, tapi kami sama sekali tak menemukan jejaknya," sahut Japra yang diikuti anggukan kepala Sarkam membenarkan.
"Sebaiknya kau segera ke Bukit Genting. Katakan kalau aku juga segera menemui Banulaga."
"Tuan Banulaga juga sudah memerintahkan begitu, Resi."
Japra dan Sarkam segera bangkit hendak mohon diri, tapi langkahnya terlihat bimbang.
"Tunggu apa lagi?!"
"Ng..., anu. Anu, Resi... maaf, cincin itu...."
"Huh!" Resi Maespati mendengus, lalu tangannya merogoh saku bajunya.  Japra segera menangkap cincin yang  dilemparkan sang resi ke arahnya.
Resi Maespati masih berdiri mematung di depan Pondoknya sepeninggal Japra dan Sarkam.   Tatapannya  menerawang jauh, entah apa yang tengah bergayut dalam benaknya.

* * *

Empat orang tokoh sakti dunia persilatan itu saling berpandangan satu sama lain, begitu Banulaga selesai menceritakan bagaimana ayahnya mati terbunuh. Wajah-wajah mereka membiaskan rasa dendam yang membara.
"Hm..., lantas hanya untuk meringkus seorang pembunuh kau mengundang kami?" Raja Ular   bertanya setengah merendahkan Banulaga, sekaligus mengesankan kesombongan.
"Bukan itu saja, dalam kejadian terpisah seorang pembantuku pun mati terbunuh."
"Kau kalah?" sinis suara Resi Maespati bertanya.
"llmunya sangat tinggi, aku tidak sanggup menandinginya," sahut Banulaga polos.
"Kau kenal dia sebelumnya?" tanya Resi Maespati lagi.
"Tidak..., aku baru kali ini bentrok dengannya. Kalau aku tidak salah, orang itu dijuluki Pendekar Rajawali Sakti." Keempat tamu yang tengah dijamu Banulaga itu tercenung   sesaat. Mereka sepertinya tengah mencari tahu tentang nama yang baru terucap oleh Banulaga.
"Orangnya masih muda, selalu berbaju rompi putih... Benar?" tanya Raja Ular.
Banulaga cuma mengangguk membenarkan.
"Tidak salah," celetuk Setan Mata Satu.
"Aku pernah mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti. Sepak terjangnya harus diperhitungkan. Sudah banyak tokoh-tokoh sakti yang tewas di tangannya."
"Ya,  aku  juga  pernah  melihatnya  bertarung  di  Bukit
Setan," sambung Raja Ular.
"Kau juga ikut bertarung?" tanya Iblis Selaksa Racun.
"Tidak, untuk apa ikut bertarung? Aku tidak punya kepentingan sama sekali. Aku cuma kebetulan lewat dan sempat melihat beberapa jurus saja. Itu pun langsung selesai."
"Itu berarti kau sudah mengukur tingkat kepandaiannya,
kan?" sergah Resi Maespati cepat.
"Sulit..," Raja Ular menggeleng-gelengkan kepalanya.
Resi Maespati dan Iblis Selaksa Racun mengerutkan alisnya. Mereka tahu siapa Raja Ular ini, seorang yang sudah memiliki nama kondang dalam dunia persilatan, dan tak bisa dipandang sebelah mata. Kalau Raja Ular saja tak sanggup mengukur  kepandaiannya, tentulah Pendekar Rajawali Sakti itu mempunyai tingkat kepandaian yang sangat tinggi.
Suasana di beranda rumah itu lalu sepi tanpa suara. Mereka larut dalam alam pikirannya masing-masing. Suasana sepi itu baru terpecah bersamaan dengan lewatnya seseorang di pelataran rumah.
"Japra!" Banulaga berteriak memanggilnya.
Japra yang tengah lewat di pelataran rumah itu segera menghampiri, lalu membungkuk memberi hormat. "Ada apa, Tuan?"
"Kau tahu di mana Santika sekarang?" tanya Banulaga.
"Tidak, Tuan."
"Cepat kau cari. Katakan aku dan Resi Maespati mencarinya!"
"Baik, Tuan. Segera saya berangkat." Japra mohon diri.
Beberapa saat suasana di beranda rumah itu kembali sepi. Lalu terdengar suara Resi Maespati yang seperti bergumam pada  dirinya sendiri.
"Apa tidak mungkin yang membunuh Badaraka Pendekar Rajawali Sakti itu?"
"Tidak," sanggah Setan Mata Satu cepat.
"Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah muncul secara diam-diam. Lagipula antara Badaraka dan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ada persoalan apa-apa."
"Lalu kenapa dia membunuh Badrun?"
"Sebenarnya itu masalah pribadiku," kata Banulaga pelan. Dengan  sedikit  menahan malu Banulaga menceritakan kejadian yang dia alami bersama Badrun, yang akhirnya mati terbunuh di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Semua kepala tergeleng-geleng mendengarnya. Banulaga benar-benar menuruni sifat ayahnya yang gemar perempuan-perempuan cantik. Lain halnya dengan Resi Maespati, meskipun kepalanya tergeleng-geleng, tapi bibirnya tersenyum simpul.
Pada masa mudanya, Resi Maespati sendiri dalam setiap langkah pengembaraannya tak lepas dari soal perempuan. Sepertinya dia menyimpan dendam yang terpendam dengan mereka, perempuan-perempuan cantik yang membangkitkan gairahnya. Dan ini dia turunkan pada Badaraka, murid kesayangannya yang kini telah tiada. Rupanya tanpa dia ajarkan, Banulaga menuruni sifat dirinya dan ayahnya.
"Lantas, apa yang harus kami perbuat untukmu?" tanya si Raja Ular.
"Melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti dan mencari pembunuh ayahku," sahut Banulaga.
"Lalu, untuk apa kau punya centeng dan pembantu puluhan orang?" terdengar nada sinis dari si Raja Ular.
Banulaga tersenyum kecut. Pertanyaan bodoh! gerutunya
dalam hati. Tak mungkin mereka diundang kalau dia sendiri mampu menghadapinya.
"Kakang, sebaiknya tidak terlalu banyak tanya. Kita sudah banyak  berhutang budi pada Badaraka,"  sergah Setan Mata Satu yang tak enak dengan sikap kakaknya ini.
"Hm, baiklah. Demi mendiang Badaraka, aku akan mempertaruhkan nyawa untukmu," kata si Raja Ular.
"Terima kasih," ucap Banulaga pelan.

*  *  *

9. Pendekar Rajawali Sakti : Manusia Bertopeng HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang