Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti belum lagi melangkah jauh, ketika mendadak enam orang dengan golok terhunus telah mengepungnya. Darah Rangga pun berdesir cepat, matanya segera menyapu wajah pengepungnya satu per satu, nampak olehnya wajah-wajah yang keras dan sangar tengah menatapnya tajam. Wajah Rangga pun menegang sesaat, lalu kembali berubah teduh. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.
"Aku hendak menuju ke Desa Malayasati, ada urusan apa kalian menghalangi langkahku?" tanya Rangga tenang, meski nalurinya menyatakan kalau mereka adalah orang-orang Banulaga, yang tentu maksudnya sudah bisa diduga.
"Hmmm... kaukah si Pendekar Rajawali Sakti?" tanya si pengepung yang berada tepat di hadapan Rangga. Orang itu tampaknya tak memerlukan jawaban, dia langsung menyambung pertanyaannya sendiri, "Ketahuilah, majikanku tidak ingin orang lain, apalagi kau yang jelas-jelas bukan orang desa ini, untuk mencampuri urusan pribadinya."
Rangga tersenyum mengejek. "Kau pintar-pintar bodoh, rupanya. Orang yang punya urusan pribadi tentu tidak akan menyuruh orang lain. Dan aku tidak peduli dengan urusan majikanmu, tapi kekejaman dan ketidakadilan tak akan kubiarkan merajalela di depanku,... Menyingkirlah kalian, agar tanganku tak lagi menghilangkan nyawa orang-orang dungu yang hanya bisa menurut perintah majikannya."
"Kurang ajar! Rupanya kau tidak bisa diajak bicara baik-baik, sekarang terimalah ajalmu!" teriak orang itu lantang, sambil tangan kanannya terangkat memberi perintah kepada kelima orang lainnya untuk menyerang.
Dengan sigap kedua kaki Rangga meloncat, tubuhnya melayang sesaat menghindari kibasan golok yang berkelebat cepat, lalu bersalto dua kali sebelum kakinya mendarat tepat di belakang punggung lawan-lawannya. Dengan tumpuan kaki kanannya Rangga memutarkan tubuhnya sedikit, lalu secepat kilat kakinya melompat menghajar punggung dua orang sekaligus. Dua orang yang terkena tendangan di punggungnya, nasibnya begitu mengenaskan, tubuh mereka yang terdorong ke depan terkena sabetan golok temannya sendiri. Seorang dari mereka mukanya hancur oleh sabetan golok yang menebas mulut dan pelipisnya, sedang seorang lainnya mengerang sesaat ketika lehernya nyaris putus, lalu roboh tak bergerak lagi.
Empat orang lainnya terhenyak kaget, terbayang kengerian di wajah-wajah mereka, apalagi dua orang di antara mereka yang goloknya bersimbah darah. Dua orang teman mereka tewas hanya dalam satu gebrakan saja. Lalu seperti dibakar dendam, mereka kembali menyerang Rangga. Secepat kilat Rangga merundukkan badannya, tangannya bergerak menyambar pergelangan tangan kanan orang yang paling depan, lalu dengan satu tekukan tangan yang disertai egosan kakinya, dia melemparkan tubuh lawannya itu tepat menghantam dada seorang temannya. Tubuh kedua orang itu langsung roboh bertindihan ke tanah. Dan pada saat itu pula Rangga membungkukkan badannya menghindari kibasan golok seorang lagi dari belakang, sambil kaki kirinya menggibas lutut lawan, dan orang itu jatuh merunduk dengan kepalanya menghantam lebih dulu ke tanah, dan segera Rangga pun menyadari kalau masih ada seorang lainnya yang hanya berdiri mematung tanpa berbuat apa-apa melihat teman-temannya roboh tak berdaya.
"Hmmm...," Rangga menatap tajam pada seorang yang tersisa, "kau rupanya bersikap ksatria..., mau menghadapiku secara jantan tanpa keroyokan...,"
"Tunggu," orang yang berdiri mematung itu membuka mulutnya. " Aku berdiri di pihak kebenaran dan keadilan, meskipun aku hanya cecunguknya Banulaga," orang itu
kembali bersuara tanpa menghiraukan Rangga yang masih diam terpaku.
"Siapa kau?" tanya Rangga sopan.
"Berhati-hatilah, Rangga." Orang itu malah tak menjawab,
"empat orang tokoh sakti kini ada di belakang Banulaga... teruskanlah niatmu, biar aku berbuat dengan caraku sendiri." Sejurus kemudian orang itu menatap lekat-lekat pada Rangga.
Rangga terkesiap sesaat, ketika otaknya mulai menemukan titik terang. Orang ini pastilah si Manusia Bertopeng Hitam yang kini dalam wujud sebenarnya.
"Dan ingat!" kembali orang itu berucap, "... kematian Banulaga adalah bagianku!" Orang itu kemudian berkelebat cepat meninggalkan Rangga dan lima tubuh lainnya yang tergeletak tak bernyawa.
Beberapa saat lamanya Rangga tercenung. Dia tahu pasti
kalau orang itulah si Manusia Bertopeng Hitam yang tengah diburu Banulaga dan orang-orangnya setelah kematian Badaraka.
"Rangga...!"
Sebuah teguran mengagetkannya, lalu Rangga menoleh, dilihatnya Santika dan Mega Lembayung tengah berlari mendekat ke arahnya.
Santika dan Mega Lembayung tertegun menyaksikan
mayat-mayat bergelimpangan mengerikan. Lalu perlahan- lahan wajah keduanya terangkat menatap Rangga. Mereka mengerti apa yang telah terjadi. Karena tak lama setelah kaki Rangga melangkah meninggalkan bilik bambu itu, mereka telah melihat beberapa sosok tubuh membayangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu, namun mereka tak bisa ikut berbuat banyak menyadari keadaan tubuh tua Ki Karta yang lemah.
"Mega dan Santika, tolong uruskan mayat-mayat mereka," Rangga berkata pelan, lalu tubuhnya bergerak cepat meninggalkan tempat itu. Mega dan Santika hanya sempat memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti itu.
Seandainya Rangga mau menjelaskan semuanya yang telah terjadi, Santika tentu tidak akan penasaran lagi apabila mengetahui siapa Manusia Bertopeng Hitam yang sebenarnya, karena seperti yang diucapkan oleh orang itu sendiri, dia kini adalah cecunguknya Banulaga, kakaknya Santika.
Santika pun kemudian terkejut manakala matanya tertumbuk pada sesosok tubuh yang amat dikenalnya, tubuh Tarsa, pembantunya yang setia dan kini tergeletak tak bernyawa. Darahnya lalu berdesir, dia tahu pasti, Tarsa pasti tak bisa menolak perintah Banulaga, yang mengantarkannya menemui nasib naas.
Matahari pun mulai terbenam ke ufuk Barat. Angin mulai berhembus dingin menemani kedua orang yang tengah mengurus mayat-mayat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
9. Pendekar Rajawali Sakti : Manusia Bertopeng Hitam
AcţiuneSerial ke 9. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.