4. Penakluk Pangeran Es? (REVISI)

4.2K 290 10
                                    

Manusia dan suasana hatinya memang mudah sekali berubah, hal yang sama terjadi pada dia. – Vandra Adila Dirgama.

***

Vandra memasuki kelasnya di antar oleh seorang guru setelah sebelumnya ia pergi ke ruangan kepala sekolah. Vandra mentap teman-teman sekelasnya dengan senyum yang tak pudar. "Anak-anak hari ini kelas kita kedatangan siswi baru. Nak, silakan perkenalkan diri?" kata guru bernama Nunung—yang merupakan wali kelasnya. Vandra mengangguk.

"Namaku Vandra Adila. Kalian bisa panggil aku Vandra atau Andra." Ujarnya memperkenalkan diri.

"Panggil sayang boleh?" tanya seorang siswa laki-laki yang duduk di pojok belakang dengan nada menggoda.

"Sayang-sayang, kencing aja masih dipegangin udah bilang sayang." Ceplos salah satu siswi membuat seisi kelas tertawa.

"Sudah-sudah. Vandra silakan duduk di bangku yang kosong." Ujar Bu Nunung membuat Vandra mengangguk lalu diedarkannya pandangan gadis itu ke penjuru ruangan kelas, ada satu bangku kosong tepat di sebelah gadis yang tadi membuat seisi kelas tertawa. Vandra berjalan menuju bangku itu dan duduk di sana.

"Meisha Cassandra. Panggil gue Shasa." Ujar gadis di sampingnya itu sambil mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan.

"Vandra Adila. Panggil aja—"

"Gak papa gue tau." Shasa memotong ucapan Vandra. Vandra mengangguk. "Yang ini Febi Aulia. Panggil aja Febi." Ujarnya memperkenalkan gadis yang duduk di belakangnya. Vandra mengangguk lagi.

"Seneng bisa kenal kalian." Kata vandra membuat keduanya mengangguk.

Bu Nunung segera pergi dari kelas setelah terdengar bel istirahat yang dibunyikan beberapa saat lalu. Vandra, Febi, dan Shasa keluar kelas hendak menuju kantin mengisi perut mereka yang sedari tadi meronta ingin diberi makan.

"Buset ini kantin atau pasar, rame amat." Ujar Shasa ketika pertama kali memasuki kantin.

Vandra menoleh pada Shasa lalu berkata, "Namanya kantin, Sha. Wajar kalo rame. Kalo sepi namanya kuburan."

Shasa memutar bola matanya malas. "Kita duduk di sana, yuk?" timpal Febi menunjuk salah satu tempat yang kosong. Vandra juga Shasa melihat kea rah tunjuk Febi.

"Tapi itukan—"

"Ah, udah gak papa." Ujar Febi memotong ucapan Shasa. Mereka berjalan kea rah tempat yang Febi tunjukan tadi.

"Lo berdua tunggu di sini biar gue yang pesen." Shasa dan Vandra menurut saja. " Lo mau pesen apa Sha, Van?" lajutnya bertanya.

"Gue bakso sama es teh. Lo apa Sha?"

"Sama-in aja." Jawab Vandra membuat Febi mengangguk, gadis itu lantas pergi untuk mengantre.

Beberapa siswi menjerit tertahan ketika lima orang siswa memasuki kawasan kantin, hal itu tentu saja membuat Vandra juga Shasa ikut memusatkan perhatiannya pada kelima siswa itu. "Mereka siapa, kok kayanya orang-orang pada histeris gitu pas mereka dateng?" tanya Vandra pada Shasa.

"Anggap aja mereka penguasa SMA Angkasa." Jawab Shasa membuat Vandra menautkan alisnya bingung. Wajah-wajah tidak asing itu membuatnya semakin penasaran.

"Kenapa gitu, emang mereka yang punya sekolah ini?" tanya Vandra lagi.

"Bukan, sih. Tapi salah satu dari mereka itu donatur terbesar di sini." Jawab Shasa. Vandra mengangguk. "Gue harap lo jangan mau di deketin sama mereka. Dan jangan pernah cari masalah sama mereka, terlebih sama cowok yang pakek handband warna hitam, please jangan!"

"Emang kenapa sama cowok itu, dia baik kok." Kata Vandra membuat Shasa menatap Vandra dengan tatapan meminta penjelasan. "Dia tadi bantuin aku nunjukin ruangan kepala sekolah." Kata Vandra membuat Shasa melongo.

DEVANDRA ( PUBLISH ULANG )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang