10. Khawatir (REVISI)

3.2K 232 1
                                    

"Jangan memegang laki-laki sembarangan Vandra, kamu tidak akan atau apa yang akan terjadi setelahnya." - Devano Adinata.

***

Pukul 04.35 pm. Vandra terbangun dari tidurnya karena suara teriakan di luar sana, iya, di luar rumahnya. Suara itu adalah suara seorang gadis yang tak lain adalah sahabat barunya, Shasa.

Vandra berjalan dengan perlahan menuju tangga, kebetulan sekali Vandra berpapasan dengan Bi Inah selaku pembantu rumah tangga keluarga Dirgama. "Neng Andra, Bibi baru aja mau manggil ke atas, eh, udah turun aja."

Vandra mengangguk. "Kenapa gak dibuka aja pintunya langsung, Bi?"

"Takut ganggu Neng Andra, makanya Bibi teh mau tanya dulu."

"Bukain aja Bi, Andra emang minta mereka temenin Andra soalnya kan Mama sama Ayah belum pulang."

"Siap deh."

"Andra ke kamar dulu mau mandi. Mereka suruh tunggu di ruang tamu dulu aja ya, Bi?"

Bi Inah mengangguk paham, ia lantas berbalik arah dan segera pergi, begitu juga dengan Vandra yang kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri.

Bi Inah membukakan pintu utama rumah Dirgama, hal itu disambut antusias oleh dua orang gadis yang sedari tadi berdiri di luar. "HALLO VANDRA KU?" teriakan Shasa yang teramat nyaring membuat Bi Inah menutup telinganya, bukan hanya Bi Inah, Febi pun demikian.

"Suara lo bisa dikontrol gak sih?" bisik Febi sambil mengusap-usap telingannya yang terasa sakit.

"Hehe, maaf?" ucap Shasa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Vandranya ada?" tanya Febi pada Bi Inah, ia mengabaikan Shasa.

"Ada Neng, mari masuk."

Keduanya masuk mengikuti Bi Inah, mereka digiring menuju ruang tamu dan dipersilakan duduk sedangkan Bi Inah pergi ke dapur untuk mengambil camilan juga minuman. Bersamaan dengan camilan yang datang, Vandra mendekati keduanya.

"Kalian masih pakek baju sekolah?"

Shasa mengangguk. "Kalo pulang kelamaan. Tapi tenang... kita udah izin dulu kok."

Vandra mengangguk. "Ndra itu sudut bibir lo sampe berdarah?" tanya Febi. Hal itu membuat Vandra menggigit bibir bingung.

"Gue sedikit gak percaya sih kalo lo jatoh di toilet tapi muka lo kaya abis di tampar." Timpal Shasa membuat Vandra menunduk. Rambut Vandra yang ia ikat semakin memperjelas penglihatan Shasa dan Febi tentang luka-luka yang ada di wajah Vandra.

"Oh! Atau ini gara-gara Maklampir itu?" ujar Shasa mengansumsi. "Kayanya emang perlu dikasih pelajaran dia."

"Jangan!" jawab Vandra cepat.

"Jadi bener ini karena dia?" tanya Febi meyakinkan perkataan Vandra barusan.

"Iya tapi—"

"Vandra kenapa lo gak bilang sama gue? Apa sih yang dia mau, kesel gue jadinya, huh." Gerutu Shasa.

"Dia... mereka gak mau aku deket sama The Eagle, apalagi deket sama most wanted sekolah... Kak Devan, Kak Rayan, Bang Rafa, pokoknya orang-orang itulah." Jelas Vandra.

"Mereka itu iri sama lo. Eh tapi tunggu... kenapa lo bilang Rafa itu Bang? Dia abang lo?" Shasa dan kegemarannya berbicara membuat Vandra mati kutu, ah, bibir Vandra kelu.

"Dia..."

Ting nong

Anggap saja ini adalah berkat dari Tuhan, setidaknya bel pintu yang berbunyi itu membuat pertanyaan Shasa teralihkan untuk sementara waktu. "Kalian mending mandi dulu, pakai aja baju aku. Aku mau buka pintu dulu."

DEVANDRA ( PUBLISH ULANG )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang