BAB III

12 0 0
                                    

   Suatu hari Rina yang sedang berjalan menuju toko toserba bertemu dengan kawan lama suaminya yang juga rekan bisnisnya. Rina sangat terkejut karena sudah lama sekali tidak berjumpa dengan Ari sahabat mendiang suaminya
"Hai Ari apa kabar kamu? Sudah lama ya kita tidak bertemu." sapa Rina.
"Hai Rina iya sudah lama sekali ya, terakhir kita bertemu saat almarhum suamimu disholatkan. Oh iya... bagaimana kabar Melia, sudah lama saya tidak bertemu dia. Sepertinya dia sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik ya." puji Ari.
Dengan senyum palsunya Rina menjawab Ari "Iya Melia putri kesayanganku kini telah tumbuh menjadi anak yang dewasa, mandiri dan cantik. Dia juga sangat rajin disekolahnya ia sering menang lomba." Rina sangat benci membicarakan Melia, namun ia tetap harus berbohong demi nama baiknya.
"Wah hebat kamu walaupun suamimu telah pergi meninggalkanmu kamu tetap merawat dan membesarkan Melia seperti anak kandungmu sendiri ya. Kamu sangat hebat Rina, pasti suamimu bangga denganmu diatas sana. Ia pasti bahagia telah memiliki istri sepertimu."
Rina menjawab pujian itu dengan senyum palsu yang terselubung amarah terhadap Melia. Sampai sekarangpun ia tetap merasa bahwa Melia adalah anak pembawa sial yang telah menyebabkan suaminya meninggal.
"Ngomong-ngomong tahun ini Melia sudah menginjak usia 17 tahun ya."
"iya.."
"Apa kamu tahu satu tahun sebelum suamimu meninggal dia meninggalkan sesuatu untuk Melia dan kamu."
"Sesuatu? Apa maksudmu dia meninggalkan sesuatu untuk aku dan Melia?"
"Iya dia pernah berkata pada ku bahwa dia akan mewariskan harta yang ia miliki dan dia simpan untuk mu dan Melia."
"Harta apa maksudmu?"
"Dia pernah membuatkan surat wasiat untuk keluarga kalian kelak, dia sudah berjaga-jaga bila suatu hari akan terjadi sesuatu padanya maka dia akan lega meninggalkan kalian berdua. Agar kalian tidak hidup dengan kekurangan."
Dalam hatinya Rina sangat terkejut karena ia tidak pernah tahu bahwa suaminya memiliki harta simpanan dan ia senang sekali bahwa dia akan memiliki uang yang banyak dari warisan yang disimpan suaminya. Namun Rina harus berakting agar tidak kelihatan mata duitan. Ia lalu bertanya kepada Ari "Apa kamu tahu dimana warisan itu berada? Tolong beritahu saya, karena sekarang ini saya butuh uang untuk biaya kuliah dan kehidupan Melia. Saya khawatir Melia tidak dapat melanjutkan kuliahnya setelah lama kami bangkrut." sandiwara yang dilakukan Rina terus berlanjut.
"Jujur aku tidak tahu dimana warisan itu berada, tapi setau ku suamimu membuat warisan itu dengan seorang pengacara. Hmm siapa ya namanya..?? Oh iya namanya bapak Robert. Sepertinya aku masih punya nomor teleponnya."
"Ari tolong sekali berikan kepadaku nomor telpon bapak itu, aku harus segera menghubunginya."
Lalu Ari memberikan Rina nomor telpon bapak Robert, pengacara yang membuat surat wasiat warisan almarhum suaminya.

   Dalam perjalanan pulang dari pertemuannya dengan Ari, Rina merasa sangat senang. Ia sangat merasa senang karena sebentar lagi ia akan memiliki uang yang banyak dan bisa berbelanja barang mahal. Dia sedang berfikir bahwa warisan yang ditinggalkan oleh mendiang suaminya pasti jumlahnya sangat besar. Ia sampai dirumah berpapasan dengan Melia, Melia sangat bingung melihat ibunya yang sedang senyum-senyum. Melia ikut senang dengan ibunya yang terlihat sedang bahagia, karena jarang sekali ia melihat ibunya tersenyum.
Dalam hatinya "Ah... sudah lama sekali aku tidak melihat senyum dari ibuku."
Tanpa disadari Rina melihat Melia yang sedang menatapnya sambil tersenyum, setelah sadar bahwa Melia sedang memperhatikannya raut wajah Rina berubah drastis ia menatap Melia dengan sinis seolah mengatakan " Apa yang kamu lihat bodoh!" lalu Rina meninggalkan Melia. Melia sudah biasa melihat Rina yang sangat sinis dan benci terhadapnya.
  
    Rina masuk kedalam kamarnya dan ia segera mengetik nomor telpon pak Robert dan siap untuk menelfonnya. Percobaan pertama untuk menelpon pak Robert tidak berhasil, begitu juga pada percobaan kedua. Rina sudah putus harapan, ia sempat berfikir bahwa nomor tersebut sudah tidak aktif. Namun saat ketiga kalinya Rina mencoba menelfon pak Robert, akhirnya telpon itu diangkat. Suara laki-laki tua menjawab telpon itu
"Halo dengan siapa ini?" tanya pak Robert.
"Selamat sore bapak, perkenalkan nama saya Rina saya adalah istri dari almarhum Kevin."
"Rina... ya? Hmmm siapa ya? Apa saya mengenalmu?"
"Apa bapak mengingat seorang laki-laki bernama Kevin yang membuat surat wasiat warisan untuk anak-istrinya?"
"OH iya sangat ingat sekali pria itu membuat surat wasiat di usianya yang masih sangat muda. Tapi mengapa anda menghubungi saya?"
" Jadi begini pak satu tahun setelah Kevin suami saya membuat surat wasiat warisan itu, dia telah meninggal dalam kecelakaan mobil."
"Maaf sekali atas berita itu, saya turut berduka. Sudah sangat lama saya tidak bertemu dengannya, hanya sekali saya pernah bertemu dengannya dan itu adalah saat dimana dia membuat wasiat itu."
"Karena itulah saya menghubungi bapak untuk menanyakan keberadaan surat warisan itu, karena saya sedang sangat membutuhkan uang unruk membiayai kehidupan anak saya."
"Kalau begitu anda bisa bertemu dengan saya untuk membicarakan hal ini, kira-kira kapan anda bisa datang ke kantor saya?"
"Apa hari jumat minggu depan bapak ada waktu?"
"Oh ya tentu."
"Terima kasih banyak pak atas waktu bapak."
Rina sangat senang akhirnya ia bisa menjemput uangnya yang diberikan oleh almarhum suaminya itu.
  
    Hari jumat yang dinantikan oleh Rina pun tiba. Ia mendatangi tempat yang telah diberitahukan oleh pak Robert tersebut. Rina berdandan serapih mungkin dan memasang wajah baiknya saat bertemu pak Robert. Sesampainya di tempat itu, pak Robert berbincang-bincang tentang almarhum suami Rina yang sangat begitu menyayangi Rina dan Melia.
"Almarhum suami ibu pernah menceritakan tentang anak perempuannya yang bernama Melia, beliau berkata bahwa Melia adalah gadis kecil yang cantik, sopan, ceria dan patuh terhadap orang tuanya. Ia juga bercerita bahwa Melia bukanlah anak kandung dari bapak dan ibu namun kalian berdua menyayanginya seperti anak sendiri.
"Memang betul Melia bukanlah anak kandung kami berdua, kami menemukan Melia di panti asuhan tempat kami biasa melakukan donasi dan kami sering berkunjung kesana. Melia adalah anak gadis kami yang baik, cantik dan sopan itulah sebabnya kami sangat sayang terhadapnya." Jawab Rina dengan kebohongannya.
"Ibu juga merupakan seorang ibu yang hebat ya, dapat merawat Melia sampai sekarang tanpa seorang suami."
"Ya begitulah, walaupun bencana datang kepada keluarga kami. Saya harus membesarkan Melia dengan penuh kasih sayang dan merawat dia dengan sebaik mungkin." Rasanya jijik sekali Rina menyebut nama Melia berkali-kali, tetapi ia tetap harus berakting di depan pak Robert.
  
    ----Lanjut bagian BAB III part 2----

Kasih IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang