Melodi Cinta Tembok Suci

503 12 0
                                    

Baginda Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda : ”Cinta  sesuatu itu membutakan dan menulikan.” Maka tak heran jika banyak kita jumpai orang yang  terbuai tenggelam dalam kubang cinta.
# # #
Suasana pesantren sudah mulai sepi senyap. Semua santri telah  lelap dalam tidur masing-masing. Menyisakan  beberapa gelintir orang yang masih menangis bermunajat  dengan Rabbnya. Sifat taqwa yang sudah tertanam menjadikan para santri selalu berusaha memasrahkan semuanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa.
Seorang ustadzah tengah menikmati bacaan al-Qur’an dengan suara merdu. Merasakan dan meresapi setiap lafadz. Makna yang terkandung membuatnya semakin berusaha untuk mendekatkan diri kepada Sang Kholiq. Dari cover bagian dalam mushaf, kita dapat mengetahui bahwa nama ustadzah itu adalah Anisa Salsabila.
Malam ini, Anisa sengaja di pesantren, menghabiskan panjangnya malam untuk mengenang masa-masa indah bersama teman. Karena esok hari, ia harus segera ke bandara dengan ibunya, untuk tinggal menetap di rumah keluarga yang ada di luar kota. Alasannya, ia ingin menghilangkan kenangan cinta dengan seorang laki-laki yang belum genap 5 bulan menjadi suaminya.
# # #
Anisa adalah gadis lulusan pesantren  di Magetan, yang baru beberapa bulan memadu kasih dengan seorang ustadz. Muhammad Rahman, inilah pemuda kampung yang berhasil singgah di hati Anisa. Menjadi imam dalam perjuangan mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Meski dari status sosial, keluarga Rahman hanyalah pedagang kerupuk  yang keliling di kampung. Sedangkan keluarga Anisa adalah berlatar belakang pengusaha ternama, itu tak menjadi masalah. Bagi seorang wanita yang belajar agama, mendapatkan suami yang sholeh dan bagus akhlak serta agamanya, adalah suatu anugerah dari Allah yang  sulit didapatkan.
“Maaf Pak, dalam kitab Umdah, pembahasan bab nafaqoh. Dijelaskan bahwa seorang suami harus mencukupi kebutuhan istri sebagaimana kehidupan dia bersama kedua orangtuanya. Saya khawatir tidak bisa menunaikan itu semua. Sehingga saya termasuk menjadi suami yang zalim, karena tidak  mampu menunaikan hak istri...” Ungkap Rahman suatu ketika, saat Pak Jalil menawarkan Rahman untuk menikah dengan Anisa, putrinya.
“Ustadz Rahman jangan khawatir. Saya akan memberikan pekerjaan, sehingga lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kami hanya berharap agar ustadz membimbing Anisa dalam jalur agama, kemudian mampu menjadi madrasah bagi anak-anak di kemudian hari. Itulah yang saya harapkan. Bukan harta, tapi agama...”
Jawaban mantap dari Pak Jalil, benar-benar anugerah besar  bagi Rahman. Tak lama kemudian, ia telah menjadi suami sah dari wanita sholehah yang begitu mencintainya. Kehidupan mereka begitu simetris dan romantis. Bisa saling memahami, melengkapi dan mensyukuri satu sama lainnya.Ya, setidaknya itulah yang mereka rasakan, sebelum cobaan berat menghadap begitu saja.
Memang benar adanya bahwa ad dunya darrul imtihan, dunia adalah tempat ujian. Kasih sayang Pak Jalil yang dulu dirasakan, tiba-tiba berbalik arah menjadi kebencian. Cobaan seperti ini pun tak hanya menimpa Rahman, tapi juga banyak teman seperjuangannya. Berbeda kefahaman selalu menjadi alasan bagi para orangtua untuk memindahkan anaknya dari pesantren. Bahkan menjadikan rumah tangga yang dulunya harmonis, berubah berpisah secara tragis. Inilah akibat dari salahnya pemikiran, menyamakan masalah furu’ (cabangan dalam agama) seperti usul (urusan tauhid atau akidah). Akhirnya perbedaan pendapat sedikit pun menjadi dibesarkan, bahkan hingga timbul perpecahan.
Secara terus terang, Pak Jalil meminta kepada Anisa untuk berpisah dengan Rahman. Bahkan tak hanya itu, ia juga sudah mencarikan suami pengganti yang dianggap memiliki kefahaman sama.
“Buat apa melanjutkan hubungan dengan orang yang tidak sefaham dengan kita,” ketus Pak Jalil kepada Anisa “hubungan kalian tidak akan tidak akan bisa bahagia. Lebih baik kamu berpisah dengan Rahman, dan menikahlah dengan Ustadz Salman, dia jauh lebih baik...!”
“Tidak semudah itu Bah. Pernikahan bukahlah sesuatu yang remeh, sekedar mengumbar nafsu dan syahwat,” bela Anisa “saya sudah menjadi istri yang sah bagi Mas Rahman tiga bulan yang lalu, dan saat itulah Anisa telah menjadi bagian hidup Mas Rahman. Dalam kitab Umdah pun telah dijelaskan bahwa bagi seorang istri, hak atas suami lebih besar dari hak atas kedua orangtuanya.”
“Terserah kalau kamu tidak nurut, dan terus menggunakan ilmumu untuk membantah abah. Yang jelas, abah sudah tidak sudi lagi punya menantu seperti Rahman. Bilang sama suami kamu itu, mulai besok dia harus meninggalkan rumah dan perkerjaan yang abah berikan! Pergilah sejauh-jauhnya dari tempat ini...!” Bentak abah bersungut-sungut.
Hati Anisa terasa remuk. Begitu cepatnya roda kehidupan berputar. Seharusnya ia masih menikmati indahnya masa pengantin baru bersama Rahman. Namun apa daya, takdir Allah telah berkehendak lain. Ia menceritakan semua masalahnya kepada Rahman, lelaki  yang telah sepenuh hati mencintainya.
“Sebenarnya Mas Rahman sih tidak masalah Dek, jika harus meninggalkan rumah dan perkerjaan yang abah berikan. Toh di rumah dulu, orangtua juga hanya penjual kerupuk dan telah biasa hidup dalam kondisi sederhana. Mas cuman khawatir nggak bisa buat adek bahagia.” Ungkap Rahman sedih menatap istrinya.
“Mas....., apakah tolak ukur kebahagiaan itu dari banyaknya harta? Bukankah Mas sering ceramah di depan masyarakat, bahwa jika kebahagiaan itu diukur dari banyaknya harta, pastilah Korun akan bahagia. Buktinya apa, ternyata Korun menjadi orang yang sangat celaka. Percayalah....., adek bahagia bukan karena harta, tapi bisa hidup dengan suami sholeh yang taat dalam bergama, itulah pilihan yang sesungguhnya. Tak masalah hidup tanpa kekayaan, karena hati lebih butuh terhadap cinta ketimbang harta.”
Air mata Rahman perlahan mulai mengalir membasahi pipinya.  Hari itu juga, mereka mengemasi barang. Untuk terakhir kalinya, Rahman  mengajak Anisa  untuk berpamitan kepada Pak Jalil, juga berharap agar ia mau menarik uncapan. Sehingga tak perlu lagi adanya perpecahan dalam keluarga.
“Maaf Bah, yang kita perselisihkan hanyalah masalah furu’, cabangan dalam agama. Jika berbeda pendapat pun tidak akan merusak tauhid kita. Lagi pula, saya punya guru yang sanadnya sambung dan jelas barokahnya. Bukan orang yang baru dan juga metode baru, yang belum jelas keberkahan dan keberhasilannya. Itu yang harus kita pegang. Baginda Nabi pun telah bersabda, barang siapa yang diberkahi dalam sesuatu, maka peganglah betul-betul.”
“Cukup....!!” ketus Pak Jalil “kamu hanya punya ilmu, tapi minim pengalaman dan pengorbanan. Saya tidak butuh ceramah dari ustadz kemarin sore sepertimu. Sekarang, cepat pergi! Dan jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi....!”
Bibir Rahman terasa kelu. Ia dan Anisa berpamitan mencium tangan istri Pak Jalil yang menangis tersedu mendengar keputusan suaminya.
“Umah pesan sama kamu Man. Jagalah Anisa baik-baik. Bimbing dia dalam jalur agama. Insyaallah Umah ridho dan akan terus mendo’akan kalian....”
Sore itu, Anisa dan Rahman bergegas pergi. Satu-satunya tujuan mereka adalah ke pesantren. Perjalanan dari Semarang ke Magetan membutuhkan waktu kurang lebih 9 jam. Sebenarnya Anisa mengusulkan untuk tinggal di rumah Rahman, di Porwodadi. Tapi tak disetujui. Alasannya, mereka pasti akan semakin menambah beban orang tua yang hanya berkerja sebagai pedagang kerupuk.
“Kita ke pesantren aja Dek, cari kontrakan. Insyaallah rizki di sana lebih barokah. Sekalian hidmat sama kyai.” Ungkap Rahman menyemangati istrinya.
# # #
Rumah tangga Anisa dan Rahman dijalani dengan penuh kasih sayang. Meskipun hidup dalam keadaan sederhana, kontrakan kecil di pinggiran sawah, tak membuatnya berkecil hati. Anisa pun tak pernah mengeluh. Baginya, rumah mewah dan makanan lezat yang biasanya dirasakan di rumah dapat tergantikan seutuhnya ketika dekat dengan Rahman.
“Dek, insyaallah mulai besok  mas  ada kerjaan tembahan. Setelah mengajar di kelas, mas langsung kerja jadi kuli bangunan sampai sore, kebetulan di pondok lagi ada pembangunan masjid. Yah…  lumayan buat tambahan.”
“Tapi Mas, malamnya kan kita masih harus mengajar di masjid desa, emangnya nggak capek?” Tanya Anisa merasa kasihan.
“Nggak apa-apa Dek, kalau capek kan ada adek yang bakalan mijitin aku.” Gombal Rahman dengan senyum.
Rahman memang  bukanlah lelaki yang mengedepankan  gengsi. Mungkin karena latar belakangnya  yang hanya pemuda kampung. Setelah  mengajar  hingga jam 09.30 pagi , ia segera ganti  kostum  menjadi kuli bangunan. Sedangkan Anisa pulang pergi  mengajar di asrama putri menggunakan sepeda ontel.
“Sabar ya Dek,  3 bulan lagi insyaallah mas bisa beli motor.” Hibur Rahman  kepada Anisa yang membonceng dari belakang. Saat berangkat jum’atan.
“Nggak usah  terlalu difikirkan Mas,  jalan kaki aja  aku udah seneng banget kok, apalagi kalau digendong mas.” Goda Anisa sambil menggelitiki pinggang Rahman. Membuatnya tak seimbang menjalankan laju sepeda.
Di balik kesederhanaan, mereka bahagia bercanda ria, saling  menutupi  dan melengkapi kekurangan  yang ada. Bahkan di hari ulang tahun Anisa, Rahman memberi kejutan untuk istrinya. Ia menutup rapat mata Anisa, memboncenganya dengan sepeda ontel ke suatu tempat yang lumayan jauh. Ternyata Rahman membawa istrinya ke café  mewah di kota Madiun. Ia memberikan kue tar yang bertuliskan “Happy Birhtyday For Anisa”.
“Mas…mas…,  mending uangnya dipakai buat beli nasi pecel, kan bisa dapat banyak.” Ketus Anisa  setelah tersenyum bahagia karena kejutan Rahman.
“Adek gimana sih, emangnya nasi pecel bisa dikasih lilin?”
Tak mau kalah dengan sang suami, Anisa juga ingin memberikan kejutan untuk Rahman. Di hari ulang tahun, Rahman masih tetap kerja sebagai kuli bangunan. Sebelum jam kerja selesai, Anisa menyempatkan diri mengendarai sepeda ke asrama putra. Ia tersenyum melihat suaminya  yang sedang menarik adonan semen dari lantai 3 masjid, yang sedang dalam tahap pembangunan.
“Pak….., minta tolong sebentar ya….” Pinta Anisa kepada kuli bangunan yang bertugas sebagai pembuat adonan semen.
Anisa menuliskan surat dan meletakkannya di atas ember berisi adonan semen yang akan di tarik  suaminya ke atas. Rahman pun belum menyadari keberadaan istrinya. Hingga ia menemukan surat dari ember yang ia tarik.
Kejutan buat Mas Rahman….
Selamat ulang tahun…..ayo turun, aku punya  ciuman mesra buat Mas.
Rahman tersenyum riang. Ia pandang ke bawah, Anisa memanggil-manggil dengan melambaikan tangan. Dengan tergesa-gesa, Rahman berlari menuruni tangga bambu  menuju lantai dua. Tak diduga, karena terburu-buru, Rahman terpeleset, mengelinding di tangga hingga jatuh ke lantai satu. Kepalanya membentur dinding, dan mengalami pendarahan hebat.
“Astaghfirullah ….,Maaas…!!.” Jerit Anisa mengetahui suaminya jatuh.
Semua kuli berkumpul, melihat keadaan Rahman yang sudah tak sadarkan diri. Ia segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan  penanganan khusus. Sementara Anisa hanya menangis  dan menyesali perbuatannya.
# # #
Sejak di rumah sakit, Anisa hanya mondar-mandir sendiri di depan ruang rawat suaminya. Berjam-jam dalam kecemasan, tiba-tiba ia dipanggil ke ruangan dokter.
“Mbak ini keluarganya…?” Tanya dokter.
“Iya Dok, saya istrinya Mas Rahman.”
“Saya harus memberitahukan bahwa suami anda mengalami gangguan pada tengkorak kepalanya akibat benturan keras. Satu-satunya cara agar suami anda bisa sembuh total adalah dengan operasi. Jika tidak, maka sebagian fungsi saraf di kepala suami anda akan rusak dan dapat menyebabkan cacat mental maupun fisik.” Jelas dokter.
Anisa  tertunduk lemas, air mata mengalir membasahi cadar hitamnya. Ia tak pernah menyangka jika suaminya akan mengalami musibah seperti ini.
“Semua tergantung dengan anda. Kami akan melakukan operasi jika sudah ada tanda tangan di surat yang akan kami berikan.” Tambah dokter.
“Kira-kira biayanya berapa Dok?” Tanya Anisa.
“Operasi kepala tergolong berat, biaya yang diperlukan kurang lebih 50 juta.” Jawab dokter.
“Apakah bisa  hutang atau dicicil dulu Dok.”
“Maaf Mbak, kami hanya bisa melakukan operasi  jika pembayaran sudah lunas, dan kami minta hal ini harus cepat. Kami takut jika terlalu lama akan semakin memperburuk keadaan suami anda.”
Tak ada pilihan lain kecuali menyanggupi permintaan dokter untuk melakukan operasi. Yang harus ia pikirkan adalah, dari mana akan mendapatkan biaya sebanyak itu. Malam hari, Anisa menangis bermunajat di musholla rumah sakit, meminta penyelesaian masalah kepada Dzat Yang Maha Kuasa.
# # #
“Assalamualaikum….”.  Salam Anisa menelfon abah, meminjam hp dari perawat.
“Ini siapa…….?” Tanya abah.
“Anisa Bah….., ini Anisa …” Jawabnya gemeteran.
“Kenapa kamu menghubungi abah lagi…., apa sudah lupa dengan kata-kata abah saat kamu pergi dari rumah?!.” Bentak abah.
Sejenak Anisa diam, dan sesenggukan karena sedih mendengar perkataan abah. Tapi tidak ada jalan lain, ia harus  meminta bantuan abah untuk membayarkan biaya operasi suaminya. Menceritakan semua yang terjadi dan mengutarakan tujuannya.
“Ha…ha…..ha…, Anisa , Anisa. Itulah resiko jika menikah dengan gembel yang mempunya kefahaman nyeleweng, akhirnya hidupmu susah. Uang 50 juta itu tidak sedikit…” Ledek abah.
“Maaf Bah, Anisa tak pernah merasa sedih ataupun susah hidup dengan Mas Rahman. Hanya saja sekarang Anisa butuh uang untuk biaya operasi.”  Sangkal Anisa Mencoba membela diri.
“Baiklah,  abah akan memberikan uang untuk biaya operasi Rahman. Tapi dengan sarat, setelah  selesai operasi kamu tinggalkan  dia. Pulanglah! Abah nggak pengen melihat kamu tambah susah, bahkan menyusahkan keluarga, gara-gara menikah dengan laki-laki gembel dan tidak sefaham dengan kita.”
Bibir yang hampir tersenyum tiba-tiba bergetar. Fikiran Anisa kalut. Bagaikan buah simalakama yang tak mempunyai pilihan. Ia cinta dengan Mas Rahman, ia juga ingin Mas Rahman sembuh total. Tapi tak mungkin jika harus berpisah dengannya.
“Bagaimana Anisa….., fikirkanlah baik-baik, ini demi masa depanmu….” Desak  abah, karena beberapa saat Anisa hanya terdiam membisu.
Mas Rahman jatuh gara-gara aku, maka akulah yang harus tanggung jawab. Inilah yang  terbesit dalam fikiran Anisa. Ia cinta  dan tak mau pisah, namun alangkah sedihnya jika  melihat Mas Rahman hidup dalam keadaan cacat.
“Ya……, Anisa mau menuruti syarat abah.” Jawab Anisa yang tak kuasa menahan air mata. Ia tahu bahwa ini keputusan yang berat.
Hari itu juga abah menyusul  Anisa ke rumah sakit dengan membawa uang untuk biaya operasi. Senyum kegembiraan sedikit tampak karena melihat abah yang masih peduli untuk memberikan biaya operasi Mas Rahman. Namun, ada kenyataan pahit yang harus ditanggung Anisa, yaitu berpisah dengan suaminya.
“Abah sudah membawa uang yang kamu inginkan. Sekarang ayo masuk ke dalam ruang suamimu.” Ajak abah yang masih menenteng tas berisi uang biaya operasi.
Abah membawa Anisa masuk ke ruang rawat Rahman. Bukan untuk menjenguk atau melihat keadaan, akantetapi abah memaksa Anisa bersumpah di atas kepala suaminya yang belum sadarkan diri, untuk tidak melanjutkan hubungan setelah kesembuhannya.
“Sekarang letakkan telapak tangan ke atas kening suamimu, dan cepat ucapkan sumpah.” Paksa abah.
Anisa tak kuasa menahan air mata, meletakkan tangan ke atas kening suaminya yang masih diperban. Tak sadarkan diri.
Saya bersumpah…., demi  Allah Ta’ala, setelah kesembuhan Mas Rahman, saya tidak akan kembali lagi menjalani hubungan sebagai suami istri. Saya akan pergi jauh untuk meninggalkannya.
Sesenggukan Anisa melafadzkan sumpah yang dipaksakan oleh abah. Mulutnya melafadzkan sumpah, sedangkan hatinya tetap memberontak.
Biaya administrasi segera dilunasi dan operasi pun dapat dilakukan dengan lancar. Keadaan Rahman sudah membaik, hanya tinggal menunggu untuk siuman. Sebelum pulang dengan abah, Anisa menyempatkan diri ke kamar suaminya. Ia cium kening Rahman yang belum sadarkan diri. Setelah itu segera berlalu  pergi meninggalkan ruangan, menyisakan jejak kerinduan yang teramat dalam.
Anisa juga menghubungi orangtua Rahman yang masih ada di kampung, untuk menjaga dan menyambut Rahman ketika siuman.
# # #
Perlahan mata Rahman sudah mulai terbuka. Di sekelilingnya ada bapak dan ibu yang menunggu sejak 3 jam kedatangan dari kampung, Porwodadi.
“Anisa……, Anisa….., mana Anisa…?” Tanya Rahman setelah kedua matanya terbuka sempurna.
“Anisa pergi ke pesantren Man. Dia bilang minta maaf, karena mungkin akan pergi lama…,” Jelas ibu yang memang telah dititipi pesan oleh Anisa.
“Bu…., aku harus ketemu Anisa…….” Paksa Rahman dengan raut cemas.
“Tapi kondisi kamu belum pulih Man….” Ibu mencoba melarangnya.
Nasehat ibu tak didengarnya, Rahman bersikeras meminta dokter untuk mencabut jarum  infus yang masih tertancap di tangan. Ba’da sholat Asar, ia segera pergi ke asrama putri untuk mencari istrinya.
“Kang ….., tolong panggilkan ustadzah Anisa..” Pinta Rahman kepada petugas istiqbal.
“Maaf ustadz, kami belum bisa panggilkan, karena sekarang  sedang program ngaji sore.” Jawab petugas istiqbal dengan sopan.
“Tapi dia istri saya..! Pokoknya saya harus ketemu sekarang…..!!” Paksa Rahman.
Petugas istiqbal tetap tak mau menuruti permintaan Rahman. Merasa jengkel, akhirnya Rahman  berdiri di depan gerbang asrama dengan terus memanggil-manggil nama Anisa.
“Anisa…..! Anisa…, Dek… ini  Mas Rahman.” Teriaknya keras di depan gerbang.
Petugas istiqbal yang tak berani mencegah, segera melaporkannya kepada  ustadz-ustadz senior yang tinggal di lingkungan pesantren. Karena dianggap gila atau stres, Rahman ditarik paksa oleh 3 ustadz yang datang.
“Apa-apaan ini….., lepaskan! Saya mau cari Anisa, istri saya…” Teriak Rahman memberontak.
Rahman masih terus melawan sambil teriak memanggil nama Anisa. Membuat ketiga ustadz tersebut memukulinya hingga  lemah. Namun, Rahman tetap tak berhenti  memanggil nama Anisa hingga tenggorokannya tercekat serak.
Sesaat kemudian, seorang wanita bercadar keluar dari balik pintu gerbang yang bersatir hitam.
“Anisa …….” Rahman segera bangkit melihat istrinya yang datang.
“Tunggu….., aku mohon jangan mendekat!!” Cegah Anisa.
“Kenapa  Anisa……? Aku Mas Rahman…, ayo pulang.”
“Maaf Mas…., aku anggak mau hidup bersamamu lagi. Aku mau menikah dengan lelaki pilihan abah. Besok aku akan pulang.” Suara Anisa gemeteran karena menahan tangis.
Muka Rahman berubah, namun ia belum percaya. Pasti ini hanya sandiwara atau kejutan saja.
“Kamu ngomong apa Anisa……., kamu hanya bercanda kan?  Sudahlah, ayo cepat pulang….”
Ingin sekali Anisa menyambut tangan Mas Rahman yang melambai mengajaknya pulang. Tapi  apa daya, ia sudah berjanji pada abah untuk tidak bersamanya lagi. Dengan sekuat tenaga Anisa  menahan air mata yang hampir-hampir tertumpah. Tak mau sandiwaranya diketahui Rahman. Anisa  segera mengambil sikap yang sangat melukai hati sang suami, ia mecopot cincin pernikahan dan melemparkannya.
“Ini….!! Cincin murahan yang kamu berikan….., aku tak mau lagi memakainya!.”  Ketus Anisa sambil melemparkan cincin ke arah suaminya.
Setelah itu Anisa segera  berpaling  hendak pergi. Sebelum membuka satir penutup gerbang, Rahman masih sempat meneriakkan pesan untuknya.
“Tunggu….!! Aku tak percaya lagi tentang cinta yang dulu pernah kau katakan, dan jangan pernah kau ceritakan kisah hidup kita kepada orang lain. Karena,  akan ada banyak orang yang tidak percaya  lagi dengan kata cinta.”
Ucapan terakhir itu mengakhiri perjumpaan mereka. Rahman segera berlari  menjauh  dengan  tetap menggenggam  cincin pernikahanya. Meninggalkan  Anisa yang masih mematung memegang satir hitam, saksi bisu kebohongan hati yang masih menyimpan rindu dan cinta.
Setelah perjumpaan itu, Rahman pulang ke kampung halaman dengan kedua orangtuanya. Hari-hari dilalui  seperti Qois yang merindukan Laila. Hanya berjalan mondar-mandir dengan wajah tertunduk  lesu. Ia masih terbayang  dengan sikap dan perkataan Anisa, yang terasa menyayat hatinya.
Sementara Anisa , beberapa kali  ia dipaksa untuk menikah dengan seorang ustadz lulusan pesantren Magelang, pilihan abahnya. Beruntung, ia punya akal cerdik  untuk menghindari  paksaan. Ketika  orang yang melamar  datang, maka Anisa akan pura-pura gila dan bersikap aneh.
“Antum  jangan main-main!! Mana mungkin putra saya harus menikah dengan  perempuan yang kurang waras!!” Ketus teman Pak Jalil yang ingin memperkenalkan putranya dengan Anisa.
Pada  akhirnya, perlahan abah  mulai menyadari bahwa perpecahan adalah akar dari berbagai permasalahan.  Berhari-hari  tinggal di rumah, Anisa hanya  melamun  dan termenung di kamar. Tak mau menemui seseorang pun kecuali  hanya kedua orangtuanya. Asbab itulah, ibu berinisiatif untuk membawa putrinya ke rumah nenek  yang  jauh di luar kota.
“Kita ke pondok dulu ya Mah, aku mau minta do’a dan pamitan sama teman-teman.” Pinta  Anisa kepada umah.
Satu hari sebelum jadwal pemberangkatan pesawat, Anisa dan umah pergi  ke pesantren dengan diantar sopir, sementara abah tetap di rumah tak bisa mengantar ke bandara karena ada pertemuan penting.
# # #
Di pelosok desa yang jauh dari pesantren, Rahman masih linglung tak tau arah hidup. Bapak dan ibu yang berdo’a siang malam demi kebaikan putranya, akhirnya Allah berikan ilham  untuk membuka lagi surat-surat yang dibawa dari rumah sakit. Di antara surat-surat administrasi, terselip sobekan kertas kecil. Mereka baru sadar bahwa Rahman menjalani operasi  yang memakan biaya sangat mahal, dan sobekan kertas kecil itu adalah tulisan Anisa. Bapak segera menghampiri Rahman yang masih termenung melamun  di depan jendela.
“Man……, coba lihat surat ini, bapak kira pasti ini penyebab semuanya. Inilah yang menyebabkan Anisa meninggalkanmu.” Sambil menyodorkan sobekan kertas kecil  dan  beberapa surat biaya administrasi kepada Rahman.
Mata Rahman  terbuka lebar memandangi  kertas kecil yang ada di tangannya. Ia kenal betul dengan tulisan ini. Ya, ini adalah tulisan istrinya.
Mas……, aku minta maaf.  Aku terpaksa ninggalin Mas.  Anisa tak punya uang  untuk membayar biaya operasi.  Anisa terpaksa meminta uang dari abah,  dengan sarat harus pisah dengan mas setelah operasi. Semoga mas dapat hidup lebih bahagia tanpa kehadiranku. Jangan khawatir, mas akan menjadi orang yang akan aku ceritakan, saat ada orang yang menanyakan rasa manisnya cinta kepadaku.
Anisa.
“Man….., sekarang cepat susul  istrimu, ajak dia pulang.” Perintah bapak sambil menepuk pundak Rahman.
Nasehat bapak segera dikerjakan. Sore itu juga  Rahman bergegas  ke  kota. Semangat hidup yang akhir-akhir ini redup sudah mendapat titik terang.  Cahaya cinta sudah mulai bersinar di hatinya. Ia kendarai motor tua  milik bapak. Perjalanan ke semarang kurang  lebih  3 jam. Rahman tak  tau jika Anisa akan pergi keluar kota.
# # #
Rahman sampai di kota Semarang  pada tengah malam. Namun, rasanya kurang pas jika bertamu di malam hari. Ia mencari masjid terdekat  untuk istirahat. Pagi-pagi sekali setelah shalat Isro’ ia bergegas ke rumah Pak Jalil untuk menemui Anisa.
Tiba-tiba rasa cemas hinggap di fikiran Rahman. Dari kejauhan, tampak ada 3 motor yang parkir di halaman rumah Pak Jalil. Ia berfikiran buruk tentang penjodohan Anisa.  Buru-buru ia masuk ke dalam  rumah.
“Woi….., mau apa kau…….!!” Teriak seoarang laki-laki  bertato sambil mengacungkan sebilah pisau.
Ternyata rumah pak Jalil dijarah  perampok. Jumlahnya ada 4 orang. Dua orang sedang menjaga Pak Jalil dan mang Kardi, yang disekap  di atas sofa. Sementara  2 orang lainya masih menggeledah mencari uang dan barang berharga dari kamar.
Satu  orang perampok berlari mencoba menyerang  Rahman dengan pisau yang dibawa. Beruntung Rahman berhasil menepis serangan  dan mengunci, memutar tangan lawannya hingga patah tulang. Perampok itu hanya bisa mengerang kesakitan. Setelah itu, Rahman berlari kencang menuju satu perampok lain yang hendak melemparnya dengan kursi besi. Ia melompat menendang keras kursi yang diambil perampok, membuatnya terpelanting  ke belakang membentur meja. Tiga pukulan maut Rahman  mengarah ke ulu hati, cukup untuk melumpuhkan lawannya.
Mendengar keributan, dua perampok lain yang sedang menggeledah kamar, segera datang dari arah yang berbeda. Satu perampok sudah begitu dekat sambil mengayunkan sebilah celurit. Rahman mengelak, namun kalah cepat. Ujung celurit sempat merobek bahu kanan, membuatnya mengerang kesakitan. Dengan sekuat tenaga Rahman berusaha  mengambil kursi besi yang tergeletak. Ia gunakan kursi itu untuk menangkis serangan.
Bentuk celurit yang melengkung  tersangkut di sela-sela kaki kursi, memudahkan Rahman untuk melepaskan celurit dari tangan perampok hingga terlempar jauh.  Kesempatan ini segera dimanfaatkan Rahman. Ia  pukul kepala perampok berkali-kali dengan  kursi, hingga tersungkur ke lantai dengan kepala yang besimbah darah.
Belum selesai Rahman melakukan serangan kepada perampok yang sudah tersungkur, tiba-tiba perampok yang terakhir menendang keras wajah Rahman. Darah segar pun  mengalir  dari bibir yang pecah. Tak memberikan jeda, perampok  segera mendekat dengan pisau belati yang sudah siap menyerang. Dengan  sigap Rahman menendang keras kemaluan lawannya, hingga mengumpat  kesakitan. Dengkulan keras Rahman menyusul ke kepala perampok yang masih rukuk menahan sakit, hingga terpelanting  ke belakang. Serangan terakhir, Rahman membalik badan lawannya hingga tengkurap, menarik dan mengunci kaki kanan hingga membuat pinggang lawannya patah. Kraak!
Tak ada lagi perlawanan. Dua perampok yang telah mengalami patah tulang hanya mampu memandang wajah Rahman dengan perasaan cemas. Sedangkan dua lainnya pingsan bersimbah darah.
Dengan sempoyongan karena luka di bahunya, Rahman segara mendekati Pak Jalil dan mang Kardi. Ia lepaskan ikatan tali  dan kain yang disumpelkan ke dalam mulut keduanya.
“Abah nggak apa-apa…? Umah dan Anisa di mana?” Tanya Rahman cemas.
Pak Jalil tak segara menjawab. Matanya berkaca-kaca menatap wajah Rahman  yang bertaruh nyawa demi keselamatannya.
“Maafkan abah Man….., abah  sudah salah menilai kamu…” Ungkap Pak Jalil sedih.
“Sudahlah Bah….., itu tidak penting. Sekarang di mana umah dan Anisa ?.”
“Mereka berdua ke bandara. Pagi ini Anisa akan berangkat ke kota Ketapang. Sebaiknya kita cepat susul mereka sebelum berangkat.”
Rahman tampak sangat cemas, ia takut jika istrinya sudah berangkat. Buru-buru ia bonceng Pak Jalil dengan motor bututnya ke bandara. Karena beberapa menit lagi pesawat akan diberangkatkan.
“Ayo Bah…., kita cari Anisa..” Ajak Rahman yang tak menghiraukan lagi luka di bahunya.
Mereka berdua bergegas ke ruang  check-In. Tapi, ternyata semua penumpang telah masuk ke dalam pesawat. Hati Rahman benar-benar gusar. Ia bergegas melihat pesawat  yang ditumpangi Anisa dan umah. Kecemasannya  semakin bertambah ketika melihat pesawat sudah mulai bergerak. Rahman tak mau tinggal diam melihat istrinya pergi. Ia berlari kencang ke arah pesawat.
“Berhenti……………, jangan mendekat…!!!”  Teriak security yang melihat Rahman mendekat ke arah pesawat.
Rahman  tetap tak menghiraukannya. Ia tetap berlari mendekati pesawat yang sudah  mulai bergerak maju. Akhirnya salah seorang  polisi yang ikut mengejar,  terpaksa menembakkan peluru  timah ke kaki kanan Rahman, membuatnya  jatuh tersungkur  menahan sakit. Tapi, lagi-lagi  ia berusaha tak peduli dan bangkit. Dengan tergopoh-gopoh dan kaki kanan yang bersimbah darah, Rahman tetap usaha berlari mendekati pesawat.
Sementara itu, dari dalam pesawat, umah melihat  Rahman yang berlari berusaha menghadang laju pesawat.
”Anisa…., lihat keluar, itu Rahman suami kamu datang…” Ungkap ibu kepada Anisa yang masih melamun sedih.
Anisa  terbelalak dengan apa yang dilihat. Ia tampak begitu kaget melihat kedatangan suaminya. Segera saja Anisa beranjak menuju ruang pilot.
“Pak…., berhenti  Pak. Saya mohon berhenti, saya mau turun.” Pinta Anisa menangis merengek  kepada pilot untuk memberhentikan pesawat.
“Anisaaaa ……!!” Teriak Rahman yang tak mampu lagi  berjalan. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya kapten pilot menuruti permintaan Anisa. Ia segera memberi tahu petugas bandara  untuk mengantarkan mobile passanger steps  (mobil tangga). Beberapa petugas bandara dan  polisi berlari menghampiri Rahman yang duduk lemah sambil terus memanggil nama istrinya.
Dari atas pesawat, Anisa bergegas lari menghampiri Suaminya yang dipapah petugas.
“Mas Rahman…..” Teriak Anisa sambil terus berlari mendekat, membuat purdah hitamnya melambai-lambai terkena kibasan angin.
Rahman berusaha berdiri sekuat tenaga untuk  memeluk istrinya, menyambut hangat dekapan Anisa yang menangis bahagia.
“Maafin aku Mas……, aku nggak bermaksud menghianati cinta kita….” Ungkap Anisa.
“Kamu nggak salah Anisa…., tapi mas lah yang salah.”
Pak Jalil dan istrinya ikut mendekat, dan larut  dalam tangis kebahagian yang dirasakan putrinya. Sekarang  mereka sadar bahwa melodi cinta tidaklah bisa dipaksa, dan mampu membuat para pecinta menjadi buta, tak menghiraukan segala kesakitan maupun rintangan yang menghadang.
Pesawat kembali bergerak untuk Take Off, meninggalkan cinta yang kembali melekat dalam kehangatan sebuah keluarga.
# # #
“Taukah kau Anisa……., tembakan puluru penjaga bandara tidaklah lebih sakit ketika kau lemparkan cincin pernikahan kepadaku…” Ungkap Rahman meringis.
“Halah….. bohong, dasar tukang gombal….” Ledek Anisa sambil memencet luka tembakan di kaki suaminya.
“Ya Allah……. sakit Dek……”
                          TAMAT

Antologi Cerpen Islami InspiratifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang