Lika Liku Laki-Laki yang Terluka-luka

341 10 0
                                    

Tahun 1983
“Aku tidaklah sama dengan teman-teman santri yang lain, yang bisa hidup bahagia bersama keluarga. Punya tempat  tujuan ketika liburan datang. Karena aku hanyalah seorang anak yang dibuang ke pondok pesantren.”
Ah….. pernyataan-pernyataan pahit ini selalu menggelayuti  fikiranku ketika sendirian. Lebih-lebih lagi ketika keadaanku seperti sekarang ini. Malam libur tapi nggak punya aktivitas, pasti hanya lamunan buruk yang hinggap di fikiran, dan terkadang juga akhirnya harus meneteskan air mata. Huf…. malangnya nasibku.
Entah  apa yang terjadi, aku tidak tahu secara pasti. Delapan tahun telah berlalu, sejak tahun 1975 hingga sekarang, aku tak pernah mendengarkan kabar kedua orang tuaku. Aku juga tak pernah mendapat kiriman surat ataupun uang. Juga tak pernah ada panggilan dari kantor karena orang tuaku datang menjenguk.
Aku selalu berusaha untuk berbaik sangka kepada kedua orantuaku, juga pada paman yang telah membawa ke tempat ini. Tapi aku bingung. Baik sangka seperti apakah yang harus ditanamkan dalam hati ini. Seorang ayah tega menitipkan anaknya pergi bersama paman ke daerah Jawa untuk belajar di pesantren. Dia bilang “Ayah akan datang menjenguk setelah semua urusan selesai.” Namun, sampai sekarang pun, perkataan yang pernah kudengar itu tak pernah terbukti. Surat pun tak pernah datang meski hanya sekali untuk menenangkan hatiku. Parahnya lagi, beberapa kali aku mengirimkan surat untuknya, tapi ternyata itu sia-sia. Tak pernah ada jawaban sedikitpun.
Memang terasa berat bagiku. Tak lagi aku bisa menganggapnya  sebagai seorang ayah. Aku sudah mulai berlajar mandiri sebagai seorang yang sebatangkara, tepatnya lima bulan setelah paman meninggalkanku untuk pulang. Masih teringat masa-masa santri baru yang begitu menyedihkan. Tidak ada satupun keluarga, juga tak ada uang untuk sekedar keperluan sehari-hari. Mandi pun aku tak pernah memakai sabun. Hingga akhirnya aku mencoba bangkit dari keterpurukan. Pagi hingga sore hari bekerja sebagai buruh tani di sawah milik orang desa  yang dekat dengan pesantren, sedangkan sore hingga malam belajar dan menghafalkan al-qur’an dengan tenagaku yang tersisa.
Memang sangat melelahkan pada awalnya, namun semua itu menjadi biasa setelah  dijalani selama berbulan-bulan lamanya. Tidak hanya sebagai buruh tani, terkadang juga sebagai kuli bangunan, kebersihan desa, sampai jadi penjaga toko seperti yang saat ini masih berjalan.
Delapan tahun sebenarnya bukanlah waktu yang sebentar. Tapi Alhamdulillah, tak terasa aku mampu menjalaninya, dan telah menuntaskan  masa belajar di pesantren. Kini, tinggal mengabdi kepada kyai, menyampaikan ilmu yang aku punya kepada para santri. Sedangkan keluarga, sepertinya tak pernah terbayangkan lagi. Lebih nyaman  untuk hidup sendiri, karena mengingat mereka, terutama ayahku,  semakin menyayat hati.
Tapi entahlah, jalannya kahidupan memang sudah digaris oleh Allah Dzat Yang Maha Kuasa. Walaupun itu terasa pahit bagiku. Tak pernah terbayangkan jika semua ini akan terjadi. Saat sedang asyik melayani pembeli yang memilah memilih sarung di toko tempat bekerja. Tiba-tiba mataku terkesiap. Tampak sosok laki-laki yang sudah terlihat lekukan keriput di wajahnya. Ia memantung memandangku lekat-lekat. Ia seperti telah ingat sesuatu. Matanya berkaca-kaca. Ia mencoba melangkah lebih dekat ke arahku. Ah…ada apa ini, tiba-tiba tubuh bergetar. Tak mampu melangkahkan kaki untuk pergi. Memoriku mulai terbuka untuk mengingat sesuatu, ya….aku ingat. ternyata laki-laki ini adalah ayah. Orang yang sudah memberikan janji palsu 8 tahun yang lalu.
“Irfan….  kamu Irfan kan…”
“Ini ayahmu Nak….. kamu ingat kan?”
Ya Allah…… apa yang sebenarnya terjadi. Laki-laki ini memanggil namaku. Rasanya jantung ini hendak meloncat dari tempatnya. Fikiran benar-benar semrawut. Suara pembeli yang menanyakan harga tak lagi terhiraukan. Kaki ini masih mematung di tempat, bibirku bergetar saperti orang yang menggigil kedinginan. Semakin dekat laki-laki itu melangkah maju, semakin kencang pula jantung ini berdetak.
“Ini ayah Nak….. Pak Salman ayahmu..”
Ia berbicara begitu pelan. Matanya meleleh, mengalirkan air mata kebahagiaan ke jenggotnya. Ya, air mata kebahagiaan, mungkin itulah yang sedang ia alami. Tapi  tidak untuk diriku. Meski air mata memaksa untuk keluar, tapi aku mencoba  untuk melarangnya, tak ingin sekali menangis hadapan laki-laki ini. Dia harus tahu  pedihnya hati seorang anak yang dibuang ke tempat nan jauh oleh orang tua tak bertanggung jawab, tanpa seorang teman, keluarga bahkan harta.
Sekarang ia benar-benar dekat  denganku. Tubuh ini dan tubuhnya begitu dekat. Namun, hati terus membrontak untuk segera menjauh. Berkali-kali ia mengatakan sesuatu yang tak begitu jelas terdengar. Hingga akhirnya ia mencoba untuk memelukku, dan segara saja kutepis kedua tangannya. Kemudian berlari secepat mungkin meninggalkan laki-laki yang sebenarnya memang adalah ayahku.
“Irfan…..Irfan…. ayah rindu kamu Nak….”
Paggilannya sama sekali tak kuhiraukan. Luka di hati ini rasanya tak kan bisa terobati. Tak ingin lagi mata ini melihatnya. Terus berlari menuju daerah persawahan. Di tempat yang sunyi inilah aku menangis sejadi-jadinya. Lebih dari satu jam menangis dan merenung bersandar pada pohon beringin yang  aku harapkan  dapat mengerti tentang perasaan yang tersakiti.  Meski air mata sudah mengering, namun luka di hati sangat susah untuk kering. Aku mencoba berdiri, melangkah menuju asrama pesantren, tempat yang bisa untuk sembunyi.
# # #
Tepat jam 20.00, bel tanda masuk kelas dibunyikan. Aku bergegas masuk ke kelas. Berharap jika kumpul dengan anak-anak santri akan dapat sejenak menenangkan hati, dan melupakan semua kejadian tadi pagi. Tapi ternyata tidak. Acap kali berusaha untuk melupakan, justru ingatan tentang kejadian tadi pagi semakin mengganggu fikiran, dan kegelisahan hati kian bertambah ketika Faiz, salah seorang teman seperjuanganku yang sama–sama sudah mengabdi, Ia memanggilku untuk datang ke kantor. Katanya ada musyawarah dadakan. Sebenarnya ada rasa curiga di hati, tapi itu semua kutepis katika tujuannya bukanlah ruang tamu.
Astaghfirullah….. ternyata ini adalah jebakan. Sepertinya laki-laki tadi sudah bekerja sama dengan  teman-teman sekantor. Ah…..masih sulit bagiku untuk menyebutnya sebagai seorang ayah. Aku tak bisa pergi kemana-kemana lagi. Di ruangan kantor hanya ada 4 orang. Laki-laki tadi sudah duduk di atas tikar dengan wajah penuh harap, sementara 2 orang teman berjaga di depan pintu. Mereka takut kalau aku bakalan pergi lari dari ruangan.
“Ayolah Irfan…… dia itu ayahmu. Dengarkan dulu semua penjelasannya.” Bujuk Fajar yang berdiri di samping faiz.”
Tidak ada pilihan lain kecuali mendekat kepadanya. Jujur, sebenarnya aku tak tega melihat lekuk wajah yang terlihat lelah. Tapi apalah daya, hati ini tetap memberontak. Bagiku, ini tak sebanding dengan penderitaan yang sekin lama aku jalani.
“kemarilah Nak…. ayah sudah sangat rindu denganmu.” Suaranya begitu berat dan matanya berkunang-kunang.
Belum sempat dia menjelaskan apapun, aku segera mendekat dan mengatkan sesuatu yang kurasa pantas untuk dia dengarkan.
“Aku tahu engkau adalah ayahku. Namun, luka di hati karena janji palsu dan sikap acuh rasanya tak kan pernah bisa terobati. Apakah ayah masih ingat ketika menyuruhku untuk ikut bersama paman? Setelah sampai di tempat ini, ia segera pergi meninggalkanku sendirian  hanya dengan sedikit uang saja. Berbulan-bulan lamanya menderita, dan sudah berkali-kali aku mengirimkan surat untuk ayah, tapi semua itu sia-sia. Tak pernah ada jawaban sedikitpun. Setiap hari aku duduk termenung di depan gerbang layaknya gembel jalanan, karena menantikan kedatangan seorang ayah. Tapi buktinya apa… semuanya hanya omong kosong!!.”
Sejenak aku menarik nafas, berharap mungkin  ia akan mengatakan sesuatu. Ternyata tidak.  Ia hanya tertunduk dan menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah ayah…. tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Karena semuanya sudah jelas. Aku hanyalah korban anak buangan oleh ayah kandungnya sendiri. Iya….. itulah predikat yang pantas aku sandang. Anak buangan…”
Seluruh isi hati rasanya sudah selesai dikeluarkan. Segera saja aku bangkit meninggalkannya yang masih duduk termenung  entah apa yang ia fikirkan. Tak ada satupun kata yang terlontar dari bibirnya. Terlihat Faiz dan Fajar mencoba menghalangi di depan pintu.
“Kamu mau keman Fan…? Tega sekali kau dengan ayah kandungmu sendiri!!!” Tegur Fajar, sepertinya ia jengkel melihat kelakuanku.
“Minggirlah…. kalian tidak tau bagaimana rasanya sakit hati ketika berada pada posisiku.”
Aku segera berlari menjauhi mereka semua. Mereka yang yang tak pernah mengerti perihnya hati yang dilukai. Berlari jauh tanpa arah, tak tau harus kemana lagi mencari tempat untuk sembunyi. Hingga kuputuskan untuk pergi ke kota sebelah untuk beberapa hari.
# # #
Sudah dua minggu lamanya berada di luar kota, aku berharap orang yang seharusnya  dipanggil ayah itu, telah pergi jauh dari lingkungan pesantren. Hari itu juga aku nekat kembali ke toko, dengan berpenampilan layaknya orang awam, sekaligus mengenakan topi pet untuk menyamarkan identitas. Tak ada perubahan di tempat kerjaku ini. Pak Anam, sang pemilik toko ternyata masih menunggu dan mempercayakan semuanya. Akantetapi, sekarang belum bisa melakukan penjualan.  Takut-takut jika orang itu datang lagi. Hanya membuka sedikit pintu untuk mengintip teman-teman yang mungkin kebetulan akan lewat. Beberapa menit mengintip, Alhamdulillah Faiz lewat. Sepertinya ia baru saja membeli keperluan dari pasar.
“Faiz…….Faiz…. cepet kesini..” Panggilku dari balik jeruji pintu toko. Ia segera menoleh dan bergegas mendekat.
“Aku mau nanya urusan penting…  ngomong-ngomong kabar ayahku bagaimana?”
“Kamu benar-benar kerterlaluan Fan…! Kasihan ayahmu. Beliau nunggu kamu di ruang tamu sampai satu minggu.”
“Sudahlah….. jangan mengatakan yang tidak-tidak. Trus sekarang  ayahku di mana?” Aku benar-benar cemas.
“Katanya perbekalan sudah mau habis. Beliau mau pulang dulu untuk ngumpulkan uang. Mungkin 2 bulan lagi akan kembali lagi kesini.” Jelas Faiz.
Sejenak hati ini terketuk. Meresa iba dengan jeri payahnya untuk mencari dan menunggu. Seperti ada percikan rindu di hati. Tapi….. aku bingung. Karena rasa benci dan rindu  bergabung bergulat di hati. Ya sudahlah… setidaknya untuk satu bulan lebih bisa tenang tanpa kehadirannya. Aktivitas di hari-hari berikutnya aku jalani seperti biasa. Pagi sampai sore menjaga toko, sedangkan sore hingga malam hidmat di pesantren.
Satu bulan lebih telah berlalu, rasa rindu akan hadirnya seorang keluarga selalu menghantui fikiran. Teringat wajah ibu, yang mungkin sangat merindukan kehadiran anak semata wayangnya. Rasa rindu membuat  penantian akan kedatangan seorang ayah begitu terasa lama. terkadang aku iseng pergi ke terminal  untuk melihat bus-bus yang datang, berharap dapat kembali melihat sosok ayah. Aku begitu penasaran dengan apa yang akan ia jelaskan waktu  itu.  Juga ingin sekali menanyakan kabar ibu. Satu-satunya orang yang  begitu perhatian sebelum aku dibuang di pesantren.
Setelah mengisi kelas malam, segera saja aku pergi ke kantor untuk istirahat. Kurebahkan tubuh ini di atas tikar dengan terus menerus membayangkan indahnya hidup dengan kehangatan dan keharmonisan keluarga. Sesaat kemudian lamunanku buyar  mendengar suara daun pintu yang diketuk dengan keras.
“Assalamualaikum…..”
“Waalaikum salam….silahkan masuk.” Aku segera bangkit melihat siapa gerangan yang datang.
“Saya Kholid Pak Ustadz….petugas jaga hari ini. Tadi ada tukang  pos ngasih surat ini.” (sambil menyodorkan amplop surat). Santri yang sepertinya masih kelas 3 Mts itu segera pamit untuk kembali berjaga.
Darah di tubuh rasanya berhenti mengalir, meski  degup jantung semakin kuat memompa. Tangan tiba-tiba bergetar ketika melihat amplop surat yang bertuliskan.
Dari Ayahanda Salman, Kab. Oku Timur (Sum-Sel)
Untuk Muhammad Irfan, Pesantren Al-Hidayah Jawa Tengah
Tak sabar aku segera menyobek amplop yang telah menjadikan hati deg-degan. Secarik keras kutemukan yang tak banyak tulisan di dalamnya.
Assalamualaikum…
Ini surat dari ayahmu Nak…
Ayah mohon cepatlah pulang. Jaga dan temanilah  ibumu yang sedang sendirian di rumah.
Ibumu adalah orang yang baik. Tidak jahat seperti ayah.
Ayah mohon pulanglah. Ini alamatnya: Desa Nusa Tunggal, Kec. Belitang II Kab. OKUT.
Mataku tiba-tiba terkesiap. Ada dua hal  aneh yang membuat  jantung semakin berdetak tak karuan. Yang pertama, kenapa ayah bilang kalau ibu lagi sendirian? memangnya dia mau kemana? Tak mau banyak menduga. Segera terfikirkan keanehan yang ke dua, yaitu tentang alamat rumah. Memoriku masih ingat betul, kalau alamat rumah sebelum aku tinggalkan adalah  (Desa. Karangsari, Kec. Belitang III, Kab. OKUT. Tapi kenapa sekarang berbeda? Fikiranku bertanya-tanya tanpa arah.
Banyak dugaan buruk telah mulai menghinggapi fikiran. Tak mau berlarut-larut dalam perasaan-peraasan yang tak jelas arahnya. Aku segera mengumpulkan perbekalan. Uang tabungan hasil kerja bertahun-tahun rasanya sudah sangat lebih dari cukup untuk pulang ke kampung halaman. Saat itu juga aku meminta izin sekaligus minta tolong sama Pak Anam untuk mengantarkan ke terminal bus.
“Minta do’anya ya Pak….semoga saya selamat sampai tujuan.”  Pintaku kepada Pak Anam, yang sepertinya merasa kehilangan.
“Iya Fan……hati-hati di jalan. Kalau sudah sampai rumah jangan lupa kabari Bapak yah..”
Dua hari dua malam adalah waktu yang harus kutempuh untuk pulang ke kampung. Memang melelahkan. Saat sampai di kecamatan tempatku dulu tinggal, rasanya seperti pendatang baru di tempat ini. Bagitu banyak perubahan terjadi hingga  tak bisa mengingatnya lagi. Meskipun penasaran dengan alamat baru yang tertulis di surat. Aku  tetap menyempatkan diri untuk pergi dulu ke alamat rumah yang lama.
“Ojeknya Dek… mau pergi kemana,” Tawar salah satu tukang ojek di terminal Belitang.
“Ke Desa Karangsari Pak..”
Sejurus kemudian aku meluncur dengan tukang ojek menuju tempat  bermainku dulu bersama teman-teman SD. Namun betapa kagetnya, karena rumah tempat tinggal dulu telah lenyap. Pemandangan yang sekarang terlihat hanyalah proyek penambangan batu bara.
“Proyek ini sejak kapan Pak?” Tanyaku penasaran kepada tukang ojek.
“Lah.. memangnya  adek ini orang mana? Proyek ini kan sudah mulai dibangun beberapa tahun yang lalu, masa nggak tau.”
“Ya sudah Pak, kita putar balik aja ke desa Nusa Tunggal. Bisa kan?”
“Wah….  jauh banget Dek. Ongkosnya tambah ya..”
“Iya Pak, insyallah  saya tambahin ongkosnya”
Otakku terus memutar ingatan yang telah berlalu. Apakah ini penyebab suratku tak pernah dibalas oleh ayah….  ah, aku benar-benar cemas.
Karena belum tahu rumah yang baru, aku minta diturunkan di depan rumah Pak RT. Setelah membayar tukang ojek. Segera saja kuketuk rumah Pak RT.
“Assalamualaikum….Pak RT”
“Waalaikum salam…..” Pintu rumah segera dibuka. Muncul laki-laki paruh baya,  yang sepertinya inilah Pak RT.
“Maaf, adek ini siapa ya…?” Tanya pak RT  yang belum mengenaliku.
“Saya keluarga Pak salman. Mau nanya  rumahnya di mana ya Pak?”
“Oooo….  Pak Salman yang baru dua minggu lalu meninggal itu toh? Pertanyaan Pak RT tiba-tiba menyesakkan dadaku. Ini tidak mungkin. Ayahku pasti masih hidup.
“Memangnya Pak Salman yang lain nggak ada Pak.” Tanyaku memastikan jawaban Pak RT, tak percaya jika ayah telah meninggal.
“Nggak ada Dek. Kalau  adek masih bingung mendingan tak antar ke rumahnya saja. Siapa tahu adek kenal sama istrinya.” Ajak Pak RT
Langkahku mengikuti Pak RT begitu terasa berat. Kucoba menghibur dan menenangkan hati bahwa ayah pasti masih hidup. Setelah berjalan beberapa menit, Pak RT segera mengetuk pintu rumah petak sederhana  yang terlihat sama dengan rumah lain di sampingnya.
“Assalamualaikum  Bu…. ini ada tamu.” Suara Pak RT mencoba memanggil Penghuni rumah.
Hatiku sangat gusar. Belum bisa membayangkan sosok seperti apakah yang akan muncul di balik pintu. Aku berharap Pak RT salah, ini pasti bukan rumah ayah.
“Waalaikum salam…”  Terdengar suara serak-serak basah dari seorang wanita, yang sepertinya telah aku dengarkan sebelumnya. Ya Allah…… darahku berdesir, bergerak cepat menerobos nadi-nadi  kecil yang mengurat di sekujur tubuh. Berdesir semakin ke atas membuat ubun-ubun menghangat. Apakah dia benar-benar ibuku…..
Sosok wanita yang  mengenakan daster pajang dan kerudung besar, berdiri di depan pintu itu ternyata adalah ibu kandungku. Bibirnya terlihat mendesiskan sesuatu yang tak begitu jelas terdengar. Segera kuhamburkan tubuh ini ke pelukannya. Kukecup keningnya yang sudah mulai berkeriput termakan usia. Tangannya begitu erat memeluk tubuhku. Sepertinya ibu telah lama  menanti kepulangan putranya.
“Ibu kangen sama kamu Nak…. maafin ibu ya…..” Suara ibu serak tersendat-sendat karena tak kuasa menahan tangis.
“Nggak Bu…. Irfanlah yang salah. Maafin  Irfan”  Dengan sesenggukan mencoba membalas perkataan ibu.
Entah berapa lama kita berpelukan, hingga akhirnya ibu mengajak untuk masuk ke rumah, sementara  Pak RT  yang terlihat bengong, segera bergegas  izin untuk pulang. Setelah suasana agak mencair, aku beranikan diri  untuk menanyakan kabar ayah. Namun ibu tak langsung menjawabnya, dan justru pergi  masuk  ke kamar. Aku bingung,  apa yang sebenarnya terjadi. Tak lama kemudian ia keluar dengan membawa secarik kertas yang terlipat  rapih.
“Irfan……  ayah sudah  meninggal dunia dua minggu yang lalu.” Suara ibu datar.
Ruh dalam tubuhku rasanya mau terbang.  Badan pun lunglai, bersimpuh  di pangkuan ibu. Menangis sejadi-jadinya. Daster yang dikenakan ibu pun mulai basah dengan tumpahan air mata.
“Ayahmu sudah menceritakan semua kepada ibu tetang pertemuannya dengamu di pesantren. Ayah menitipkan pesan maaf buat kamu. Sebenarnya ayah pengen menjelaskan alasannya  tak segera menjengukmu ketika di pesantren. Tapi kamu lebih dulu lari meninggalkannya.” Suara ibu mulai terbata-bata, sepertinya ia menahan perih di hati.
“Dulu ayah tidak bisa mengantarkan ke pesantren karena ada beberapa urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan. Akhirnya ia menitipkanmu kepada paman untuk mencarikan pesantren yang cocok di daerah Jawa. Ayah dan ibu  juga belum tau di pesantren mana kamu akan menimba ilmu. Kita menunggu kedatangan paman kembali ke rumah untuk mendapatkan  kabar keberadaanmu. Tapi malang nasib pamanmu. Ketika hendak keluar dari pelabuhan Bakauheni, ia tertabrak mobil, yang menyebabkannya meninggal saat itu juga. Pamanmu diantar ke rumah dalam keadaan sudah meninggal dunia. Ibu dan ayah bingung hendak mencarimu di mana. Mau mengirim surat pun tak tau hendak dikirim kemana.” Sejenak ibu menarik nafas dalam.
Aku mulai dapat menahan tangis. Mencoba mendengarkan cerita ibu dengan seksama.
“Mengenai surat yang kamu kirim. Bukannya ayah tak mau membalasnya, tapi karena surat itu tak pernah sampai  kepada ayah. Ya… mungkin karena  alamat rumah  kita sudah pindah, akhirnya  tukang pos tidak bisa menghantarkannya. Rumah kita digusur  seminggu  setelah kepergianmu. Kata pemerintah, di lahan tersebut  banyak hasil bumi. Kita dipindahkan di desa ini bersama para tetangga yang bernasib sama dengan ayah dan ibu.”
Sambil mengumpulkan tenaga dan menyeka  air mata. Ibu mengelus-elus kepala dan rambutku. Sentuhan hangat yang sangat kurindukan.
“Satu hal yang perlu kamu tahu Nak. Setelah berminggu-minggu kebingungan tidak tau keberadaanmu, ayah memutuskan untuk mencarimu keseluruh pesantren di Pulau Jawa. Ia menyisir mulai dari kota Banten, Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah tempat terakhir perjumpaannya danganmu. Setiap tiga bulan kerja di rumah, ia akan sempatkan waktu dua minggu untuk mencarimu di pelosok-pelosok Pulau Jawa. Aktivitas itu terus  dilakoninya selama bertahun-tahun sembari berdo’a kepada Allah, hingga akhirnya Allah telah kabulkan do’a ayahmu. Ia begitu gembira ketika telah menemukanmu Nak. Setelah pulang dari pertemuannya denganmu, ayah selalu cerita kalau kamu sudah jadi orang hebat. Lebih tampan dan telah menjadi orang yang selalu dicita-citakan ayahmu, yaitu menjadi seorang ustadz.”
Hatiku sangat-sangat terpukul. Teringat perjumpaan terakhir dengan ayah di kantor pesantren. Kukatakan sesuatu yang akhirnya menimbulkan penyesalan yang tidak akan pernah bisa terobati selama hidupku. Ya Allah…..alangkah durhakanya hambaMu ini. Telah tega meningalkan dan menyakiti ayah kandung sendiri, yang telah banting tulang hanya untuk menemukan anaknya. Kupeluk ibu erat-erat dan menangis dengan air mata yang mulai mengering karena telah banyak tertumpahkan. Kata maaf kepada ibu yang hanya bisa aku sampaikan.
“Setelah perjalanan terakhirnya, tak berapa lama ayah jatuh sakit. Kerjaannya hanya melamun dan sesekali meneteskan air mata. Satu hari sebelum wafat, ia masih sempat untuk menulis dua lembar surat. Satu kertas untuk dikirimkan ke pesantren tempatmu tinggal, dan satu lagi ia berharap bisa ibu berikan ketika kamu sudah pulang.”
Ibu menghentikan ceritanya sambil mengeluarkan surat yang dipesankan ayah. Aku masih terus menangis meski tak ada lagi sisa air mata yang dapat dikeluarkan.
Assalamualaikum….
Irfan anakku…., maafkanlah ayah Nak. Ayah belum bisa membahagiakanmu. Ayah belum bisa mengirimkan uang untuk keperluan sehari-hari di pesantren. Ayah memang orang tua yang tidak bertanggung jawab. Tapi ayah sekarang sudah tenang, karena do’a untuk mempunyai anak sholeh telah Allah kabulkan. Ayah benar-benar bangga ketika melihatmu mengajarkan ilmu  agama kepada santri-santri. Irfan…. jagalah ibumu baik-baik. Jangan buat dia kesepian. Walaupun ayah belum bisa memelukmu di dunia, tapi ayah selalu berharap kamu mau menerima dan memeluk ayah di istana surga yang telah Allah siapkan untukmu.
Maafkanlah ayah..
Ayahanda Salman
Ya Allah, rasanya aku benar-benar tak lagi mampu menjalani  skenario kehidupan yang telah Engkau tetapkan.  Aku ingin segera menyusul ayah, bersujud bersimpuh mencium kakinya untuk meminta maaf atas segala dosa yang telah kuperbuat padanya. Pelukan erat dari seorang ibu dengan penuh kasih sayanglah yang  sedikit mampu menenangkan hati yang telah hancur ini.
“Maafkan Irfan Bu……. Irfan anak yang durhaka kepada orangtua…..” tersendat-sendat suaraku memelas bersimpuh di pangkuan ibu.
“Tidak ada yang salah Nak… semua terjadi atas kehendak Allah. Semua pasti ada hikmahnya. Kemenangan dan kemuliaan memanglah harus diawali dengan adanya pengorbanan. Berdo’alah kepada Allah, agar tangis  derian air mata yang telah mengering ini, Allah balas dengan kebahagiaan yang selama-lamanya di surgaNya Allah SWT.”
                            Tamat

Antologi Cerpen Islami InspiratifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang