Al-Buyuki, suatu daerah di Palestina.
Sudah bertahun-tahun lamanya, hampir seluruh daerah dan perkotaan di Palestina mengalami padam listrik. Puing-puing bangunan yang hancur porak poranda karena ledakan bom, masih terlihat seperti bebatuan besar yang berserakan. Beberapa rumah yang tersisa, hanya diterangi dengan lampu lilin kecil.
Para penduduk sudah sudah tak lagi bisa merasakan tidur nyenyak di malam hari, karena teringat dengan para iblis Israel yang sewaktu-waktu bisa datang, menyerang dan menjarah seluruh harta mereka.
Malam demi malam yang berganti, hanya dipenuhi dengan mimpi buruk. Ratusan ribu wanita telah menjadi janda dan jutaan anak menjadi yatim karena ulah tangan kotor para tentara Israel yang durjana. Kini, mereka hanya bisa berdoa dan mengharap uluran tangan para kesatria Islam, termasuk dari bumi pertiwi Indonesia, dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia.
# # #
Pukul 08.00 Al-Buyuki, Palestina.
Tumpukan puing-puing bangunan yang runtuh berserakan, menyambut kedatangan lima pemuda Indonesia yang sedang memotret mengambil gambar dan mengumpulkan berita. Mereka adalah tiga wartawan dari media cetak dan dua jurnalis pesantren di daerah Jawa Timur. Kedutaan besar Indonesia sengaja memanggil kelima pemuda ini untuk mengekspos kinerja para sukarelawan yang datang dari Indonesia dua bulan yang lalu.
“Sebaiknya kita cepat tanya dan gali informasi dari penduduk sekitar untuk mendapatkan berita yang akurat.” Usul Samsul, si jurnalis pesantren dengan buku kecil dan alat perekam di sakunya.
“Setuju, sekalian kita ajak mereka foto bareng...” Sahut Dimas, wartawan dari media cetak.
70% rumah di kawasan Al-Buyuki telah mengalami kerusakan parah, bahkan kebanyakan runtuh rata dengan tanah. Para penghuninya terpaksa tinggal di kamp-kamp penampungan yang disediakan pemerintah setempat. Sementara yang rumahnya masih selamat, tetap mempertahankan diri di kampung masing-masing.
Meski tersisa beberapa rumah. Mencari lelaki dewasa di daerah ini tetaplah sulit. Hampir seluruhnya telah syahid dalam medan pertempuran mempertahankan tanah kelahirannya. Bahkan ada yang ditangkap dan diseret secara paksa oleh tentara Israel tanpa alasan yang jelas.
Yang saat ini terlihat hanyalah beberapa anak kecil yang sedang bermain di antara tumpukan puing batu bata bersama seorang perempuan tua. Pakaian mereka begitu kumal. Entah apa yang mereka mainkan, tapi tetap saja bocah-bocah malang itu terlihat asyik tertawa riang. Dimas dan kedua temannya secara diam-diam mengabadikan moment tersebut.
“ Kita langsung tanya saja sama ibu itu. Mungkin dia bisa cerita tentang sukarelawan Indonesia.” Ajak Riki, teman Dimas.
“Baiklah, ayo mendekat..” sahut Samsul.
Di daerah pedesaan, bahasa yang mereka gunakan justru bahasa Arab fusha. Tentu saja ini semakin mempermudah pergerakan Samsul dan Taufik yang nota-benenya santri, untuk mengumpulkan banyak informasi. Sebenarnya mereka juga telah mempelajari dialek amiyah untuk bercengkerama dengan masyarakat yang tidak bisa fusha.
“Afwan ibu. Apakah engkau tau tentang 12 orang sukarelawan yang datang dari Indonesia?” tanya Samsul ramah.
Kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan. Wanita tua itu justru terlihat marah mendengar pertanyaan Samsul. Ia kemudian berpaling sambil mengajak ke empat anak kecil yang sedang bermain untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk dan menutup pintu dengan keras, ia masih sempat mengeluarkan kata-kata yang membuat kelima pemuda Indonesia itu tercengang heran.
“Laknat Allah untuk Indonesia..! Demi Allah, terlaknatlah kalian orang-orang Indonesia..!”
Belum sempat Dimas bertanya kepada Samsul tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba pintu rumah kembali dibuka. Namun bukan ibu tadi yang keluar. Saat ini, yang terlihat berdiri di depan pintu adalah seorang wanita bercadar dengan tatapan mata berkaca-kaca. Entah marah atau sedih, tapi ia mengepalkan telapak tangannya.
“Apaka kalian para pengecut yang datang dari Indonesia?!! Apakah kalian ingin tertawa melihat kami menderita?!”
Wanita itu teriak sangat keras. Bahkan air mata tampak meleleh membasahi cadar hitamnya.
“Terdengar dari suaranya. Dia masih muda Sul..” Bisik Taufik.
“Afwan ya ukhty, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa engkau memarahi kami?” Tanya Samsul mengangkat kedua tangan meminta keterangan.
“Pergilah kalian sebagai pengecut dan jangan pernah injakkan kaki di tanah suci kami. Wallahi...., ana ghadbanun alaika..!!”
Setelah kata-kata itu, tampaklah seorang pemuda berumur 25-an tahun, memegang pundak dan mengusap lembut kepala wanita bercadar yang masih berdiri penuh amarah. Setelah itu menatap Samsul dan ke empat temannya.
“Dia adik perempuanku. Apa yang kalian inginkan di tempat ini? Kami sudah terlalu benci dengan orang Indonesia!” Ucap pemuda itu.
“Baiklah afwan,” sahut Samsul menenangkan “tapi apa alasannya kalian begitu membenci kami? Bukankah kedatangan orang Indonesia ke tanah Palestina adalah untuk memberikan bantuan?”
“Tolong jelaskan sebentar kepada kami....” Timpal Taufik mendekat di sisi Samsul.
Mendengar ucapan Samsul dan Taufik yang tulus. Pemuda itu akhirnya lebih tenang dan bersabar. Kemudian memerintahkan adik perempuannya untuk masuk menutup pintu rumah dari luar dan beranjak mendekati Samsul, Taufik juga yang lainnya.
“Apakah kalian termasuk orang Indonesia yang datang 2 bulan yang lalu?” Tanya pemuda Palestina itu, menatap tajam ke arah Samsul.
“Bukan, kami bukan termasuk kelompok mereka. Kami hanya penulis dan wartawan yang ditugaskan untuk meliput hasil kerja para sukarelawan Indonesia di Palestina.” Jelas Samsul berterus terang.
Sejenak pemuda Palestina itu menunduk. Menggelengkan kepala kemudian tersenyum sinis.
“Haha...! Kalian tidak perlu meliput para sukarelawan itu. bangsa lain pasti malu jika mendengarnya. Mereka hanyalah para pengecut yang rela melihat saudaranya menderita.!!” Ucap si pemuda bernada tinggi.
“Afwan ya akhi, antum jangan marah-marah dulu....,!” sahut Taufik terpancing emosi “jelaskan dulu kepada kami apa yang sebenarnya terjadi...”
Yang diajak bicara hanya menarik nafas panjang, mendengus kesal. Kemudian bergerak menuju tumpukan puing bangunan yang runtuh.
“Duduklah, maaf rumahku tidak cukup untuk menampung kalian. Aku akan ceritakan semuanya dari awal, agar kalian tau betapa memalukannya para sukarelawan itu dan betapa kecewanya kami terhadap mereka..”
Setelah Samsul dan ke empat temannya ikut duduk di tumpukan puing. Pemuda Palestina itu memulai ceritanya dengan menarik nafas panjang.
“Kejadian itu terjadi di malam hari, saat aku pergi ke pusat kota untuk meminta obat-obatan dan pakaian. Sekembalinya di pagi hari, tiba-tiba isi rumah sudah dalam keadaan hancur berantakan. Perabotan dapur tercecer rusak. Emosiku mulai memuncak karena yakin semua ini pasti ulah para iblis Israel yang durjana. Tidak ada satu pun orang di ruang tamu. Hanya terdengar suara tangis dari dalam kamar. Aku bergegas masuk dan saat itulah terlihat ibu yang sedang menangis terisak memeluk kelima adikku dengan keadaan yang memprihatinkan. Mata sebelah kanannya berwarna biru kehitaman dan bengkak. Sedangkan bibirnya pecah menyisakan darah kering. Luka itu diterima ibu saat hendak membela ayah yang diseret dan dipukul habis-habisan oleh 4 tentara Israel. Wajah dan badan ibu ikut menjadi sasaran pukulan dan tendangan tanpa sedikit pun rasa kasihan....”
Pemuda Palestina itu sejenak menghentikan ceritanya. Ia menangis terisak. Nafasnya kembang kempis naik turun. Sementara Samsul dan ke empat temannya tidak ada yang menyela. Mereka turut larut dalam kesedihan dan benci terhadap 4 tentara Israel yang sama sekali tidak berperikemanusiaan.
“Ayahku dituduh sebagai tentara hamas dan menyimpan persenjataan di rumah. Walaupun semua itu tidak terbukti, tetap saja mereka memporak-porandakan isi rumah kami. Ayah dipukuli hingga tak berdaya, setelah itu diseret masuk ke dalam mobil tahanan.”
“Apakah tidak ada tetangga yang datang membantu?” Taufik menyela.
“Kebanyakan penduduk yang tersisa di sini hanyalah wanitadan anak-anak yang tidak memiliki senjata apapun. Mereka akan memilih untuk sembunyi dan menyelamatkan diri, saat mengetahui ada tentara Israel yang menjarah di sekitarnya.”
“Baiklah akhi, tolong lanjutkan ceritamu. Aku masih belum menemukan titik permasalahan, kenapa kalian begitu membenci orang Indonesia..?” Ungkap Samsul antusias.
Pemuda Palestina itu menatap Samsul hingga beberapa saat, seperti hendak mengungkapkan sesuatu yang besar.
“Saat ayah dipukuli. Hilmya munawarah, adik perempuanku bergegas pergi ke kampung sebelah untuk meminta bantuan. Kami semua tahu bahwa ada sukarelawan dari Indonesia yang sering membagikan makanan dan pakaian. Tapi alangkah sedih dan kecewanya adikku, saat meminta bantuan, tidak ada satu pun orang yang mau beranjak untuk memberikan pertolongan. Mereka mengutarakan banyak alasan. Rengekan dan tangisan Hilmya sama sekali tidak mendorong hati para sukarelawan itu untuk ikut menyertai. Sangat menyedihkan.....!”
Sekali lagi, pemuda itu menghentikan ceritanya. Kemudian menatap satu per satu wajah orang Indonesia yang ada di hadapannya dengan pandangan kecewa.
“Camkan wahai orang Indonesia. Aku memang membenci iblis Israel semenjak terlahir di dunia. dan aku pun telah membenci orang Indonesia sejak malam itu. saat teman-teman kalian tidak peduli dengan penderitaan kami..!!” Ungkap si pemuda penuh amarah, mengangkat telunjuk tangannya.
“Tapi, tapi, saya rasa alasan mereka juga kuat,” ketus Taufik menyangkal “para sukarelawan itu bukan tentara yang punya senjata. Mereka hanyalah perawat yang bertugas menangani korban luka dan memberikan obat...’
“Itu bukan alasan yang bisa diterima akal...,!” bentak si pemuda kembali emosi “mereka semua laki-laki, tidak cacat dan jumlahnya pun banyak. Kalau pun tidak punya mental untuk melawan iblis Israel, setidaknya para pengecut itu mengumpulkan banyak orang untuk ikut membantu...!”
Samsul yang melihat suasana tidak membaik, segara mendinginkan Taufik agar tidak lagi berucap. Ia khawatir jika diteruskan,maka pemuda Palestina itu akan semakin bertambah kebenciannya.
“Bukankah kalian sudah mendengar, tentang gadis Eropa. Dia seorang reporter yang rela tubuhnya dilindas mesin berat hingga hancur, untuk membela satu rumah yang masih ada penghuninya. Tidakkah kalian malu dengan keberanian seorang perempuan?!!” tambah pemuda itu merasa kurang puas.
Samsul segera beranjak, berdiri dan mendekat, “saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas ketidakberdayaan teman-teman Indonesia untuk membantu keluargamu. Dan kami turut berduka cita atas apa yang menimpa ayahmu. Tapi aku berjanji, suatu saat pasti akan dapat membantu. Bahkan aku rela berkorban nyawa asalkan keluargamu memaafkan kami orang Indonesia...”
Pemuda Palestina itu menanggapi dengan senyum menyeringai. Kemudian menepuk pundak Samsul, “Aku akan tunggu pembuktian dari ucapanmu wahai orang Indonesia. Semoga saja tidak hanya sekedar janji dusta...”
“Baiklah, tunggu saja. Oiya, sebelum pergi perkenalkan namaku Samsul arifin...”
“Iya, saya Ja’far bin Abdullah....”
“Assalamualaikum.....”
“Waalaikum salam....”
pagi hari yang terasa gersang dan panas, begitu menyesakkan hati Samsul dan ke empat temannya. Sebelumnya, mereka berangan-angan akan meliput keberanian para sukarelawan Indonesia yang membela tanah air Palestina. Namun, semuanya telah berbalik seutuhnya.
“Kita mau ke mana Sul...” tanya Dimas, membuntut di belakang.
“Kembali ke gedung kedutaan. Pikiranku lagi kacau...” Jawabnya lemas.
# # #
22.00. Gedung kedutaan
Suara lantunan merdu surat al-waqiah masih terus terdengar dari bibir Samsul. Ia membaca dua kali setiap malam sebagai amalan istiqomah. Hingga kedatangan Taufik yang tampak cemas pun membuyarkan bacaannya.
“Ada kabar baru Sul, penting banget....”
“Tenang dulu, ada kabar apa?”
“Pemukiman Al-Buyuki kembali diserang. Para tentara Israel itu bahkan membawa tank baja...”
“Benar-benar biadab...,” Ungkap Samsul mengepalkan kedua tangan “Kalau begitu aku akan segara ke sana...”
“Jangan Sul, mau ngapain?! Sekarang sedang puncaknya. Kita bisa mati konyol tertambak...” Ucap Taufik cemas, mencegah.
“Aku sudah janji pada Ja’far untuk datang membantu. Lebih baik mati syahid dari pada hidup dalam keingkaran janji dan dibenci oleh penduduk Palestina...”
Setelah kata terakhir. Samsul segera beranjak pergi. Ia meminjam motor dari salah satu staf di gedung kedutaan. Keberanian telah meliputi dirinya meski tidak membawa satu pun senjata.
“Tunggu sul. Aku ikut....” Teriak Taufik berlari mendekat membawa 2 kamera.
“Ayo...., cepat sebelum terlambat..” Sahut Samsul, bersiap tancap gas.
“Ini, gantungkan di lehermu...” Ucap Taufik memberikan kamera “aku meminjamnya dari Dimas dan Riki. Sesuai dengan hukum dunia bahwa reporter ataupun wartawan tidak boleh diserang. Insyallah kita akan aman..”
Tanpa menunggu lagi, motor trail yang di kendarai Samsul segera melesat kencang.... wush..
# # #
Dua kilo sebelum sampai di lokasi. Suara tembakan dari senjata berkaliber tinggi sudah mulai terdengar. Artileri baja menderu memekakkan telinga. Jantung Samsul mulai berdetak kencang. Ia memikirkan langkah apa yang akan diperbuat. Karena ini adalah pengalaman pertama dan jelas berbahaya bagi keselamatannya dan Taufik.
“Pelan-pelan Sul..., sepertinya di depan ada tentara Israel yang berjaga..” Ketus Taufik mengingatkan.
Dari kejauhan mulai tampak beberapa tentara yang berdiri menenteng senjata sambil mondar-mandir di antara dua bangunan di sisi kiri dan kanan jalan. Melihat ada sorot lampu yang datang, 4 orang segera bersiaga menghalang di tengah.
“Banyak do’a Sul..., mereka semua bersenjata. Sekali dor, bisa langsung ke akhirat...!” Bisik Taufik
Setelah motor yang dikendarai Samsul mulai mendekat. Salah seorang teriak memerintahkan untuk berhenti, dan berisyarat untuk turun dari motor. Kemudian salah seorang tentara lain ikut mendekat dan mengajak bicara menggunakan bahasa Israel. Samsul dan Taufik yang tidak paham, meminta mereka untuk berbicara dengan bahasa Arab. Akhirnya seorang tentara yang paling tua. Datang mendekat.
“Man anta, wa madza turid?”
“Ana murasilun min Indonesi. Aku ingin membuat tulisan mengenai keadaan yang ada di pemukiman Al-Buyuki.” Jawab Samsul mencoba memberi alasan.
“Malam ini tidak boleh ada seorang pun yang masuk. Kalian boleh datang kembali besok pagi.” Ungkap tentara tua itu, menatap sinis.
“Kenapa tidak boleh, bukankah setiap reporter bebas mengekspos kejadian apapun yang ada di dunia?” Ketus Taufik.
“Itu peraturan lama dan sekarang sudah tidak berlaku. Sudahlah, sebaiknya kalian pergi. Jangan paksa kami untuk bertindak kasar...!” Sahut tentara tua, terpancing emosi.
Taufik menggeleng kesal mendengar ucapan penjaga. Sedangkan Samsul sedang sibuk mencari cara untuk masuk dengan aman.
Ssuut.....! Akkrrhh.....!!
Penjaga tua yang tadi menginterogasi, tiba-tiba jatuh terjengkang ke belakang dengan kepala bersimbah darah.
“Sembunyi......! Tiarap...! Ada sniper.....” Teriak salah seorang tentara Israel yang berada di belakang.
Tak sampai lima detik dari tembakan pertama. Tiga orang berikutnya sudah menyusul terjengkang jatuh terkena sasaran para sniper yang belum diketahui arahnya. Sontak saja belasan tentara Israel yang tersisa itu, panik tunggang langgang.
“Cepat tiarap Sul.....! Kita bisa mati tertembak...” Ajak Taufik ketakutan karena belum terbiasa dengan suasana perang.
“Para sniper itu pasti tentara Palestina. Kita angkat kamera ke atas, agar mereka tau kalau kita hanya seorang reporter...” Sahut Samsul.
Kedua santri Indonesia itu bergegas tiarap di dekat motor dan sengaja mengangkat kamera masing-masing agar bisa diketahui para penembak bahwa mereka hanyalah reporter. Sedangkan tentara Israel, satu per satu telah tumbang terkena tembakan.
“Sepertinya kau tahu, posisi sniper mereka berada pada arah jam 12 di dalam bangunan bertingkat kiri jalan.” Ucap seseorang tentara yang sedang tiarap di belakang puing bangunan.
Tanpa ada yang mengomando. Salah seorang tentara Israel yang lainnya mempersiapkan senjata basoka. Misil yang memiliki daya ledak tinggi pun sudah terpasang. Ia mengendap, mencari celah di antara puing-puing agar tidak terkena tembakan sniper. Sementara itu, Taufik dan Samsul masih tiarap pada posisi semula. Mulut mereka berdua pun tak henti-hentinya melantunkan doa.
Senjata basoka sudah ditembakkan, dan tak lebih dari tiga detik berikutnya. Bangunan berjarak 200 meter yang diduga sebagai tempat persembunyian sniper itu pun sudah hancur berkeping-keping. Menyisakan puing besar dan kepulan asap yang membumbung tinggi menutup jalan.
“Innalillahi.... sepertinya tentara Palestina itu sudah ke akhirat Sul...” Ketus Taufik setelah melihat tak ada yang merespons dari kubu pejuang Palestina.
“Belum..., mereka masih masih ada...” sahut Samsul optimis, setelah mendengar suara mobil yang bergerak dari balik kepulan asap.
Benar saja, dua mobil jeep anti peluru terlihat ganas menyibak kepulan asap dan debu yang masih menutup jalan. Dengan atap mobil yang bisa terbuka. Empat tentara Palestina sudah berdiri dan menghujani kubu Israel dengan ratusan peluru.
Melihat hal itu, Taufik mengajak Samsul untuk merangkak menjauh. Karena takut ada peluru yang nyasar ke arah mereka. Baru dua meter bergerak, dua pejuang Palestina mengeluarkan basoka dan menembakkan secara bersamaan ke arah bangunan yang berada di kiri dan kanan jalan tempat persembunyian iblis Israel.
“Lari Sul.... ada ledakan....!” teriak Taufik.
Dummb...!!
Daya ledakan itu membuat tubuh Taufik dan Samsul terjungkal. Dada mereka sesak menghantam tanah. Kepulan asap bercampur debu membumbung tinggi. Tak ada lagi tentara Israel yang mampu bergerak apalagi menyerang. Dua jeep Palestina itu terus bergerak maju mendekat. Kemudian berhenti di dekat Samsul dan Taufik yang mencoba berdiri menahan sakit.
“Siapa kalian? Ada kepentingan apa di sini?” Tanya salah seorang pejuang dari dalam mobil.
Belum sempat Taufik berkata-kata mengaku sebagai reporter. Samsul terlebih dahulu menjawab tegas.
“Kami sukarelawan dari Indonesia. Kami ke Al-Buyuki untuk ikut melawan tentara Israel.”
“Baiklah, ayo berangkat. Tapi kalian pakai motor saja, mobil kami sudah penuh.” Ucap salah seorang pejuang.
“Tidak masalah...” Sahut Samsul.
Saat Samsul mengambil motor, tiba-tiba Taufik mendekati mobil para pejuang Palestina.
“Maaf kami tidak sempat membawa senjata. Bisakah kalian memberi sesuatu...?” Ucap Taufik.
Dari dalam mobil, seorang tentara mengeluarkan senjata berkaliber dan 2 granat.
“Tembak dan ledakkan tentara Israel dengan gagah berani...” Ungkap seorang tentara menyemangati.
Para mujahid itu segera meluncur menuju Al-Buyuki, meninggalkan belasan tentara Israel yang mati bergelimpangan di pos penjagaan. Tak butuh waktu lama, sepuluh menit kemudian telah sampai dipemukiman. Namun, sepertinya mereka terlambat. Hampir tidak ada lagi bangunan yang berdiri tegak. Hampir semuanya telah rata dengan tanah. Debu dan asap dari rumah yang terbakar telah menjadi satu dalam kegelapan malam. Beberapa anak terlihat menangis dalam pelukan ibu mereka.
“Sepertinya mereka telah pergi jauh, tak ada gunanya mengejar. Sebaiknya kita tetap berjaga di sini dan membawa para korban ke kamp penampungan.” Ucap seorang pejuang Palestina berjenggot tebal.
Belasan tentara Palestina segera menyebar, mencari para korban selamat yang kebanyakan adalah anak-anak dan wanita tua. Sedangkan Samsul dan Taufik masih bergerak meluncur dengan sepeda motor menuju rumah Ja’far yang berjarak kurang lebih 100 meter dari tempat mereka berhenti.
“Samsul..... Samsul..... tolong aku...” Teriak seseorang dari balik reruntuhan bangunan.
Samsul yang kaget, segera menghentikan motor. Ternyata yang datang adalah Ja’far bin Abdullah. Pemuda yang tadi pagi berbincang dengannya.
“Hai Ja’far. Bagaimana keadaanmu? Dan di mana ibu juga adik-adikmu?” Tanya Samsul memastikan.
“Aku berhasil lolos dari serangan. Ibu dan adik-adikku juga selamat, mereka ada di lorong bawah tanah. Tapi Hilmya, adik perempuanku itu ditangkap oleh tentara Israel. Tolong bantu aku mengejarnya...” Ungkap Ja’far ngos-ngosan mengatur nafas.
“Ya sudah, ayo naik di belakangku. Tunjukkan di mana mereka pergi...” Sahut Taufik.
Motor trail itu cukup tangguh untuk mereka bertiga. Dengan lincah Samsul mengendarai sepeda motornya meliuk-liuk di antara reruntuhan bangunan, mengikuti petunjuk Ja’far.
“Cepat Sul.... aku yakin mereka belum jauh.” Ucap Ja’far cemas.
Sepanjang perjalanan yang terlihat hanyalah kepulan asap dan puing bangunan. Rasa sedih dan benci semakin melekat kuat di hati Samsul. Ia semakin yakin akan berjuang mati-matian demi Palestina.
“Itu Sul..., rombongan mereka.” Ungkap Ja’far menunjuk ke arah jalan.
Jarak 100 meter, terlihat satu mobil box besar yang digunakan untuk mengangkut tawanan. Di depannya ada 1 mobil jeep dan garda depan tank baja meluncur cepat.
“Aku ada ide...” Ketus Taufik
“Benarkah...? Sejak kapan kau jadi semangat dan pintar seperti ini..?” Tanya Samsul meyakinkan.
“Sudahlah Sul, jangan pandang remeh. Aku sering membaca kisah para sahabat Nabi yang lincah, hebat dan pemberani saat menunggang kuda.”
“Lantas apa rencanamu..?”
“Aku akan menembak roda depan dan belakang bagian kiri mobil box hingga berguling jatuh. Setelah itu aku akan melemparkan granat ke arah jeep yang di depan. Sedangkan kau dan Ja’far cepatlah bergerak untuk menyelamatkan Hilmya.”
Jarak mereka dengan rombongan Israel semakin dekat. Samsul menambah kecepatan motornya. Setelah mempertimbangkan waktu yang tepat. Taufik berdiri di atas motor. Mempersiapkan senjata dengan kedua tangannya.
“Hai Ja’far,tolong pegang kedua kakiku agar tetap seimbang...” Pinta Taufik.
Samsul mencoba mengendalikan motornya setenang mungkin agar Taufik tidak kehilangan keseimbangan. Mereka bertiga membuntut di belakang bagian kiri mobil box.
“Allahu akbar.....” Teriak Taufik.
Belasan peluru pun sudah mulai melesat ke arah roda depan. Ban mobil box itu pun meletus seketika. Tapi mobil masih bisa melaju meski pelan. Menyadari hal itu, seorang tentara Israel membuka pintu dan mencoba menyerang. Dengan sigap Taufik menembak duluan hingga melukai tangan musuhnya. Tentara Israel itu pun mengerang kesakitan dan senjatanya terlepas jatuh.
“Cepat tembak roda belakangnya...” Perintah Samsul tetap mempertahankan posisi motor.
Taufik kembali menyeimbangkan badan. Beberapa peluru pun sudah kembali dilesatkan hingga ban belakang juga meletus. Spontan saja posisi mobil tak seimbang terhuyung ke kiri dan pada akhirnya jatuh tersungkur di pematang jalan. Samsul yang tadi membuntut di belakang, segara membelokkan motornya ke kanan untuk menghindari tabrakan. Taufik yang baru hendak duduk, hampir saja terhempas jatuh.
“Gila kau Sul, hampir saja badanku terlempar...!!” Umpatnya kesal.
Samsul menghentikan motor. Sesuai dengan rencana, ia dan Ja’far bergegas menuju pintu box belakang. Memang terkunci, tapi dengan beberapa kali tembakan, pintu itu pun berhasil terbuka. Sedangkan Taufik, dia berlari ke depan bersiap melemparkan granat saat ada penyerangan dari jeep dan tank yang ada di depannya.
Benar saja, tentara Israel yang menyadari mobil box-nya telah dilumpuhkan, akhirnya bergegas turun untuk memberikan perlawanan.
“Matilah kalian wahai iblis durjana...!!” Teriak Taufik sambil melemparkan granat.
Dummmb...!! Ledakan itu berhasil membuat para tentara Israel mundur. Kepulan asap dan debu pun menutup jalan. Di saat yang lain, Samsul dan Ja’far berhasil mengeluarkan Hilmya dari dalam mobil. Gadis Palestina itu memegangi pundak kirinya yang sakit karena terpental saat mobil jatuh berguling.
“Ayo cepat pergi. Kita kalah jumlah dan senjata dengan mereka...” Teriak Ja’far ke arah Taufik.
Yang di panggil bergegas lari mundur. Masih ada satu granat lagi yang ada di tangannya. Samsul meminta Ja’far untuk membonceng Hilmya dengan motor.
“Bagaimana dengan kalian berdua?” Tanya Ja’far memandang iba ke arah Samsul.
“Kami laki-laki dan masih kuat untuk lari. Selamatkan dulu adikmu. Kami akan menyusul di belakang.
Menyadari tidak ada waktu. Akhirnya Ja’far segera membonceng Hilmya meluncur duluan. Sedangkan Samsul dan Taufik mundur perlahan sambil sesekali memberikan tambakan. Namun, tanpa diduga, dari balik kepulan asap dan gelapnya malam. Tampaklah moncong meriam tank baja melaju cepat.
“Lari Sul, meriam itu sudah siap menembak...!” teriak Taufik.
“Lemparkan dulu granatmu ke arah mobil box...” Sahut Samsul.
Dengan perasaan takut melihat moncong meriam tank. Taufik berlari kencang melemparkan granat dengan sekuat tenaga ke arah mobil box.
“Ayo cepat pergi....” Ajak Samsul bergegas.
Beberapa langkah Taufik bergerak menjauh. Ledakan besar pun terjadi secara beruntun. Dummb...! Dummb!! Daya ledak granat berhasil memicu api pada tanki minyak mobil box dan akhirnya kendaraan besar itu meledak hancur berkeping-keping.
“Hebat kau...” Teriak Samsul memandang Taufik dengan perasaan bangga.
Samsul dan Taufik mengira ledakan itu akan menghentikan tentara Israel untuk menyerang. Tapi nyatanya tidak. Tank baja itu juga tahan api dan terus bergerak maju mengejar.
“Samsul, Taufik, ke arah kiri. Ayo cepat ikut aku....” Teriak Ja’far.
Dua pemuda Indonesia itu segera berlari mengikuti Ja’far yang masih mengendarai motor membonceng adiknya di belakang. Dummb..! Satu tembakan dari moncong meriam tank baja hingga menghancurkan permukaan jalan. Telat beberapa detik saja. Tubuh Samsul dan Taufik bisa hancur terpanggang.
“Kalian cepat pergi jauh. Kami bisa mengurus diri.” Ucap Samsul memandang Ja’far yang mengendarai motor dengan pelan.
“Aku masih punya hati. Tidak mungkin meninggalkan kalian begitu saja.” Sahut Ja’far.
Tidak hanya tank baja. Mobil jeep tentara Israel pun sudah mulai bergerak cepat mengejar. Beberapa tentara juga sudah melesatkan tembakan secara beruntun. Gelapnya malam sedikit menguntungkan bagi keberadaan Samsul dan yang lain.
“Jika terus seperti ini, kita akan tertangkap karena kalah cepat.” Ungkap Samsul.
“Baiklah, kita belok ke kanan. Di sana ada tempat persembunyian bawah tanah.” Ajak Ja’far.
Mereka berbelok arah menuju tumpukan puing, “Ah..., keparat. Para iblis Israel itu pasti sudah menghancurkan tepat ini.” Umpat Ja’far kesal setelah memeriksa.
“Tidak ada waktu lagi. Kita serang mereka dari tempat ini...” Ajak Samsul memandang Taufik.
Dari balik tumpukan puing bangunan. Kedua santri Indonesia itu mencoba menghalau laju pergerakan tentara Israel. Dengan beberapa kali tembakan, mereka berhasil membuat roda mobil musuhnya meletus dan tak lagi bisa bergerak maju.
“Astagfirullah.... peluruku habis Sul. Tamatlah riwayat kita...” Ungkap Taufik bersandar di puing, menjatuhkan senjatanya.
Hilmya, adik perempuan Ja’far. Ia menunduk berdoa meneteskan air mata.
“Jika memang harus syahid dalam perjuangan demi Palestina, aku dan Hilmya sudah siap. Kami pun juga bangga dengan kalian orang Indonesia yang telah bertempur habis-habisan..” Ungkap Ja’far mantap.
“Tidak... tidak...!! Kita tidak akan menyerah begitu saja. Harus ada yang selamat di antara kita.” sahut Samsul tidak setuju dengan ucapan Ja’far.
“Tapi kita kehabisan senjata dan sebentar lagi tank baja mereka akan menyusul..”
Sejenak tidak ada yang berucap kata-kata dan dalam keputus-asaan. Sesekali Samsul masih meluncurkan tembakan, agar tidak ada tentara Israel yang bergerak mendekat.
“Baiklah, Taufik. Ambil senjata ini dan tembak terus tentara Israel,” ucap Samsul menyerahkan senjatanya “aku akan alihkan mereka dengan sepeda motor. Setelah itu kalian bisa pergi secepatnya menuju pemukiman untuk meminta bantuan kepada para pejuang yang masih berjaga.”
“Tidak mau, ini tidak adil. Kau bisa mati atau paling tidak tertangkap mereka..” Ketus Ja’far menatap Samsul.
“Percayalah kepadaku Ja’far. Tidak ada pilihan lain. Kamu masih punya ibu dan 4 adik yang harus dijaga. Aku sudah berjanji kepadamu untuk menyelamatkan Hilmya, dan sekaranglah waktunya. Aku tak mau bumi Palestina menganggapku sebagai pengecut.”
Kata-kata Samsul membuat Ja’far semakin terharu sedih. Sedangkan Taufik masih sibuk memberikan perlawanan. Meski belum mendapat persetujuan, Samsul bergerak mengambil motornya.
“Tunggu Sul, tolong penuhilah permintaanku untuk memenuhi wasiat ayah. Yaitu menikahkan adikku dengan pejuang tanah suci Palestina...” Ungkap Ja’far.
“Apa maksudmu....?” Tanya Samsul tak mengerti.
“Berjanjilah untuk menikah dengan adikku. Aku mohon jangan buat keluarga kami kian bersedih dan kecewa...” Bujuk Ja’far.
Sejenak Samsul terdiam, mencerna kata-kata Ja’far. Pikirannya kalut bercampur aduk. Antara memikirkan tentara Israel yang terus menggempur ditambah permintaan untuk menikahi gadis Palestina yang tidak pernah terbesit di otaknya sama sekali.”
“Lihatlah wajah dan telapak tangan Hilmya. Lau berjanjilah kembali untuk menikahinya.” Tegas Ja’far.
“Tapi, bagaimana jika aku tidak kembali?! Bagaimana jika aku syahid?” Tanya Samsul memandang Ja’far.
Yang ditanya tak segera menjawab. Ia justru memandang sang adik untuk meminta jawaban. Hilmya pun paham maksud Ja’far.
“Aku sudah menuduhmu sebagai pengecut, padahal tidak. Engkau justru kesatria pemberani. Aku juga telah berhutang budi. Maka, apalah gunanya kebahagiaan yang kudapatkan di dunia, jika orang yang berkorban demi diriku justru tidak merasakannya. Seandainya engkau ditakdirkan syahid malam ini. Maka aku akan berdo’a kepada Allah, agar menjadikan hamba sebagai syahidah dan kelak mempertemukan kita di surga...”
Setelah kata-kata itu, Hilmya membuka cadarnya. Menampakkan wajah cantik natural dihiasi dengan debu perjuangan. Samsul pun salah tingkah dibuatnya.
“Hei kawan, ada drama apa ini. Ayolah cepat bertindak. Sebentar lagi tank baja Israel akan menggempur kita.” Ketus Taufik yang masih sesekali menembak, mempertahankan posisi.
Ja’far mengulurkan satu cincin dari kantong bajunya, “cincin ini akan aku jadikan mahar satu tahun yang lalu. Tapi wanita yang kucintai telah menjadi syahidah di medan pertempuran. Sekarang, ambillah dan berjanji akan kembali untuk Hilmya.” Ungkap Ja’far, memberikan cincinnya kepada Samsul.
“Akan kuserahkan semua pada Allah,” sahut Samsul menerima cincin pemberian Ja’far.
“jika aku tak kembali, berjanjilah untuk menuliskan sebuah puisi indah, agar anak-anak Palestina dan Indonesia tau, tentang pengorban, perjuangan dan cinta.” Tambah Samsul memandang Hilmya.
“Gawat, peluruku sudah habis. Mereka akan mengejar kita...” Ungkap Taufik cemas.
Tak ada waktu lagi. Samsul segera mengambil motor dan meluncur mengalihkan perhatian para tentara Israel.
“Cepatlah lari dan selamatkan diri kalian..” Teriak Samsul dan akhirnya melesat dengan motor trailnya.
Dengan segenap tenaga dan kesedihan. Taufik, Ja’far dan Hilmya berlari kencang menuju pemukiman Al-Buyuki. Berharap masih ada pejuang Palestina yang berjaga.
Sementara itu, Samsul mengendarai motornya begitu kencang, meliuk-liuk di antara tumpukan puing bangunan. Tank baja Israel sudah bergerak mendekat. Dengan sekali bidikan moncong tank telah memuntahkan amunisi, tepat di sisi kiri Samsul. Meski tidak tepat mengenai, tapi daya ledaknya membuat tubuh Samsul terlempar kuat. Tanganya terlepas dari motor dan menghantam puing bangunan. Darah segar keluar dari mulutnya.
“Arkh.... Allahu akbar.....” Pekiknya menahan sakit.
Tidak ada satu orang pun yang bisa dimintai pertolongan. Beberapa tentara Israel juga terlihat berlari mendekat. Ia tak mau menjadi tawanan. Dengan segenap sisa tenaga, Samsul mencoba bangkit meraih motornya yang terbalik. Kepalanya masih mengucurkan darah. Kepulan asap tebal pun membuat dadanya sesak dan terbatuk.
Akhirnya ia berhasil bergerak kembali mengendarai motornya. Kali ini, Samsul mencoba menjauh menyelamatkan diri. Merasa kalah cepat, beberapa tentara Israel memberondong dengan tembakan. Meski tidak ada yang tepat sasaran. Namun Samsul belum bisa sepenuhnya pergi. Dan tanpa diduga, seorang tentara Israel membawa senjata andalan.
“Rudal pendeteksi panas ini akan menjadikan bocah malang itu hancur berkeping-keping menjadi abu...” Teriaknya sesumbar.
Monitor pada senjata sudah mulai mendeteksi dan “sasaran terkunci”. Rudal sebesar lengan tangan, sudah melesat kencang menuju sasaran. Samsul yang mengetahui bahaya di belakangnya, segera menambah kecepatan dan memekik takbir. Allahu akbar...!!
Dummbh...!!
Onderdil motor hancur berkeping-keping terlempar jauh. Sedangkan sang pengendara, entahlah. Gelapnya malam pun hanya membisu tak mau menceritakannya. Bau asap menjadi aroma kepedihan di tanah suci Al-Buyuki. Para iblis durjana pergi dengan senyum kemenangan. Meninggalkan malam yang kembali sunyi, menangis menyaksikan kekejaman tentara Israel.
# # #
Satu Minggu kemudian. 08.00 pagi, Al-Buyuki.
Selama 7 malam, Hilmya tak pernah berhenti menangis, berdoa dan menanti kedatangan sang imam untuk menjemput kebahagiaan. Namun, hari demi hari yang diharapkan hanyalah fatamorgana, yang kian menyesakkan dada. Setelah dirasa aman, gadis Palestina itu mengajak Ja’far dan Taufik untuk mencari dan memastikan keadaan Samsul.
Sesampainya di lokasi, air mata ketiga insan itu tak henti-hentinya meleleh. Yang tampak oleh mata hanyalah onderdil motor yang hancur dan hangus. Taufik juga Ja’far mencoba berkeliling mencari jasad atau minimal tulang belulang yang tersisa untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi, tapi tetap saja tidak ditemukan.
Sementara itu, Hilmya tertunduk lemas meneteskan air mata memandang sesuatu di depannya. Sebuah cincin yang hampir tak terlihat karena tertimbun pasir. Ia ingat betul, bahwa benda itu adalah cincin yang akan digunakan Samsul sebagai mahar untuknya. Namun kini sudah jelas, ia hanya bisa berdo’a kepada Allah agar dipertemukan di surga kelak dan membuatkan sebuah puisi, wasiat dari sang pejuang sejati.
# # #
Al-Buyuki 21.00 Malam.
Setelah sholat Isya’ dan membaca al-waqiah, Hilmya mengambil kertas dan pena. Ia mulai merangkai kata-kata untuk menuliskan pengorbanan, perjuangan dan cinta.
Sepenggal puisi untukmu, calon imamku
Engkaulah tanah yang dijanjikan Allah sang pencipta
Dan selalu dinantikan oleh umat islam seluruh dunia
Akan tetapi, kenapa engkau masih menjadi saksi terbunuhnya jiwa
Pertempuran darah yang menyisakan sedih dan benci dalam dada
Saat ini pun kalbuku telah merasakan
Terluka dan tersakiti karena kehilangan
Hati yang selama ini hanya dipadati dengan benci dan dendam
Ternyata masih bisa dipadamkan dengan kesejukan cinta
Tapi entahlah, kenapa rasa itu hanya sekejap saja
Hilang begitu cepat seperti tak pernah ada
Ya Allah, izinkanlah ia untuk datang menjemput
Kembali memupuk cinta yang hendak tumbuh di kalbu
Jika memang bukan dunia ini tempatnya
Aku selalu berharap...
Belum sampai puisi itu diselesaikan. Suara pintu rumah kembali digedor keras. Hilmya melipat cepat kertasnya dengan cemas. Kemudian bergegas ke ruang depan. Tapi Ja’far terlebih dahulu mencegah dan memintanya untuk tetap di kamar.
“Masuklah ke kamar ibu, dan jaga adik-adik kita agar tidak berisik..” Ungkap Ja’far menuju ke ruang tamu.
Rasa cemas dan do’a keselamatan mengikuti langkah kaki Ja’far. Membuka pintu dengan pelan, tapi betapa terperanjatnya ia. Saat melihat seseorang yang ada di hadapannya.
“Hilmya... Hilmya.... cepat kemari..” Teriak Ja’far setelah beberapa detik hanya terpaku diam.
Yang dipanggil segera berhambur keluar menjumpai sang kakak. Tak kalah kagetnya, gadis Palestina itu bahkan tertunduk lemas, lunglai dan penuh keharuan. Hampir saja Hilmya terjatuh jika tidak ada Ja’far yang memeganginya.
“Benarkan engkau Samsul Arifin...? Benarkah engkau masih hidup?” Tanya Hilmya dengan bibir bergetar tak percaya.
“Iya, aku Samsul Arifin. Aku datang untuk memenuhi janji menikahimu,” jawab Samsul tersenyum lebar “dan engkau pun masih tetap cantik Hilmya..”
Gadis Palestina itu pun baru tersadar, dan malu-malu untuk menutup kembali wajahnya dengan cadar. Meski tertutup, senyum kebahagiaan masih bisa dirasakan Samsul.
TAMAT
Epilog: Rudal pendeteksi itu hanya mencari sumber panas yang ada dimesin motor. Sepersekian detik sebelum rudal meledakkan sasaran. Samsul melompat jauh ke samping. Rudal itu pun tetap mengarah dan meledakkan motornya hingga hancur berkeping-keping. Ia sengaja tidak langsung menampakkan diri, karena ingin melihat kesetiaan seorang wanita yang akan hinggap di hatinya. Subhanallah, jika Allah berkehendak keselamatan, orang seluruh dunia pun tak kan mampu memberikan sedikit pun kecelakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen Islami Inspiratif
Historia CortaBanyak orang beropini bahwa cerita santri hanya berisi sesuatu yang klise ataupun membosankan dan tidak seru untuk dipublikasikan. Padahal nyatanya tidak. melodi kisah kehidupan santri sangat sarat dengan nilai moral dan agama, yang dapat dijadikan...