Bidadari Penyejuk Hati

687 13 0
                                    

“Tu…Wa…Ga…Pat…Ma…Nam…Ju…Pan…!
Ganti.! Kuda-kuda tengah!”
Suara inilah yang membuatku bersemangat dalam hidup. Terkadang emosi pun juga ikut bergejolak saat memoriku teringat  dengan kedzoliman yang menimpa ayah. Tepatnya ketika umurku baru 6 tahun, dan masih duduk di bangku TK “O” besar. Belasan tahun yang lalu, aku sudah merasakan perihnya rasa sakit di hati karena ditinggal ayah.Tak tau apa sebabnya, ketika sedang belajar dengan ibu, tiba-tiba beberapa warga datang ke rumah.Terdengar suara gaduh dan beberapa orang memanggil nama ibu sambil teriak minta tolong.
Aku benar-benar takut. Apa yang sebenarnya terjadi. Saat ibu membuka pintu rumah, tiba-tiba ia menjerit, menangis sekencang-kencangnya.
“Mas……mas kenapa? Jangan tinggalkan kami Mas..” Suara ibu seolah tercekat di tenggorokan karena kerasnya menangis.
Seluruh tubuhku pun bergetar dan turut larut dalam tangisan. Aku takut, juga sedih, tak berani mendekati ibu yang hampir-hampir tak sadarkan diri. Badan yang menggigil ketakutan ini terhempas ke dinding rumah dengan terus terisak. Aku tak percaya dengan pemandangan ini, ayah diangkat beberapa warga dalam  keadaan terluka parah. Bukan karena kecelakaan, tapi karena penganiayaan. Ada beberapa luka pukulan benda keras di kepala, dan memar di bagian tubuh lain. Luka akibat tusukan benda tajam pun masih terlihat menganga di bagian perut, yang mungkin inilah penyebab ayah cepat kehabisan darah dan pergi untuk selamanya.
Dua hari setelah kejadian malam itu, keluarga kami melaporkannya ke polisi, namun sudah beberapa hari juga tak membuahkan hasil. Alasannya, kami terlambat melaporkan. Ah! aku benar-benar jengkel dengan pekerjaan mereka yang kurang memuaskan dan menyerah begitu saja. Sejak itulah aku tumbuh menjadi anak yang penuh amarah dan mudah sekali memukul teman yang mencoba menggangu. Tak hanya itu, kelas 4 SD aku sudah bersemangat untuk ikut dalam sebuah perguruan bela diri yang tak jauh dari rumah. Tujunnya hanya satu, ingin balas dendam atas kematian ayah.
karena melihat kondisiku yang semakin brutal, akhirnya setelah lulus SD ibu menyuruh untuk segera meneruskan sekolah ke pesantren, ia begitu khawatir jika putranya tumbuh menjadi pemuda kriminal atau bahkan pembunuh. Di samping itu, ayah juga seorang santri lulusan pesantren di daerah Lampung.
“Kamu meneruskan sekolah di pesantren saja ya…biar faham agama, trus bisa do’ain ayah dan ibu”
“Tapi kan saya pengen cari orang yang sudah bunuh ayah Bu….” Ketusku.
“Hust……..nggak boleh ngomong kayak gitu.” Sahut ibu menempelkan telunjuk jarinya ke mulut.
Bagiku, nasehat-nasehat ibu adalah mutiara hikmah yang berharga. Namun, dendam dengan orang yang  sudah tega membunuh ayah dengan kejam tak kan pernah berkurang sedikit pun di hati. Aku sudah benar-benar tumbuh menjadi  anak yang penuh dendam dan amarah. Tangan inilah yang  harus balas dendam dengan orang yang telah membunuh ayah.
# # #
Kini, tak terasa sudah sepuluh tahun aku di pesantren, dan selama inilah aku terus menekuni kegiatan-kegiatan beladiri yang ada, mulai dari latihan fisik, tongkat, pedang, double stick, semua sudah aku kuasai dengan baik. Sedangkan pelajaran, jujur tak terlalu faham. Alasannya, latihan bela diri begitu semangat karena ada dorongan dendam juga emosi yang begitu kuat, dan punya tujuan yang harus ditunaikan, yaitu mencari orang yang  telah membunuh ayah.
Terkadang pernah juga bercerita dengan teman-teman akrab di pesantren, mengenai kematian ayah dan keinginan untuk balas dendam. Tanggapan mereka pun berbeda-beda.
“Wah, iya tuh broo, bunuh aja orang itu, jangan biarkan dia lama hidup di dunia!!!”
“Laporkan saja ke kantor polisi, biar dipenjara!!”
“Sebaiknya kamu maafin saja, lagipula hadits Nabi menjelaskan, kalau mau memaafkan pembunuh untuk tidak di qisos, maka akan menjadi pelebur dosa mulai dari dilahirkan hingga hari pernyataan pengampunan. Biarlah  Allah  yang membalas semua perbuatannya.”
Semua nasehat teman-teman bagiku tak lebih sekedar angin lewat. Hutang harta dibayar dengan harta, sedangkan hutang nyawa haruslah dibayar dengan nyawa. Ya, ini sudah menjadi prinsip!
# # #
Kehidupan dunia memang tidak akan pernah ada yang menduga seperti apa dan bagaimana kelanjutannya, karena jalannya kehidupan sudah tertulis kering oleh tinta Dzat yang maha kuasa. Sekarang, tiba-tiba gejolak amarah dan dendam mulai terkikis pelan, tergantikan cinta yang perlahan melekat di hati. Linda Sabila, inilah gadis pesantren yang telah berhasil meluluhkan hati, yang selama ini hanya dipenuhi dengan kotoran dendam dan amarah. Aku memang tak pernah pacaran, namun pengurus pesantrenlah yang telah menjodohkanku dengannya. Bidadari jelita dengan alis lentik dan lesung pipit membuat siapapun akan terpesona melihatnya.
Setelah cukup ta’arufan antara kami berdua, segera aku bawa ibu untuk menemui orangtua Linda. Kebetulan aku dan Linda sama-sama tinggal di daerah perbatasan, meskipun alamatku Palembang sedangkan Linda Lampung, tapi jarak rumah kami terhitung lumayan dekat, mungkin hanya butuh waktu satu setengah jam saja. Namun, ada sedikit kejanggalan di hati. Ketika bertemu dengan keluarga Linda, spontan sikap ibu berubah. Air matanya menetes tanpa sebab. Aku bingung apa yang menyebabkannya menangis.
“Bu, kenapa menangis?”
“Nggak ada Nak….ibu hanya senang melihat kamu sudah punya pasangan hidup.” Jawab ibu sambil menggeleng kepala pelan
Satu minggu setelah acara tunangan, maka aqad nikah pun segera dilakukan. Pesta walimah kami dibuat meriah oleh Pak Herman, ayah Linda. Katanya, suatu keberuntungan punya menantu yang berasal dari keluarga Bu Halimah. Entahlah, mungkin sebelumnya Pak Herman telah mengenal ibu, aku tak terlalu menghiraukannya.
# # #
Sudah dua bulan aku menjalani hubungan suami istri dengan Linda. Bagiku dia benar-benar gadis spesial, dan romatis. Sikap dan tutur katanya menjadi  penyejuk mata, dan penerang jiwa.
“Mas…udah baca Qur’an satu juz apa belum?” Suaranya begitu lembut terdengar.
“Huh….bentar lagi dek, 50 kali lagi” Jawabku dengan posisi masih sit up, karena takut perut menjadi buncit setelah menikah.
Linda memanglah bukan santri sepertiku. Ia sering masuk The Best Teen di kelas, bahkan sudah mengkhatamkan Al-Qur’an ketika masih duduk di kelas 3 tsanawiyah. Entahlah, kenapa orang sepertiku bisa dapat wanita spesial seperti dia. Mungkin Allah mengirimkan dia untuk menambal dan melengkapi semua kekurangan dalam hidupku. Tak jarang pula Linda mengajakku untuk kembali memurojaah kitab yang sudah lama tak pernah kubuka.
“Ayo Mas, adek pengen dengerin Mas  bacain Bab Thoharah….” Pintanya dengan senyum manja.
Duh…aku bingung banget…….mau jawab “nggak bisa”, tapi malu.
“Baca kitab apa Dek? Tanyaku pura-pura.
“Terserah Mas aja deh, yang penting adek faham.” Jawabnya lembut.
Aku tak tau harus baca kitab apa. Kitab kelas satu dan dua sudah hilang entah kemana. Kelas 3 sampai 6 kitabku kosong karena sering tidur di kelas. Lagian capek banget karena malamnya latihan senjata sampai subuh. Kalau kelas 7 dan 8  apalagi, ustadznya galak banget, akhirnya aku nggak pernah masuk karena males kena marah terus. Huh..susahnya jadi santri yang gak faham kitab. Pokonya jangan ditiru dech….
“Anu Dek……ehem…kitab mas kosong semua.” Jawabku tersenyum malu sambil garuk-garuk kepala.
“Ya udah deh, sini kitabnya, biar adek yang bacain.” Pintanya dengan ramah dan senyum lesung pipit yang membuatku tak bosan-bosan untuk memandangnya.
Hampir setiap hari ba’da Asar ia mengajakku untuk belajar kitab. Sedangkan ba’da Subuh, dengan sabar bidadari berdarah Sumatera ini menerima setoran hafalan Qu’an yang aku mulai dari juz awal surat al-Baqoroh. Ya Allah, alangkah beruntungnya aku, dapat bersanding dengan gadis yang kuanggap sempurna dan dapat melengkapi seluruh kekurangan hidup.
Namun, tidak ada gading yang tak retak. Linda tetaplah manusia biasa, dan anggapanku tentang wanita yang sempurna agaknya sedikit meleset. Ia memang tak bersalah dan tak pernah membuatku marah. Hanya saja, ada hal lain yang membuat amarahku kembali terpompa dengan kuat.
Tiga bulan setelah pernikahan, aku berkunjung ke rumah orangtua Linda. Bapak dan ibu mertua memang baik. Sikapanya pun ramah, mungkin mereka begitu segan  karena menyadari bahwa menantunya adalah seorang ustadz, he….GR banget yah.
Satu hal yang membuat denyut darah rasanya membeku. Saat membantu ibu mertua membesihkan gudang rumah, tak sengaja aku menemukan 2 lembar foto. Satu foto bergambar ibu kandungku dan bapak mertua duduk bersama di sebuah taman, sedangkan lembar foto lainnya ada gambar ayah   dalam keadaan wajahnya babak belur penuh luka. Akalku tak lagi mampu memikirkan apapun. Benih-benih cinta yang mulai bersemayam di hati tiba-tiba layu dan hangus terbakar api dendam yang  telah memercikkan api kemarahan.
Setelah beberapa saat melihat dan memikirkan dua foto yang misterius, buru-buru aku segera keluar pergi dari rumah, tujuannya hanya satu, yaitu pergi ke rumah ibu. Aku yakin ibu bisa menjelaskan semua ini.
“Mas….mau kemana? Kok buru-buru gitu....! Wajah Linda tampak cemas melihat gelagatku.
“Nggak kemana-mana, cuman ada urusan bentar!!” Jawabku dengan segera berlalu.
# # #
“Assalamualaikum……” Aku segera masuk rumah tanpa menunggu jawaban salam dari ibu.
“Ada apa Nak….kok wajahmu terlihat sangat cemas, emangnya ada masalah?”
Tidak ada kata-kata yang mampu terucap dari bibir. Langsung kusodorkan dua foto kepada ibu.
“Tolong jelasin Bu….ini foto apa? Tanyaku dengan tatapan lekat.
Beberapa saat  ibu terdiam membisu. Tangannya bergetar tak karuan, dan beberapa detik kemudian foto yang ada di genggamannya itu mulai basah dengan tetesan hangat air mata.
Aku bertekuk lutut di hadapannya, dengan memegang kedua pundak ibu yang duduk lemas di sofa.
“Kumohon Bu, jelasin semuanya….kenapa ada foto ibu dengan bapaknya  Linda? Suaraku  mulai berat.
Ibu memegang kedua pipiku dan menatap dengan penuh harap. Aku masih belum faham, apa yang sebenarnya terjadi.
“Maafkan ibu Nak, ibu harap kamu bisa faham…..ini semua memang salah ibu” Suara ibu tersendat menahan tangis.
Aku masih menatap kedua matanya, menunggu kalimat-kalimat penjelasan yang akan keluar dari bibir yang terus bergetar.
“Dulu, sebelum ibu menikah dengan ayahmu. Ibu sudah terlebih dahulu tunangan dengan bapaknya Linda. Namun, laki-laki itu ketahuan kakekmu menenggak minuman keras, yang menyebabkan  pernikahan kami cepat-cepat dibatalkan. Ibu dipaksa menikah dengan ayahmu, laki-laki pesantren yang berbudi luhur baik.”
Suara ibu tercekat, tak mampu melanjutkan kata-kata, tangisnya pun semakin menjadi-jadi.
“Apakah ibu masih cinta dengan dia?” Tanyaku penasaran, namun ibu hanya menggelengkan kepala.
“Trus bagaimana dengan foto ayah yang terkapar tak berdaya?” Kali ini emosiku mulai naik.
Kutunggu beberapa saat, tapi belum ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir ibu. Kemarah semakin memuncak, kugoncangkan tubuh ibu berkali-kali.
“Kumohon Bu, katakan yang sebenarnya, apakah bapak Linda yang telah membunuh ayah!!? Suara semakin meninggi, sudah tak sadar dan memikirkan lagi tata krama dengan ibu. Amarah telah membutakan semuanya. Ya, harusnya aku tak berbuat seperti ini.
“Capat Bu, apakah dia yang telah membunuh ayah?!!”
Tetap tak ada jawaban, namun  ibu mengangguk, memberikan isyarat bahwa “iya, dialah yang telah membunuh ayah.” Aku segera beranjak berpaling membelakangi ibu yang masih tersedu sedan di sofa.
“Ibu benar-benar kejam….! Ibu tega membiarkan  aku menikah dengan seorang wanita, anak manusia keparat yang telah membuhuh ayah.” Suaraku kecang.
Setelah kata-kata terakhir itu, aku segera tancap gas menuju rumah Linda. Mengendarai motor seperti manusia kesetanan. Suara klakson yang keras dan teriakan orang-orang tak lagi kuhiraukan. Setengah sadar, seperti ada remot control yang menggerakkanku ke rumah Pak Herman, manusia laknat yang telah membunuh ayah.
# # #
Pukul 20.00 WIB
Pintu rumah Pak Herman kutendang dengan keras,  tanpa sedikit pun mengucapkan  salam ataupun sapa.
“Astaghfirullah….Mas…..ada apa Mas?” Tanya Linda dengan wajah cemas
“Mana Bapak….?!! Ha……!! mana bapak?!!”
“Ada di ruang  makan…”
Kemarahan yang meluap-luap telah menutupi seluruh cintaku. Kutinggalkan Linda yang kebingungan karena belum faham dengan apa yang telah terjadi. Kedua tangan sudah mulai gemetar tak sabar, dan kedua kaki terasa ringan untuk melangkah.
“Herman……..dasar keparat…….,!!! Hardikku dengan nafas tersengal-sengal menahan emosi yang kian memuncak, “bertahun-tahun  aku mencari orang yang telah membunuh ayah, tak kusangka kamulah orangnya…!! Bentakku dengan melemparkan 2  foto yang membuatnya tersentak kaget
Beberapa saat kemudian dia tersenyum, yang membuatku semakin muak dengannya.
“Kamu betul, akulah yang telah mebunuh ayahmu.” Katanya datar.
“Astaghfirullah….benarkah apa yang telah bapak katakan?” Ketus Linda yang datang menghampiri.
Kesabaran sudah habis, aku berlari cepat ke arahnya, meloncat dan memberikan tendangan telak ke wajahnya, membuat si pembunuh itu terjungkal membentur meja makan, dan menyebabkan piring-piring jatuh berserakan. Beberapa kali ia mencoba melempar dengan pecahan piring, namun berhasil kutepis. Ketakutan yang tampak dari raut wajahnya tak membuat sedikitpun merasa kasihan. Berkali-kali pukulan maut kuarahkan  ke kepalanya. Darah segar mulai mengalir deras dari mulut, hidung juga keningnya.
“Hentikan……tolong hentikan….” Suara istri Herman menjerit histeris, sama sekali tak kuhiraukan.
Tendangan dan dengkulan pun tak luput berkali-kali menghantam perut dan kakinya.
“Mas…..hentikan mas…..adek mohon……” Rengek Linda terisak dan mencoba menarik lengan bajuku.
“Bapakmu pembunuh…! Dia yang telah membunuh ayahku dengan kejam, dia harus membayar semuanya.” Kuhempaskan tubuh Linda hingga jatuh tersungkur, dan buru-buru ibunya  segera menolong.
Hutang masih belum terbayarkan. Kupegang kerah baju Herman dan menyeretnya ke dapur. Tubuh yang mulai lemah itu kudorong keras hingga membentur lemari pendingin.
“Kamu harus merasakan apa yang telah dirasakan ayahku…!” Teriakku di depan mukanya yang belepotan darah .
Tak mau basa-basi lagi, pisau dapur yang tergeletak di atas meja segera kuacungkan ke arah perutnya.
“Mas…jangan mas……itu perbuatan dosa ….. istighfar Mas.. adek mohon jangan bunuh bapak….” Teriak Linda sambil menarikku mundur.
“Asal kamu tahu Linda, bapakmu adalah pembunuh. Dia harus merasakan perihnya sayatan pisau, seperti apa yang telah dia lakukan pada ayahku.” Lagi-lagi kudorong tubuh Linda hingga jatuh tersungkur.
Sekarang aku sangat dekat dengan orang yang selama ini telah kucari selama bertahun-tahun. Badannya bergetar dengan tetap memegang perut yang mungkin terasa sakit baginya. Kupegang lehernya dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kanan mengangkat pisau, bersiap menancapkan ke perutnya. Beberapa detik sebelum sebilah pisau yang kupegang menancap, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara ibu.
“Hentikan….hentikan perbuatanmu Nak……”
Ternyata Ibu menyusulku. Ia berlari mendekat dengan beberapa tetangga yang datang ingin membantu.Tubuhku dipeluknya dengan erat,  dan menangis bersandar di punggungku.
“Sadarlah Nak……Istighfar…….ibu nggak mau melihatmu menjadi  seorang pembunuh…”
“Tapi ia sudah membunuh ayah Bu, dia yang telah merebut kebahagiaanku sejak kecil….” Ketusku.
”Apakah kamu yakin ayah akan senang jika melihatmu menjadi seorang pembunuh..? Ibu yakin, ayah pasti akan sedih jika melihat putranya menjadi seorang pembunuh…”
Badan tiba-tiba lunglai, kulepaskan  pisau di genggaman dan kepeluk ibu dengan erat.
“Ibu pengen kamu mau memaafkan Pak Herman Nak. Dia sudah pernah meminta maaf dengan ibu dan mengakui segala kesalahannya. Jika Allah memaafkan hamba yang mau bertobat, kenapa kita tidak. Binalah rumah tangga dengan baik dan selalulah untuk mendo’akan ayah. Pasti itu lebih membuat ayah bahagia.” Nasehat  ibu membuatku tak kuasa membendung airmata, menangis terisak di pelukannya.
“Mas…adek bisa memaklumi jika mas benci dengan bapak. Kalaulah mas tak sudi lagi mempunyai istri sepertiku, aku ikhlas mas ceraikan.” Tutur Linda yang menghampiri kami berdua.
Mendengar ucapan Linda, sejenak kutatap mata ibu. Ia menggelengkan kepala, tanda bahwa tidak setuju jika aku menceraikan Linda.
“Tidak Linda, mas pengen kamu bisa menuntun suamimu yang  penuh amarah ini, meniti jalan menuju surganya Allah,” Jawabku dengan mencoba tersenyum ”kemarilah Dek, mas pengen merasakan kehangatan cinta kita bersama ibu.”
“Nak, sekarang tolonglah bapakmu, bantulah dia untuk berobat” Pinta ibu kepadaku
Ya Allah, ampunilah hamba….. aku segera membawa Pak Herman dengan dibantu beberapa warga ke rumah sakit. Kubopong badannya yang sudah lemah menahan sakit dengan wajah yang masih belepotan darah.
“Maafkan bapak Nak, bapak memang pantas jika kamu bunuh. Dendam karena tidak jadi menikah dengan ibumu telah merusak hati bapak.” Suaranya pelan di sela-sela erangan menahan rasa sakit.
“Sudahlah Pak, kita sama, memiliki sifat pendendam. Lebih baik kita sekarang bertobat, dan sebagai gantinya,  bapak aku anggap sebagai ayah kandungku sendiiri”
Pak Herman menatapku dengan mencoba tersenyum, meskipun mungkin teras perih di bibir karena luka akibat pukulanku. Beruntung aku memiliki  ibu dan istri yang selalu menuntun dalam kebaikan. Sekarang rasa dendam berubah  menjadi cinta yang telah menancap dengan kokoh. Pak Herman, orang yang telah membunuh ayah, sudah kuanggap sebagai ayah kandung sendiri.
# # #
”Abdullah…….ayo cepat ngaji..!  Ambil  iqro’nya….” Suaraku meninggi
“Mas………Hust…,” Tegur Linda ramah, dengan menempelkan jari telunjuknya ke mulutku “jangan galak-galak sama anak. Ketahuilah, bahwa singa akan tampak garang ketika di luar, dan menjadi penyayang ketika dengan keluarga, bukan sebaliknya.”
Nasehat Linda memang sangat hikmah. Menegur setiap kesalahan dengan sikap yang anggun. Hingga memiliki seorang anak pun, kecantikan luar dalam tak pernah pudar darinya. Kesedihan kehilangan seorang ayah telah Allah  balas dengan mengirimkan bidadari yang selalu memberikan keharmonisan dalam rumah tangga.

Antologi Cerpen Islami InspiratifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang