Santri Baru Untuk Ibu

472 11 0
                                    

“Di pesantren itu nggak enak Bu…..! Tempatnya kumuh, makan pun sedikit dan gak ada rasanya..!! Pokoknya  aku nggak mau ke pesantren…!!” Suaraku mulai meninggi.
Aku benar-benar kesal dengan keputusan ibu untuk melanjutkan proses belajarku ke pesantren. Kulihat semburat kekecewaan  dari lekuk keriput wajah ibu. Ia sejenak menundukkan kepala seperti merenungkan sesuatu. Setelah  itu kembali menetapku lekat-lekat.
“Ibu tau di pesantren itu tidak enak. Jauh dari orang tua dan hidup serba adanya. Tapi itu hanya sebantar nak…… setelah itu kamu akan bahagia dan senang di dunia dan akherat. Ibu pengen kamu jadi hafidz Al-Quran, akhirnya bisa menolong kedua orangtua dan  keluarga kita  untuk sama-sama  masuk ke surga…” Sangkal ibu panjang lebar.
“Tapi kenapa harus aku Bu….?” Ketusku sambil mengalihkan pandangan.
Tiba-tiba wajah ibu  berubah merah padam. Kedua bola matanya terlihat membesar. Ia bangkit  dari sofa dan mendekat. Dipegangnya kedua pundakku.
“Ilham……,” Suara ibu  merendah memelas “kalau bukan kamu.. trus siapa lagi Nak…?”
Aku tak bisa menjawab, karena memang akulah anak satu-satunya. Hanya bisa tertunduk lesu untuk beberapa saat. Tak tega rasanya menatap wajah ibu yang mulai  muncul buliran air kekecewaan dari kedua sudut matanya. Bibirnya pun  bergetar pelan.
“Perlu kamu tahu Nak….. 7 tahun lalu sebelum ayahmu wafat. Dia berpesan agar memasukkanmu ke pesantren, dan toko  sembako  yang kita punya, adalah harta warisan yang sudah diwasiatkan  untuk membiayaimu di pesantren. Percayalah Nak….. sebenarnya ibu sangat rindu  jika harus berjauhan denganmu. Ibu tak mau hidup dalam kesepian. Tapi apa  boleh buat, ini demi kebaikanmu, kebaikan  ayah dan ibu, juga kebaikan untuk semua keluarga kita…”
Kini, air mata ibu telah sempurna mengalir membasahi setiap kerutan di pipinya. Hah….. sejujurnya aku sangat sedih mendengar penuturan ibu. Aku juga sedih teringat dengan almarhum ayah, yang sudah wafat sejak aku duduk di bangku kelas 2 SD. Hanya saja aku tak bisa menagis. Hati ini belum bisa menerima kenyataan  dan takdir yang datang. Impianku untuk masuk SSB (Sekolah Sepak Bola) ACIOP APACINTI di kota Jakarta, telah  pupus begitu  saja. Cita-cita untuk berlaga demi membela TIMNAS Indonesia, sepertinya  hanya akan menjadi impian belaka.
“Nak… ibu mohon… jangan biarkan ayahmu kecewa gara-gara wasiatnya tidak ditunaikan. Ibu janji akan turuti semua keinginanmu…. yang penting kamu mau belajar di pesantren…..”
Belum ada sepatah kata pun yang mampu terucap. Tatapan  mataku kosong entah kemana. Karena melihatku yang tak segera bereaksi, tiba-tiba kedua tangan ibu berpindah  memegang erat kedua  telapak tanganku.
“Ilham…… kamulah satu-satunya anak ibu. Kamu satu-satunya orang yang bisa ayah dan ibu harapkan. Nak…. kamu mau kan….. ? Tolong jawab pertanyaan ibu….” Suara ibu terdengar pelan penuh  harap.
Huf….. sebenarnya aku ingin menjawab “tidak”, tapi mana mungkin aku  akan menolak permintaan  ibu yang sudah  memohon menangis penuh  harap di depanku. Dengan terpaksa kuanggukkan kepala, isyarat bahwa  siap menuruti permintaan  ibu untuk ke pesantren.
“Alhamdulillah……… ibu sayang kamu Nak…..”
Raut wajah  ibu  berubah sumringah. Air mata kesedihan  pun telah menjelma menjadi air mata kebahagiaan. Ia peluk tubuhku erat. Seolah beban hidup telah sirna begitu saja. Sedangkan aku sebaliknya. Bukan kebahagiaan yang kudapatkan. Terbayang dalam benakku  sebuah penjara yang akan membuat hidup menderita. Ah….. apa artinya hidup jika seperti ini.
“Kamu istirahat ya Nak….. biar ibu saja yang persiapkan semua kebutuhanmu…”
# # #
Malam ini adalah tidur terakhir di atas kasur yang  empuk. Aku membayangkan  betapa susahnya tidur di pesantren, tanpa kasur yang empuk, banyak nyamuk, tak bisa main HP, tak bisa nonton TV. HUf….aku semakin stress memikirkannya.
Kupandangi poster foto Muhammad Salah, Pogba, Messi, Ronaldo dan pemain lain dari club ternama di Eropa. Rasanya aku tak kan mampu  berlaga membanggakan negeri  seperti mereka. Aku luapkan kemarahan dengan menyobek semua poster yang menempel.  Bertumpuk-tumpuk majalah bola  yang ada di lemari, kubuang  ke dalam tong sampah depan rumah. Aku tak mau semakin sakit hati gara-gara mengingat cita-cita yang pudar begitu  cepat sebelum adanya perjuangan.
Hp segera kunonaktifkan. Aku tak mau mendengar coment dari teman-teman di SMP, gara-gara mendengar kabar kepergianku kepesantren. Hah.. hidup terasa sempit dan seperti mimpi. Bukan mimpi indah, tapi mimpi buruk.
# # #
hari ini aku dan ibu  bersiap berangkat. Kulihat ibu begitu bersemangat. Ia bawa semua barang-barang keperluanku. Tapi tetap saja, sejengkel-jengkelnya hati, aku masih punya perasaan.
“SIni Bu…. tasnya, biar Ilham aja yang bawa.” Pintaku sambil meraih tas yang ada ditangan ibu.
Perjalanan ke pesantren lumayan jauh. Butuh waktu 7-8 jam untuk sampai ke tempat tujuan. Kami menggunakan bis umum  antar kota yang biasa hilir mudik setiap harinya. Di perjalanan, ibu  banyak cerita dan memberikan nasehat. Ia tampak begitu bahagia dan semangat. Tapi apa guna, aku tak bisa mencerna sedikit pun kata-kata ibu. Hanya tatapan kosong, dan terkadang senyum menganggukkan kepala ketika ibu memberikan nasehat.
# # #
Semua laki-laki memakai peci sedangkan perempuan memakai kerudung hitam besar dengan penutup  muka seperti ninja. Yaps, inilah  pemandangan  yang pertama kali kulihat dilingkungan pesantren.Bahkan, Suasana agamis tidak  hanya  dilingkup pesantren, tapi juga  merata  dalam lingkungan desa. Namun, tetap saja, aku tidak begitu  tertarik dengan semuanya.
Setelah istirahat satu hari di penginapan yang banyak tersedia. Dengan begitu semangat, ibu mengajakku  ke sana kemari mengurus  pendaftaran dan semua keperluan yang dibutuhkan. Aku tak sampai hati  melihat ibu mengusap derasnya  keringat yang membasahi keningnya.
Setiap aku menyarankan untuk istirahat. Selalu saja ia mengatakan, “Ibu belum capek…..nggak apa-apa”. Sore itu juga ibu mengantarkanku masuk asrama pesantren. Dari sekian orangtua yang  mengantarkan anaknya, mungkin hanya  ibu saja yang perempuan. Itu sudah jelas, karena di sini asrama untuk laki-laki, dan adanya tulisan besar yang terpampang di depan gerbang “WANITA DILARANG MASUK.”
Ibu hanya mengantarkanku sampi depan gerbang, setelah itu ia pamit untuk kembali ke penginapan. Tak lupa ia kecup keningku dengan kasih sayang.
“Kamu cepat berbaur dengan teman-teman ya….. biar betah. Besok pagi sebelum pulang ke rumah, ibu akan jenguk kamu lagi.” Tutur ibu sebelum pergi ke penginapan.
Aku mencoba menikmati suasana dan keadaan dengan berkumpul bersama teman-teman yang sama-sama  santri baru. Tapi tetap saja, hatiku terasa gundah gulana dan sama sekali tak terhibur. Aku heran dengan kebanyakan santri  baru yang ada. Mereka terlihat senang dan gembira. Meskipun juga  ada santri baru yang  terlihat merenung  sedih di pojokan, bahkan menangis meneteskan air mata. Yah…. mungkin mereka bernasib sama denganku. Mondok karena paksaan orangtua.
Malam pertama di pesantren, ternyata  sesuai dengan dugaan. Tidak ada   lagi kasur empuk, karena hanya  ada alas tipis yang bisa digulung dan dimasukkan ke dalam lemari. Tidak ada HP apalagi TV. Semua berjalan membosankan seperti hidup dalam sel tahanan. Sungguh, esok hari  ketika  ibu datang menjenguk, aku akan  mengatakan tidak betah tinggal di pesantren.
Kedua mata begitu sulit untuk terpejam. Serangan nyamuk dan angin malam yang kencang, menghantam kulit bertubi-tubi. Kulirik jam dinding kamar, ternyata sudah pukul 02.00 dini hari. Hah…. aku mendengus kesal. Bagiku, ruang ini lebih pantas disebut gudang daripada kamar. Aku juga heran dengan teman-teman yang ada di samping kanan dan kiri. Mereka tidur begitu nyenyak seolah sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini.
Baru satu jam terlelap tidur, tiba-tiba aku dikegetkan dengan suara bebrapa orang yang teriak-teriak sambil memukul-mukul pintu kamar. “Kum……Kum….. bangun kang……..bangun…. tahajud.. tahajud…”
Perihal apa ini…..!! Tidakkah  mereka sadar bahwa aku baru saja tidur….?!!  Huf….benar-benar tidak berprikemanusiaan!!. Kami dibangunkan secara paksa. Berwudhu di saat suhu tubuh terasa dingin menggigil. Sholat tahajud berkali-kali, membuat kaki  pegal-pegal. Tepat pukul 04.00, menunggu sholat Subuh. Kusandarkan  tubuh ke pintu lemari kamar yang ditata rapih  pada sisi tepian kamar. Membayangkan hal-hal menyebalkan seperti apa yang akan terjadi selanjutnya. Hingga….hzz….hzz…..
“Subuh..ubuh….subuh…… hitungan mundur, semuanya  harus sudah  di masjid.”
Puf……. keributan apa lagi itu….. !! Aku heran, kenapa semuanya serba diuber-uber. Bukankah aku sudah dewasa! Harusnya  para santri senior itu  harus bersikap lebih lembut dan sopan. Bukan  marah-marah atau membentak-bentak seperti  orang darah tinggi. Di masjid, aku merasa semakin suntuk melihat anak-anak tsanawiyah yang tidur duduk dengan pulasnya. Tapi aku bisa memaklumi. Yah, mungkin karena mereka masih kecil  dan belum berfikir dewasa.
Pengalaman sholat Subuh  pertama kali di pesantren memang perjuangan.  Imam sholat membaca ayat yang panjang. Entah apa yang beliau baca. Yang jelas, terasa lama dan ini pertama kalinya aku sholat Subuh dengan durasi yang panjang. Sebenarnya bukan kaki yang pegal, tapi rasa kantuk yang menyergap, membuat tubuhku tak seimbang berdiri. Seperti pohon kecil yang terobang-ambing  karena terpaan angin kencang.
Setelah sholat Subuh, kukira bisa langsung melanjutkan tidur, Karen setahuku hari ini adalah hari libur, tapi ternyata tidak. Masih ada program  yang terus berlanjut. Akhirnya  mataku tak kuat lagi. Entah bagaimana bentuknya, aku tidur dengan duduk. Hzz………Hzz…
Byuuuurr……
“Hah…. apa-apaan ini….!!”  Umpatku kesal, karena tiba-tiba  air setengah  gayung telah mengguyur tubuhku.
“Kenapa ….? Hah….!! Santri baru sudah berani melawan?!!” Bentak seseorang berbadan gempal dengan  janggut lumayan lebat.
Aku tak bisa melawan. Hanya terdiam  dengan hati penuh dendam dan membara. Sumpah!!! Aku tak tahan dengan semua ini. Pagi ini aku akan  minta ibu  untuk membawaku pulang. Dengan kejadian-kejadian menyebalkan yang akan kuceritakan, pasti ibu bisa memaklumi.
Setelah program selesai, aku mencoba memejamkan mata sebentar untuk mengganti waktu malamku yang kurang.  Hzz……hzz.. lagi-lagi aku tertidur, meringkuk seperti  anak kucing yang kedinginan.
# # #
Teet……. Teet….. Teet….. “ Diumunkan kepada seluruh santri bahwa waktu sekarang adalah hidmat siang…”
Hah… jam berapa ini..!!!  Aku bangun terkejut.  Matahari sudah tampak gagah bersinar. Kulihat jam dinding yang ada kamar. Astaga….!! Kenapa ibu tidak  memanggilku. Jangan-jangan…….
Tak banyak buang waktu, aku berlari menuju penginapan. Tapi, belum sempat melangkah keluar gerbang. Seorang ustadz berbadan gemuk, besar dan  berkulit hitam. memegang tongkat menghentikanku.
“Siapa namamu…? Dan ada keperluan apa..?” Berondongnya dengan wajah garang.
“Nama saya Ilham, mau ketemu ibu di penginapan…”Jawabku gemetar, karena takut melihat  wajah ustadz  yang berjaga.
Belum sempat kudengarkan jawaban dari sang Ustadz, tiba-tiba  seorang santri yang berjaga dalam gubug di bawah pohon trembesi besar, langsung angkat bicara.
“Kamu Ilham santri baru ya……?”
“Iya, saya baru satu hari di sini…” Jawabku singkat.
“Ini ……. ibumu menitipkan amplop untukmu.”
Tanganku gemetar  menerimanya. Tak tau kenapa ibu  menitipkannya untukku.
“Trus ibu saya ke mana…..?” Tanyaku penasaran.
“Ibumu sudah pulang, katanya takut jika tertinggal mobil”
Hah…..badanku  rasanya mau ambruk. Aku ingin menangis sejadi-jadinya atas kekecewaan yang kuterima. Tapi malu jika menangis di hadapan ustadz dan santri-santri yang berjaga.  Aku berlari sekencang-kencangnya menuju asrama. Tak menghiraukan lagi suara panggilna petugas jaga. Bukan untuk ke kamar tidur. Tapi ke kamar mandi. Ya… aku memilih  kamar mandi untuk  menumpahkan rasa kesal, kecewa, sedih, dan amarah yang bercampur aduk.
Kubuka amplop  dengan tangan gemetar. Punggungku tersandar duduk  ke tembok kamar mandi. Air mata kepedihan pun tak mampu kutahan. Di dalam amplop, ada selembar kertas dan belasan lembar  uang ratusan ribu.
Ilham….. maafkan ibu ya. Ibu tak  sempat lagi berpamitan. Bukannya ibu tak sayang atau tidak menepati janji. Tapi ibu sudah berkali-kali suruh petugas istiqbal untuk  memanggilmu. Tapi kamu tetap tak mau bangun. Ibu hanya berfikir, mungkin kamu sedang lelah dan butuh istirahat banyak.
Ibu harus cepat pulang, takut jika kesiangan tidak  ada lagi bis yang lewat. Kamu  yang betah ya di pondok. Ibu akan do’akan kamu. Kalau uangnya habis atau ada keperluan lain, cepat hubungi no ibu. Ibu sayang kamu Nak….
Sebagai laki-laki dewasa, sebenarnya  malu jika  menangis. Tapi apa daya, kekecewaan terhadap  sikap ibu, sungguh menyayat hatiku. Seharusnya ia  bisa menungguku untuk beberapa hari. Toh bis  yang antar kota selalu ada setiap harinya. Ah..  aku benar-benar kecewa. Kurobek  surat ibu menjadi bagian-bagian kecil ke dalam saluran air. Berharap  semua kekecewaan dan kesedihan bisa  ikut hanyut ke potongan kertas surat ibu  yang hilang terbawa aliran air selokan.
Der…… der… der…..
“Kang… ngapain sih….  kok lama banget! Gantian donk…!!”
Menyebalkan. Kehidupan di pesantren memang aneh. Selalu saja  ada orang yang mengganggu kenyamanan saat menyendiri.
“Iy a…… iya…. sebentar lagi…” Suaraku tersendat-sendat menahan tangis.
Kubasuh muka dengan air berkali-kali, agar tak tampak seperti orang yang baru menangis. Meski sedih, tetap saja malu jika ketahunan menangis oleh santri yang lain.
# # #
Kehidupan di pesantren terpaksa kujalani walau dengan berat hati. Aku merasa suntuk dengan segala sesuatu yang harus mengantri. Benci dengan  para senior kelas  yang selalu teriak, marah dan membentak. Bahkan mereka juga memukul, menyiram dan hukuman-hukuman aneh lainnya.
Pernah aku memberanikan diri untuk bertanya kepada ketua kamar. Perihal sikap keras atau hukuman yang diberikan oleh  para senior kelas. Namun, jawabannya sungguh  mengesalkan.
Dua minggu menjalani kehidupan di pondok. Rasanya  aku sudah tak kuat lagi. Puncaknya ketika hendak izin ke pasar untuk suatu keperluan. Prosedur izin yaitu dengan  cara datang pada  malam hari ke kantor tarbiyah dengan membawa buku izin. Karena santri baru, aku belum paham betul dengan kondisi dan keadaan. Aku tak sempat izin di malam hari. Siangnya, setelah kelas diniyah pagi, aku mencoba izin ke kantor tarbiyah.
“Maaf ustadz…… tadi malam saya nggak sempat izin. Saya mau izin sekarang.” Tuturku sopan.
“Tidak ada perizinan…..” Jawabnnya singkat dan memalingkan badan dengan mimik wajah cemberut.
“Tapi Tadz…. ada keperluan yang harus saya beli di pasar…” Timpalku seketika.
Sejurus kemudian sang ustadz mengambil buku izinku. Hampir  saja aku tersenyum  melihatnya. Tapi  ternyata semua di luar dugaan.
“Kalau dibilangin gak ada izin….. ya gak ada izin…!!! Jangan ngeyel…. keluar kamu!!” Bentak ustadz  sambil  melemparkan buku izin ke arahku.
Emosiku meluap-luap sampai level puncak. Kutinggalkan kantor tarbiyah dengan dendam yang membara. Sumpah!! Aku tak kan menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Siang itu juga aku bulatkan tekat untuk  angkat kaki dari pesantren. Besok adalah  hari Jum’at. Di saat para santri  berbondong-bondong pergi jum’atan, maka itulah kesematan emas untuk kabur. Yah…. aku harus pergi secepatnya.
Kususun rencana untuk kabur  dengan semulus mugkin. Pakaian pun secepatnya dikemas. Aku tak mau memberitahu ibu ataupun pulang ke rumah, karena jelas  ibu akan kecewa dan marah-marah. Sebagai gantinya, kutinggalkan selembar surat  perihal kepergianku di dalam lemari. Berharap jika suatu saat ibu  pergi ke pondok. Pengurus madrasah mau membuka lemari dan menemukan surat yang kutinggal. Hanya beberapa kata yang kutulis.
Aku minta maaf kepada ibu. Aku tak kuat dengan  semua penderitan yang kualami di pesantren. Aku akan pergi merantau ke kota untuk mengejar cita-cita. ibu tak usah sedih atau mencariku. Suatu saat aku akan kembali ke rumah.
Ilham
# # #
Pukul 11.00 siang
“Diumumkan kepada seluruh santri  untuk  segera memberangkatkan dirinya pergi jum’atan”
Satu tas berisi pakaian dan dompet berisi uang dua jutaan telah kusiapkan. Agar tak ketahuan, kubungkus tas  pakaian dengan sajadah. Yaps, aman. Semua  berjalan lancar. Tak ada satu pun  penjaga gerbang yang curiga. Setelah juma’atan, santri-santri yang kembali terlihat begitu ramai, aku pun tak segan lagi  untuk segera menggendong tas bawaan.
Rute yang kutuju adalah  pergi ke kota. Ya….. Di kota aku akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Akhirnya  bisa mengejar cita-cita untuk  masuk SBB (Sekolah Sepak Bola). Tak kan ada lagi pembangunan Tahajud yang terdengar bising di telinga. Tak ada lagi penghukuman atau penyiraman. Yah, akhirnya aku bisa hidup bebas lagi.
# # #
Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan. Beruntung karena ada lowongan pekerjaan dari sebuah restoran yang membutuhkan seorang karyawan. Gajinya pun lumayan  untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk urusan makan dan  tidur, pihak restoran mau menanggung keduanya. Alhasil, aku bisa menabung lebih mudah.
Sudah sekitar 4 bulan aku menetap dan bekerja di restoran yang  bertempat di sudut kota. Iseng-iseng, aku kembali membuka akun medsos yang  sudah lama tak pernah aktif. Betapa kagetnya aku, salah seorang teman di desa mengirimkan pesan singkat; “Ham, kamu di mana? Ibumu pergi  tiga bulan yang lalu untuk mencarimu. Sampai sekarang ia belum kembali.”
Hah….. ada masalah apa lagi ini. Ke mana perginya ibuku, kenapa  bagitu lama. Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya. Untuk memastikan kucoba beberapa kali untuk  menghubungi no HP ibu yang lama, tapi ternyata tak aktif.
“Ibu…. engkau pergi ke mana……….” Desisku pelan.
Aku memang sakit hati ditinggal di pesatren. Tapi…ibu tetaplah ibu. wanita yang telah susah payah mengandung, melahirkan dan merawatku. Hari itu juga kusempatkan untuk pulang ke rumah. Semua tabungan sengaja kubawa, takut-takut jika ada keperluan mendadak ketika  di rumah.
# # #
Tidak ada perubahan  yang tampak dari rumah. Pintu dan jendela terkunci rapat. Hanya dedaunan pohon yang berserakan, bertumpuk mengotori halaman rumah yang mau menyambut kedatanganku. Kain keset di depan pintu  yang bertuliskan “WELCOME” kubuka, karena di sinilah  ibu biasa menyimpan  kunci jika  pergi keluar rumah. Tapi, hari ini aku tak menemukannya. Untuk beberapa saat hanya tertegun di depan pintu. Hingga dikagetkan dengan suara yang memanggilku dari kejauhan. Ternyata itu mang Karyo, tetanggaku. Ia tampak  beralari kecil tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Kamu pergi ke mana aja Ham……?” Tanya mang Karyo dengan nafas ngos-ngosan.
“Ceritanya panjang Mang…..”
“Ya sudah kalau begitu, nanti saja. Oia……. ini kunci yang ibu titipkan…” Sambil menyerahkan kunci rumah.
Setalah mengedarkan pandangan, melihat sudut-dudut rumah yang sudah mulai banyak  laba-laba bersarang. Kami segera duduk di sofa ruang tamu.
“Saya minta mang Karyo ceritakan semuanya dari awal….” Pintaku penuh harap.
“Yaa…  setahu saya, ibu  kamu pergi tiga bulan yang lalu. Menurut istri saya, yang  pernah diajak curhat sama ibu. Dia bilang mau mencari kamu ke kota.” Cerita mang Karyo pendek.
“Dari mana ibu tau kalau aku ke kota..?”
“Sebelumnya ibumu  pernah cerita, kalau mendapatkan telfon dari  pengurus pesantren, yang mengabarkan bahwa kamu sudah satu minggu tidak ada di pesantren. Mendengar  hal itu , ibumu menangis seharian, hingga kami tak sampai hati melihatnya……”
Mang karyo  menghentikan cerita dengan menelan ludah berat.  Mungkin ia bisa merasakan perasaan orangtua yang kehilangan anak.
“Trus apa lagi Mang…….?” Paksaku  tak sabar mendengarkan.
“Ibumu memutuskan untuk secepatnya ke pesantren. Tak seberapa lama, ia pulang dan  mendatangi istri saya sambil menangis. Ibumu cerita sambil memperlihatkan surat yang kamu tulis. Sebenarnya pihak pesantren sudah  mengupayakan untuk mencarimu. Tapi, sudah satu minggu lebih, mereka tidak mendapatkan titik  terang. Akhirnya ibumu nekat pergi sendiri untuk mencarimu.”
Maafkan Ilham Bu…………….. sesalku dalam hati
“Saya khawatir jika terjadi apa-apa dengan  ibumu” Timpal mang Karyo.
Kutatap lekat mang Karyo, mimik wajahnya benar-benar menggambarkan  kekhawatiran. Mungkin Karena dia sudah menganggap kami seperti keluarga sendiri.
“Iya Mang…… saya akan cari ibu secepatnya. Saya janji tidak akan pulang sebelum menemukan ibu.” Ucapku mantap.
“Pergilah Ham…. saya do’akan keselamatan untukmu dan ibumu…”
Tidak perlu membawa banyak bekal. Hanya dompet yang berisi beberapa lembar uang dan foto ibu yang sengaja aku ambil adari album. Kusisir jalan-jalan kota sambil bertanya pada para pedagang yang mangkal di tepian jalan. Tak lupa kuperlihatkan  foto ibu yang memiliki tanda lahir di bagian wajahnya, yaitu tahi lalat di dekat mata sebelah kanan.
“Assalamualaikum….maaf Pak mau tanya, pernah lihat ibu saya apa nggak…? Ini fotonya….”
“Maaf Dek….. kayaknya belum pernah lihat..” Jawab seorang pedagang pentol setelah beberapa saat melihat foto ibu.
“Permisi Bu….numpang tanya, pernah lihat ibu saya apa nggak….. ini fotonya..”
“Nggak tau Dek, coba tanya sama yang lain….”
Huf….sudah  belasan bahkan puluhan orang yang kutanya. Tapi belum juga membuahkan hasil. Aku juga tak tau dan tak terasa, sudah berapa kilo meter telah melangkahkan kaki. Hingga waktu Dzuhur pun tiba. Untungnya ada masjid yang lumayan besar untuk sholat  sekaligus mengistirahatkan badan terlebih dahulu.   Seusai sholat, aku berdo’a menangis sejadi-jadinya memohon kepada Allah  untuk kembali mempertemukanku kepada ibu. Aku juga berjanji akan kembali menjadi santri yang tertib salama di pesatren.
Keinginan untuk istirahat kuurungkan. Aku memang lelah dan letih, tapi aku harus secepatnya  menemukan ibu. Ya…… aku tak boleh istirahat.
Di depan masjid, ada seorang nenek tua yang mengemis meminta-minta. Aku begitu kasihan melihatnya. Kuambil selembar uang seratus ribuan untuknya. Aku tak menyangka….. ia begitu gembira. Bahkan hampir-hampir saja nenek tua itu bersujud di depanku untuk mengungkapkan rasa terimakasihnya.
“Terimakasih banyak Nak…. semoga Allah memberikan kebaikan yang melimpah untukmu…” Ungkapnya dengan penuh kegirangan.
Setelah itu, ia segera pergi berlalu dengan cepat. Mungkin hendak membeli makanan. Tapi entahlah, aku penasaran, jangan-jangan nenek  itu punya anak atau cucu yang sedang sakit dan membuuthkan bantuan. Hatiku tergerak. Alangkah baiknya jika  aku ikuti, siapa tahu ada sesuatu  hal yang bisa aku bantu.
Nenek tua itu terus berjalan dengan cepat hingga memasuki gang-gang sempit dan kumuh. Ia begitu terburu-buru. Kemudian untuk beberapa saat ia berhenti di warung makan, membeli sebungkus nasi dan sebotol air mineral. Tak lama kemudian ia kembali melanjutkan perjalanan.
Aku semakin penasaran dan kasihan, nenek tua itu terlihat  berjuang untuk seseorang. Langkahku terhenti saat  melihatnya duduk di depan bangunan bekas ruko yang sudah tak terpakai lagi.
Siapa dia……. apakah anaknya. Nenek itu membangunkan  seseorang yang berselimut  kain usang dan beralaskan tumpukan kardus. Tubuhnya terlihat sangat lemah. Aku tak bisa melihat sacara jelas wajahnya. Hanya menyangka bahwa orang itu adalah anaknya nenek yang kelaparan. Yah, mungkin saja itu banar.
Aku mencoba terus mendekat dengan tetap memperhatikan gerak-gerik mereka. Orang yang berselimut itu mulai bangun, dan memakan nasi yang disuapkan oleh nenek. Sekarang agak terlihat sedikit jelas, rambutnya panjang hingga menutupi sebagian wajah. Jantungku mulai berdetak tak karuan menduga hal yang tidak-tidak.
Kucoba untuk melangkahkan kaki lebih dekat untuk mamastikan. Hah…..betapa terperanjatnya aku. Wanita itu………… aku kenal….. ya, sepertinya  aku kenal. Dia adalah ibu. Wanita itu adalah ibuku. Ada tahi lalat di dekat mata kanannya.
“Ibu…….” Panggilku dengan segera berlari  ke arah mereka berdua.
Aneh…. ibu sama sekali tak menghiraukan panggilan dan kedatanganku. Ia hanya sibuk makan nasi yang disuapkan nenek, layaknya anak kecil yang sedang kelaparan. Aku bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku salah orang? Tapi tak mungkin. Aku bisa merasakannya.
“Apakah namamu Ilham….?” Tanya nenek dengan wajah serius, setelah melihatku tertegun beberapa saat.
“Iya Nek…. saya Ilham. Dari mana nenek tahu nama saya..?
“Wanita ini sudah berhari-hari jalan tak henti sambil menyebut namamu. Warga di sini menganggapnya sebagai orang gila, karena selalu mengulang-ulang namamu sambil menangis dan sesekali tertawa. Dua hari yang lalu nenek temukan dia pingsan. Karena nenek juga tak punya rumah, terpaksa nenek bawa dia untuk istirahat di tempat ini.”
Ibu…. maafkan aku Bu…..kupeluk tubuh ibu yang lemah dengan baju yang sangal kumal. Rambutnya pun terurai acak-acakan penuh debu. Ia masih belum menyadari bahwa aku adalah puteranya.
“Nenek ikut saya sekalian ya… kita bawa ibu ke rumah sakit.” Ajakku sambil membopong tubuh ibu yang tarasa ringan karena sangat kurus.
# # #
Baju kumal ibu sudah diganti suster dengan yang baru. Sore tadi ,setelah menjalani tes kesehatan, tiba-tiba ibu tak sadarkan diri. Dari hasil pemeriksaan, ibu mengalami gangguan mental karena depresi berat. Dokter bilang butuh beberapa hari  agar ibu tenang dan sadar.
Kudekati nenek yang duduk setia menunggu ibu di dekat ranjang tidurnya.
“Nek…… istirahat aja dulu….” Tuturku pelan.
“Nenek nggak capek kok…. nggak usah dipikirkan….”
“Kenapa nenek  mau merawat ibuku…..” Tanyaku mencoba menggali informasi.
Wajah nenek tiba-tiba tertunduk. Seperti teringat sesuatu yang menyedihkan. Aku jadi merasa bersalah dan tak tega melihatnya.
“Sebenarnya nenek masih punya keluarga. Hanya saja mereka sudah tak menyukai kehadiran ibunya. Nenek dianggap merepotkan bagi mereka. Akhirnya nenek  dipaksa untuk tinggal di panti jompo.”
Air mata nenek mengalir di antara kerutan-kerutan wajahnya. Ia menagis sesenggukan. Ah…tak tega benar melihat keadaannya.
“Nenek sakit hati Nak…… akhirnya nenek kabur dari panti jompo. Karena itulah, saat melihat ibumu, nenek seperti  satu nasib. Nenek menganggap ibumu sebagai anak sendiri.” Ungkapnya dengan suara serak menahan tangis.
Hm….. hatiku terasa remuk karena dosa. Betapa sedihnya orangtua yang  ditinggal dan ditelantarkan oleh anak kandungnya.
“Jangan sedih lagi Nek…. sekarang saya dan ibu adalah bagian dari keluarga nenek. Mendingan kita istirahat aja sekarang.” Ajakku lemah lembut.
Nenek kupersilahkan  untuk tidur di sofa. Kisahnya menjadi pelajaran untukku. Betapa kecewanya seroang ibu kepada anak yang tak lagi peduli dengan keinginan orangtua. Padahal, ibulah yang mengandung, menyusui dan merawat dengan sepenuh hati. Tapi ketika telah tumbuh dewasa, dan ibu menjadi lemah. Anak justru tak mau berbalas budi untuk mengurusnya. Hah….Ya Allah….. ampuni hamba. Tuntunlah hamba agar selalu lurus dalam jalan kebaikan.
Aku belum bisa tidur. Kupandangi wajah ibu yang terlihat pucat. Oia..aku teringat sesuatu. walaupun hanya dua minggu di pesantren, ada satu amalan dari ustadz yang sempat aku ingat. Yaps, baca surat Yasin 41X untuk menyelesaikan masalah apapun. Tapi…. 41X….? Baca sekali saja aku masih terbata-bata, dan butuh waktu sekitar 10 menit. Trus kapan selesainya…? Tapi tak apalah, harus kucoba. Ini demi kebaikan ibu.
Setelah sholat 4 rakaat. Aku mulai membaca surat Yasin, yang kupinjam dari pengurus mushola rumah sakit. Yaasin……
Baru dapat 7X, badanku sudah terasa pegal. Mata pun terasa berat. Huf..bagaimana ini. Aku harus berjuang melawan kantuk. Tapi ternyata tetap tak bisa. Kedua bola mata terus memaksa untuk menutup rapat. Akhirnya aku tertidur seperti tidurnya anak Tsanawiyah ketika menunggu sholat Subuh di pesantren. Dengan gaya merunduk rendah layaknya pembalap GP. Hzz….hzz…
# # #
“Ilham…..bangun Nak….. sudah adzan Subuh. Cepat berangkat ke masjid.”
Tiba-tiba seseorang membangunkanku. Suaranya seperti tak asing lagi kudengar. Apakah aku sedang bermimpi. Tidak, aku tidak bermimpi. Ternyata itu suara ibu. Ia sudah sadar, bahkan telah mengenakan mukena putih untuk sholat.
“Bu…. ibu sudah sadar…. maafkan aku Bu… Ilham telah mengecewakan ibu…,” Suaraku terisak memohon maaf di pangkuan ibu. “Ilham janji akan kembali ke pesantren dan akan menjadi santri  yang sungguh-sungguh memperlajari ilmu agama.”
Kedua tangan ibu memegang erat pundakku. Menatap lekat dengan senyum yang tersimpul dari bibirnya. Ia berkali-kali mengucapkan Tahmid memuji Allah. Kemudian memeluk dan membisikkan nasehat yang membuat hatiku sejuk, sesejuk salju.
“Berjanjilah  Nak….. ibu yakin kamu akan menjadi hafidz alim dan penyebar hidayah  untuk umat seluruh alam.”
“Amin……..”

Antologi Cerpen Islami InspiratifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang