10

2.6K 234 11
                                    

Fyi, cast yang kemarin di publish, aku rombak ulang ya. Ada kesalahan dalam penokohan. Banyak cast hanya untuk kepentingan cerita. Makasih.

○●○happyreading○●○




Ketukan demi ketukan yang terjadi akibat tersentuhnya hak sepatu dengan lantai keramik yang tampak mengkilat itu menimbulkan suara-suara hentakkan kecil namun begitu menggema di ruangan itu.

Suatu tempat di mana kadang kala bangunan ini tampak ramai dengan orang-orang yang seringkali memakai setelan jas rapi dan dress dengan dominan berwarna hitam. Tatkala, setiap tangan membawa sebuah buket bunga kecil atau besar yang mereka bawa pada sekat-sekat ruangan. Menempel bunga tersebut atau bahkan menaruhnya pada tempat tertentu yang menjadi tujuan.

Rumah abu, itulah sebutan dari bangunan yang kini tengah ia telusuri. Setelah sekian lama, juga setiap tahun dikurun waktu sepuluh tahun, Jennie kerap kali ke sana, membawa sebuket bunga kecil berwarna putih dan menempelkannya pada sebuah sekat kaca yang menampilkan sebuah guci juga sebuah foto.

Jennie memandangi, memandangi sebuah foto yang menampilkan seorang pria muda dengan setelan kemeja rapi yang tengah juga menampilkan senyuman lebar.

Sudut bibirnya terangkat sedikit, mengukir sebuah senyuman tulus kala menatap foto tersebut.

Setiap tahun, tepat dihari ini dengan tanggal yang sama sejak sepuluh tahun silam. Ia selalu berada di sana, namun tidak untuk berkabung dan memberikan peringatan akan kematian.

Melainkan memberi peringatan atas terbebasnya ia dari siksaan yang begitu memilukan sepanjang setengah hidupnya.

Oh tentu saja, setelah memaksa untuk pergi, dan justru menemukan sang ayah terkapar tak berdaya di kasur rumah sakit dengan darah yang berlimpah di kemeja pria tua itu. Jennie tak menangis, ia justru menutup bibirnya, menutup bagaimana senyuman terukir agar tak terlihat bagaimana senangnya ia saat itu.

Bahkan di saat dirinya seharusnya berkabung, ia justru menunggu bagaimana surat wasiat dari sang ayah. Rumah yang sudah menjadi hak miliknya, sejumlah uang yang tersisa untuk melanjutkan sekolahnya. Nyatanya, ia terlalu senang, menikmati hari demi hari dengan kebebasan.

Kebebasan diri atas siksaan dari sang ayah, namun tidak dengan hatinya. Walau kebebasan di depan matanya, hatinya masih merasakan sakit yang teramat dalam. Bahkan ketika kini sudah berlalu bertahun-tahun silam.

Ya, sepuluh tahun terlewati nyatanya tak mampu menghapuskan wajah seorang Lalisa dalam benaknya, wajah sang Ibu yang memohon untuk saling bermaafan dengan saudaranya dan wajah Hanbin yang begitu menampilkan rasa benci dari pemuda itu.

Nyatanya, kebebasan yang sudah ia punya sejak kematian Ayahnya tak mampu membuang rasa kecewa dan sakitnya akan hari itu, hari dimana ia pernah menginjakkan kaki di California. Hari-hari dimana ia bodoh karena memiliki sebuah pengharapan.

Ia tersenyum, menurunkan kacamata hitamnya setelah menaruh buket bunga kecil tersebut. Ia menatap lagi foto Ayahnya ketika foto tersebut di ambil saat Ayahnya masih muda. Ia tersenyum seolah membalas senyuman lebar dari sang Ayah.

"Kau tahu, Ayah? Kabarku selalu baik, jadi jangan mencoba menanyakan kabarku. Sungguh."

"Dan aku berharap, kau disana menikmati pembalasan atas dosa-dosa yang telah kau perbuat ...."

"Terimakasih."

Begitu singkat, bahkan deretan kalimat tersebut adalah kalimat yang seringkali diucapnya, tanpa perlu berpikir seakan kalimat tersebut sudah diluar kepala.

Nyatanya Jennie hanya ingin jujur, jujur pada perasaan nya kini. Juga perasaan nya setelah sepuluh tahun terbebas dari sang ayah.

Lantas, Jennie kembali memasang kacamata hitamnya, berbalik sembari menyisir surai panjangnya dari balik punggungnya.

R E A L I T Y || jenlisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang