07

2.5K 228 39
                                    

Sejak dimana Lisa meminta bantuan pada Jennie. Jennie tak pernah sedikitpun untuk melepaskan Lisa dari pikirannya. Benaknya seolah ribut, tak menentu. Memikirkan segala nya yang tampak kian merumit.

Tentang perasaannya juga.

Ya, Jennie akui. Perasaannya tertuju pada si gadis berponi, pada kekasih saudara kembarnya.

Namun, baginya ini salah. Sering kali ia mencoba untuk mengelak, menjauhkan perasaan nya, juga ingin membuang wajah Lisa yang terus berada di benaknya.

Lagi-lagi, Lisa seolah memaksa untuk masuk kedalam pikirannya, seolah ingin mengendalikan hatinya. Semua yang pada dirinya, seolah tertuju dan ingin kepada Lisa.

Bahkan beberapa kali pun Jennie mencoba untuk mengalihkan pikirannya, mencoba memfokuskan hal lain, yang justru malah mengabaikan buku-buku paket dihadapannya, dan justru menatap pada jendela kamar dengan tatapan yang menerawang.

Pada akhirnya Jennie menyerah, berdiam diri dengan terus memikirkan Lisa, tak lagi untuk mengelak dan mencoba menghapuskan wajah Lisa dari pikirannya.

Ia terbuai, mengamati langit malam dari jendela kamarnya, hingga tak memperdulikan Ibunya yang sudah memasuki kamarnya dengan membawa sekeranjang kecil berisi bajunya.

"Kau tidak ikut Hanbin?"

Jennie terkesiap, ia sontak menoleh, memutar kursi belajarnya untuk menghadap sang Ibu di depan lemarinya.

"Ikut? Kemana?"

Nyonya Kim mengernyit sembari tangan yang berfokus menyusun baju pada lemari Jennie.

"Dia sedang bersiap untuk pergi ke pesta. Ibu pikir kalian akan berangkat bersama."

Jennie merapatkan bibir. Kedu matanya berkedip mendengar ucapan dari sang ibu.

Pesta.

Apa itu Ariana?

Tak ingin menunggu lagi, Jennie bangkit. Keluar dari kamarnya menuju kamar Hanbin di seberangnya, namun, tak ada siapapun di sana. Hingga membuat Jennie lekas turun kelantai satu, berharap Hanbin ada di bawah dan belum pergi.

Tetapi, tak ada siapapun. Sepatu yang sering kali dipakai Hanbin pun tak ada. Bahkan halaman rumah tampak kosong.

"Ada apa, Jen?"

Jennie berbalik, mendapati sang Ibu yang baru saja turun drngan membawa keranjang.

"Hanbin tidak ada."

"Mungkin dia sudah berangkat."

Ia diam, menipiskan bibir memandangi halaman rumahnya. Entah, ada apa dengan hatinya yang merasa tak nyaman. Seolah sesuatu bisa saja terjadi.

Hingga, selang beberapa detik. Jennie akhirnya memutuskan, untuk menyusul Hanbin.





**

Dan benar saja. Rasa tak nyaman hatinya karena Hanbin pergi terjawab sudah ketika ia mendapati orang-orang berkerumun mengelilingi tengah-tengah lantai dansa.

Di sana Hanbin, duduk bersimpuh lutut dengan Shawn dan teman-teman nya, tengah memaksa Hanbin untuk meminum sebotol minuman keras.

Tubuh Jennie menegang, ia menutup mulut dengan air mata yang sudah terjatuh. Melihat bagaimana penampilan Hanbin yang tak berdaya tersebut.

Tanpa pikir panjang, ia mendekat, mendorong dan mendesak orang-orang yang menghalangi langkahnya. Hingga, sampai ia pada Shawn, merebut botol tersebut dan menghempaskan nya kelantai, menimbulkan suara nyaring atas botol kaca tersebut yang pecah.

R E A L I T Y || jenlisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang