Sungguh-sungguh

76 5 0
                                    

Tidak ada waktu untuk gentar.
- Jie -

"Ni qu haishi wo qu? (Kamu yang pergi atau saya yang pergi?)" tanya Jie dengan suara yang terdengar jauh lebih dalam dan semakin berdiri mendekat, hingga pria jangkung itu sengaja menempelkan dadanya yang bidang dan lebar ke arah punggung Reza.

Reza membuang napas berat, terlihat ia berusaha menatap Jie dengan tatapan sinis dari samping. Ia akhirnya berjalan menghampiri Aqilla.

"Wo xiang wo gai zou le (Saya kira, sudah waktunya saya pergi)," ucap Reza sambil tersenyum canggung ke arah Aqilla. Aqilla menatap pria berkaus biru itu sambil tersenyum simpul. Ternyata, kak Reza juga bisa bahasa Mandarin?

"Zhen de ma? (Sungguh?)"

Reza mengangguk sambil mengangkat jempol tangan kanannya. Aqilla tersenyum tipis, sedikit kecewa. Padahal mereka belum banyak berbincang-bincang. Tadinya, Reza ingin mengajak Aqilla jalan pagi di tepi pantai lagi seperti kemarin. Dan Aqilla lihat, di depan pantai memang sudah banyak orang-orang yang sedang beraktivitas. Ada juga beberapa nelayan yang sedang menangkap ikan di kapal sederhana milik mereka. Jadi, Aqilla tidak merasa canggung atau takut karena ramai di sana.

Aqilla menghela napas panjang dan menunduk. Ya sudahlah, Aqilla akan pergi ke pantai sendiri saja. Seharusnya Aqilla mengerti, pertemuan mereka saat ini pun karena kebetulan kak Reza ada urusan. Dia orang super sibuk, jadi, tidak bisa sembarangan bermain atau pergi bersama orang lain. 

Reza tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya pertanda ia pamit. Pria klimis itu pun berjalan pergi meninggalkan Aqilla dengan langkah lebarnya.

"Astagfirullah!" Aqilla sedikit berteriak, begitu tahu Jie sudah berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebar. Seperti biasa rambutnya konsisten selalu berantakan. Ia mengenakan kaus putih dan celana batik juga ... sandal jepit hitam.

Tunggu, rambut Jie? Sejak kapan? Aqilla melihat ke arah kepala Jie. Rambut gondrong bergelombang itu sudah tidak ada. Yang ada hanya rambut pendek, ah, tidak juga bisa dikatakan terlalu pendek. Karena rambut Jie yang bergelombang dan banyak itu Aqilla jadi susah mengukurnya sendiri. Lagipula, dimana Jie memotong rambutnya? Messy look? Kenapa pria ini senang dengan yang berantakan? Apakah ia terobsesi?

Tapi, mau bagaimana pun penampilan Jie. Ia selalu terlihat menarik. Seperti ada persona tersendiri yang Aqilla sulit jelaskan dengan kata-kata.

"Qi guai de hen (Sungguh aneh)," Aqilla mengelus dadanya karena masih kaget. Pria menyebalkan yang baru saja marah-marah kemarin ini memang selalu senang membuatnya terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Ditambah dengan perubahan dirinya yang cukup drastis itu. Tapi, ya, tetap saja, sandal jepit menjadi andalan. Jie selalu terlihat santai dimanapun ia berada. Berbeda jauh dengan Aqilla yang selalu berusaha berpenampilan rapi.

"Kenapa?" tanya Jie santai sambil tertawa karena melihat ekspresi Aqilla yang terkejut. Menurutnya itu lucu, wajah Aqilla yang terkejut seperti seekor koala yang matanya membulat dan melotot.

"Meiguanxi (Tidak apa-apa)," Aqilla menggelengkan kepalanya cepat.

Jie mengernyitkan alisnya seolah tak percaya, ada apa? Pasti wanita manis di hadapannya ini berpikir tentang sesuatu. Jie bisa melihat itu dari kerutan di sekitar mata dan kening Aqilla. Wajahnya yang sedang berpikir itu sungguh mudah untuk ditebak.

"Suan le ba, shuowan le meiyou (Sudahlah, bukan urusanmu)," Aqilla menekuk bibirnya cemberut dan berjalan melangkah berniat meninggalkan Jie.

"Ai yo, wo de duzi haotong! (Aduh, perut saya sakit sekali!)" Jie berteriak sambil berjongkok dan memegangi perutnya. Aqilla yang sudah berjalan cukup jauh kembali berlari menghampiri Jie dengan wajah paniknya.

"Kamu kram perut lagi, Jie? Apa kita harus ke dokter? Saya akan telepon Leo agar menghubungi dokter terdekat. Bagaimana? Kalau kamu sakit, tidak usah ikut kegiatan hari ini tak apa. Biar saya dan Leo yang pergi, ya? Kamu harus bersitirahat," Aqilla ikut berjongkok di hadapan Jie dengan ekspresi cemasnya sambil membuka ponselnya dan mulai menelepon Leo.

"Aqilla, wo e le. Wo esi le (Saya lapar. Saya lapar sekali)," ucap Jie dengan wajah memelas.

Aqilla langsung terdiam. Hening, ia seperti sedang berpikir. Ya, ampun, Jie membohonginya? Benar-benar menyebalkan! Aqilla segera bangkit, lalu berlari meninggalkan Jie dengan cemberut sambil menggembungkan pipinya. Dan Jie yang melihat ekspresi Aqilla  itu dibuat tertawa terpingkal hingga ia terjatuh dan memegang perutnya karena merasa sangat geli.

Benar-benar, menggoda Aqilla dan membuatnya marah adalah hobi terfavorit Jie saat ini. Jie bahkan suka ekspresi kesal dan marahnya Aqilla. Menurutnya itu menggemaskan. Seperti seorang anak TK yang marah karena tidak dibelikan mainan. Ditambah wajahnya yang masih polos dan sederhana karena tak banyak terjamah make up. Semakin membuat wajah Aqilla terlihat polos seperti anak kecil. Ya, ampun! Jie sampai tertawa geli. Bagaimana bisa ia tertawa puas seperti ini setelah beberapa menit yang lalu ia telah mengancam seseorang dengan cerobohnya.

Setelah merasa puas tertawa, Jie langsung terdiam sambil terduduk di balkon kayu. Ia tersenyum simpul. Wanita itu memang berhati tulus dan baik. Ia bahkan mudah dibohongi. Bagaimana bisa Jie dengan teganya membiarkan ia jatuh di perangkap seorang jalang macam Reza? Sampai mati pun Jie tak akan pernah rela. Ia harus menjaga Aqilla, mulai saat ini, ia akan menjadi ksatria bagi Aqilla. Walau kehadirannya lebih sering disalahpahami dan membuat Aqilla kesal. Jie yakin, suatu hari nanti Aqilla akan mengerti maksud dari setiap sikap dan perkataan Jie. Karena Jie sungguh-sungguh padanya.

Jie tersenyum sinis, apakah ini sebuah hukuman baginya? Ketika dulu, Aqilla yang selalu berusaha mengingatkan dan menariknya dari banyak masalah dan bahaya. Saat ini Jie yang harus melakukan itu untuk Aqilla.

Jie masih ingat betul, saat itu ia sungguh egois dan kekanakan. Berulang kali Aqilla selalu mengingatkan Jie untuk lebih memikirkan dirinya sendiri dulu daripada orang lain. Untuk mempedulikan dirinya dulu sebelum orang lain, untuk mencintai dirinya sendiri dulu sebelum orang lain, untuk berjuang bagi dirinya sendiri dulu sebelum orang lain. Tapi, Jie, lagi-lagi dengan keras kepalanya tak menggubris. Ia bahkan tak peduli dengan segala nasihat Aqilla, segala kepedulian yang Aqilla berikan. Jie sungguh keras kepala.

Ia menganggap Aqilla hanyalah seorang kawan rewel yang berisik. Tempat dimana ia menumpahkan segala keluh kesah tanpa pernah memberikan kesempatan bagi Aqilla untuk berkeluh kesah padanya. Sial, kenapa Jie sungguh menyebalkan seperti itu dulu? Jie mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia bahkan tak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat yang baik bagi Aqilla. Tapi, kenapa? Wanita itu selalu berdiri di sampingnya? Kenapa wanita itu selalu cerewet padanya? Jie sungguh tak mengerti.

"Ta quan wo ziji yihou de shenghuo duo xiang (Dia menasihati saya untuk banyak berpikir tentang hidup saya sendiri di kemudian hari)," gumam Jie sambil tertawa sinis dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Wanita itu, apakah ia berpura-pura baik? Atau sok kuat? Atau semacamnya? Bentuk perhatiannya itu sungguh keterlaluan. Membuat Jie merasa tercekik. Kenapa ia selalu begitu? Kenapa?

Aqilla, Wo bu xiang likai ni (Saya tidak bisa meninggalkanmu).
Karena kamu sungguh-sungguh menjerat saya.






Bersambung

The Smell After Rain | TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang