6 - Hampir Hilang

0 0 0
                                    


Sabtu kemarin, usai pelajaran Pramuka. Banua, Ojan, dan Ako merencanakan untuk berkunjung ke rusun Banua pagi-pagi sekali. Ojan sudah dizinkan oleh Mamanya, tinggal Ako yang belum menerima persetujuan. Ternyata Ibu Ako tidak menyetujuinya, karena tidak tega membiarkan Ako bermain jauh-jauh tanpa didampingi orang dewasa.
Banua dan Ojan pun tidak kehabisan akal, mereka merayu Ibu Ako dengan membantunya menjemur ikan hiu kecil di atas nampan besar yang akan dijadikan ikan asin. Akhirnya, hati Ibu Ako pun luluh dengan syarat mereka harus pulang esok, sebelum jam 4 sore. Karena mereka nantinya akan menginap semalam.
Tepat pukul 2 siang mereka pergi, masih dengan seragam Pramuka. Ako dan Ojan telah menyiapkan seragam ganti untuk esok hari. Jarak rumah Ako ke tempat akses angkutan umum sekitar 500 meter, mereka harus berjalan kaki melewati pasar dan gang-gang kecil. Siang itu, cuaca amat panas. Mereka mampir ke warung sebentar untuk membeli es.
Setibanya di jalan utama. Mereka menyetop angkot nomor 3, warna biru muda. Dalam perjalanan, mereka senang sekali mengamati sekeliling. Maklumlah, anak pantai, jarang sekali jalan-jalan apalagi bersama dengan sahabat, seru sekali. Ini petualangan.
“Kita di mana ini Ban?” Ako bertanya.
“Mmm... sebentar lagi sampai kok, tenaaang.”
Lima menit kemudian.
Wajah Banua tampak kebingungan. “Ini di mana ya om?” Tanyanya kepada Sopir angkot.
“Ini Kilo 2 dek.”
“Heh? Kilo? Kalau BP di mana om?”
“Loh, kalau BP naiknya angkot nomor 6, warna biru tua.”
“Jadi, kita salah angkot?” Ujar Ako dengan mata terbelalak.
Akhirnya mereka diturunkan di pertengahan jalan. Kemudian saling salah-menyalahkan. Banualah yang jadi sasarannya, padahal ini kali pertamnya mereka naik angkutan umum. Banua pikir hanya angkutan warna biru rutenya sama, maka jadilah mereka asal naik saja.
Pak Sopir tadi menyarankan mereka untuk menyebrang dan menyetop angkot nomor 6, warna biru tua. Namun, setelah beberapa lama tak ada satupun angkot tersebut lewat di depan mereka. Hingga mereka memutuskan untuk berjalan kaki, dengan harapan dalam perjalanan ada angkot yang lewat.
“Kalo kita nyasar gimana dong?” Ujar Ako khawatir.
“Mulai sudah Ako, kita emang nyasar, Ko!” Jawab Banua.
“Eh, kalian punya uang lagi gak? Uang aku sisa 3.000 nih, aku bawa uang pas saja buat kita 2 kali naik angkot, kalau begini kita jadi 3 kali naik angkot. Gara-gara aku beli es tadi sih.” Tambah Banua, mengalihkan pembicaraan.
“Ini gara-gara kamu kita salah naik angkot Ban, kita jadi nyasar begini!” Cetus Ako kesal.
“Sudah jangan saling menyalahkan. Aku bawa uang lebih kok. Nanti pakai uang aku saja.” Jawab Ako.
“Kita juga masih di Balikpapan, kamu jangan seperti kita lagi kesasar di hutan gitu deh, Ko! Pliiis jangan lebay.” Tutur Banua.
“Lagian kalau kita kesasar beneran, aku juga bisa nelpon Papa.” Ucap Ojan.
“Dan itu sama saja kita rela untuk diomelin orang tua kita. Emang kalian mau diomelin?” Tambah Banua.
Mereka berdua menggeleng.
Hari sudah mulai sore, mereka sudah berjalan cukup jauh. Seperti yang diharapkan, mereka melihat angkot warna biru tua dari kejauhan. Akhirnya mereka lega, sampai di terminal angkot BP. Di sana adalah tempat berkumpulnya seluruh angkutan umum, maka tak heran banyak sekali angkot warna-warni ke berbagai jurusan.
Adzan Ashar berkumandang, mereka singgah sebentar untuk sholat di Musholla terdekat. Setelah itu, melanjutkan perjalanan dengan angkot nomor 2A warna hijau muda, jurusan DAM.
Mereka tiba di rusun sekitar pukul setengah 6 sore. Ama terlihat cemas, namun yang keluar dari mulutnya adalah omelan untuk Banua. Karena, hari Sabtu harusnya mereka pulang lebih awal. Tapi sampai sore malah baru kembali pulang. Kak Herlambang pun sampai kebingungan mencari-cari Banua.
“Kalau sampai Ama tahu soal kita tadi, pasti kita akan dihukum.” Bisiknya pada Ako dan Ojan.
“Kita hampir jadi orang hilang tau!” Ujar Ako masih kesal.

Kebun Mini Banua PatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang