Banua pindah ke Rusunawa atau rumah susun sederhana sewa di daerah Balikpapan Selatan, namanya Rusunawa Siaga. Menurut Banua, suasana di rusunawa itu berbeda sekali dengan rumah lamanya. Ia tinggal di satu bangunan yang tinggi berjumlah lima tingkat dan berjajar pintu-pintu yang telah disusun sedemikian rupa sehingga lebih banyak tempat untuk ditinggali.
Banua dan keluarganya menempati rusun di lantai 3 nomor 39, terhitung 2 pintu dari tangga. Bentuk Rusunawa Siaga seperti bangunan yang saling berhadapan membentuk persegi, dengan tinggi dan ukuran yang sama. Di lantai dasar, ada WC umum dan beberapa penghuni rusun yang berjualan, ada pula kursi-kursi berjajar yang disediakan bagi warga rusun untuk istirahat dan bercengkrama.***
“Sudah 4 hari Banua sakit Pak, apa tidak sebaiknya kita bawa ke dokter dulu?” Ujar Ama sambil memperhatikan Banua yang sedang tidur.
“Tidak usah. Dia anak yang kuat, biasa juga kalau dia sakit Ama beri minum jamu juga akan sembuh.” Jawab Bapak tenang.
Tak lama kemudian Banua terbangun, Ama bergegas menghampirinya.
“Haaah... haaah... haaah.” Banu terengah-engah. Ama panik.
“Banua kenapa?” Ucap ibu yang mencengkram lengan banu kuat.
“Napas Banua sesak Ama...” Keluhnya kesakitan.
Ama bergegas mengambil air hangat di dapur, Banua meminumnya banyak-banyak. Namun tak ada hasil, Ama segera memanggil Bapak agar membawa Banua ke Puskesmas Damai.
Sepanjang perjalanan, Banua mengigau, “Ama... sakit, Ama.. sakit, jangan cekik leher Banua Amaaa!”
Syukurnya Puskesmas Damai tidak jauh dari rusun, setelah diperiksakan, ternyata tidak ada penyakit serius yang diidap Banua. Hanya saja Banua harus sering olahraga dan menghirup banyak oksigen agar pernapasannya lancar, selain itu pikirannya harus tenang. Saat itu dokter hanya memberi vitamin dan oksigen kemasan yang nantinya harus dihirup oleh Banua ketika sesaknya kambuh lagi.
“Kenapa bisa Banua sakit seperti ini, biasanya juga sehari sakit besoknya sembuh.” Celetuk Bapak dalam perjalanan pulang.
“Bapak sih, kan Ama sudah bilang bawa ke dokter dari kemarin-kemarin!” Ama balas mengomel.***
Tiga hari setelah itu, Banua sembuh. Ia rutin minum vitamin pemberian dokter. Namun, bukan kabar baik baginya. Sekarang Banua memiliki kebiasaan berdiri di depan lorong rusunnya, melamun dan mengamati lingkungan sekitar. Ia juga suka duduk-duduk di tangga, namun sering ditegur Bapak karena itu dapat membahayakannya.
“Huh, kenapa membosankan sekali di sini.” Gumamnya.
Banua yang tak kenal takut dan selalu bermain dengan teman-temannya, kini harus berdiam diri sembari menunggu waktu libur sekolahnya usai. Tak jarang pula ia mencari hiburan dengan menonton televisi. Ia pun semakin sebal, karena HP Android yang dibelikan kak Herlambang sudah rusak, padahal dengan main game saja sudah bisa mengusir rasa bosannya.
“Pak di sini pengap ya?” Ujar Ama kepada Bapak di sela-sela mereka menonton televisi.
“Namanya juga rusun, ya daripada kita tinggal beratapkan langit. Sekarang susah cari rumah murah di Balikpapan. Alhamdulillah pemerintah mau kasih kesempatan buat orang kecil seperti kita.”
Banua bingung, “beratapkan langit, pak?”
“Gak punya tempat tinggal maksud Bapak.”
“Pak, Banua juga gak betah tinggal di sini.” Keluhnya.
Ruangan berukuran 20 meter persegi itu memang tidak memiliki ventilasi udara yang cukup, dibangun berdempetan membuat suasana terasa sesak.
“Kenapa? Di sini pengap ya seperti yang Ama rasakan?”
“Iya pak, buktinya sampai Banua jadi sakit. Di sini juga gak ada teman!”
Sebenarnya, Bapak juga sedih melihat Banua yang tidak semangat seperti biasanya, terlebih ia adalah salah seorang nelayan di Kampung Baru. Semenjak pindah, ia jadi jarang melaut karena ongkos untuk pulang pergi cukup memberatkannya. Sehingga Bapak Banua memilih untuk melaut pada hari-hari tertentu saja.
Kegiatan Ama masih seperti biasanya, selain menjadi Ibu Rumah Tangga, Ama juga masih berjualan. Bedanya, kini ia berjualan dengan menitipkan dagangannya di kantin rusun. Ama berjualan kue kelepon mini yang warnanya hijau dan ditaburi parutan kelapa gurih, sangat pas dipadukan dengan gula merah jawa di dalamnya. Sebungkus mika berisi 8 buah, dijual seharga 5.000 rupiah.
Selain itu, Ama juga menjual Panada, sejenis roti berisi ikan cincang pedas dan sayuran di dalamnya dengan harga 1.000 rupiah. Ama senang berjualan di rusun, meski tidak setiap hari dagangannya laris manis, namun ia tidak perlu berkeliling seperti saat mereka tinggal di Kampung Baru, mengingat kondisi Ama yang mulai sakit-sakitan.
Kak Herlambang, kakak Banua. Masih seperti biasanya, ia bekerja sambil kuliah untuk membantu kehidupan keluarga Banua. Karena Bapak dan Ama sudah mulai tua, kondisi tubuhnya tidak sekuat dulu. Kak Herlambanglah yang membantu meringankan beban. Namun, itulah yang membuat Banua tidak menyukai kakaknya, karena kesibukannya hingga jarang berada di rumah berkumpul dengan keluarga. Semakin membuat Banua merasa kesepian, apalagi semenjak pindah ke rusun. Sampai sekarang, Banua belum mempunyai teman sepermainan.
Bapak yang masih asyik menonton berita, berkata, “sabar, Ban. Sementara kita di sini dulu ya, kalau bapak ada rezeki mudahan kita bisa pindah ke sana lagi. Mungkin Banua yang belum terbiasa tinggal di sini.”
Banua hanya tertunduk lesu, sempat ia berpikir untuk kabur dari rusun. Tapi pikiran itu ditepisnya, lagi-lagi ia terpaksa menerima keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kebun Mini Banua Patra
Kısa HikayeSebuah cerita anak sederhana yang diangkat dari lokalitas setempat. Pertemanan Banua dan Patra akhirnya berhasil memecahkan persoalan di lingkungannya. Bagaimana kisah mereka?