iii. darah

60 4 5
                                    

Semua kegiatan, kini senja lalui bersama biru. Kebersamaan mereka, mustahil jika senja tidak jatuh hati pada biru.

Biru tidak pernah mengerti arti cinta, biru pikir semua runtutan kejadian kejadian ini hanyalah sebuah kebetulan—dan ia merasa sebuah kewajiban untuk menjaga senja. Tidak lebih.

Karena satu satunya alasan biru ingin bertahan pada senja hanya karena wasiat ayahnya. Tidak lebih.

Tapi semua itu berbanding terbalik dengan senja.

Senja memang sudah hidup dikelilingi cinta dari dulu, ia selalu mengerti apa arti cinta, sebuah kebersamaan, dan rasa saling membutuhkan.

Senja selalu berangan angan bisa hidup bersama dengan cowok ganteng yang ia idam idamkan, namun untuk kesekian kalinya, senja menatap pantulan bayangan wajahnya sendiri di sungai.

See?

Ia hanyalah senja. Perempuan biasa. Sangat biasa.

Hidupnya hanya dikelilingi bunga. bunga. dan bunga.

Senja pikir hidupnya sudah cukup bersama bunga.

Dan senja pikir, semuanya akan baik baik saja ketika ia menyatakan perasaannya pada biru.

Tapi, senja salah.

--•♪•--

"Biru!"

Senja tersenyum lebar saat melihat biru berjalan ke arahnya.

"Apa?" Biru hanya menggerakan sedikit dagunya untuk menanyakan tujuan senja memanggilnya.

"Mau coba ngomong sama bunganya senja ga?" Senja menunjuk flows,bunga kesayangannya.

"Dia namanya flows, senja paling sering curhat sama dia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Dia namanya flows, senja paling sering curhat sama dia. Karena biru tau ga? Setiap ngeliat dia suasana hati senja tuh yang tadi nya lagi buruk jadi ceria lagi, sama kayak waktu..." Senja terdiam, tidak melanjutkan kata katanya.

"Waktu kapan?" Biru ikut berjongkok di sebelah senja, memandangi flows.

"Waktu—mmmm"

"Lu ngomong gajelas banget si."

"Waktu senja ngeliat biru."

Biru menoleh, menatap senja seakan akan tak percaya bahwa ia baru saja mengatakan hal itu padanya.

"Ah lupakan." Sadar akan raut kebingungan biru, senja melanjutkan kegiatannya, menyiram flows.

"Untungnya lo cerita ke mereka apa? Mereka sama sekali ga akan bales lo ngomong, bahkan denger pun ngga?" Biru memperbaiki posisi duduknya, bertanya pada senja.

Senja menarik napasnya, lalu tersenyum tipis, "aku percaya mereka denger. Seenggaknya aku punya temen cerita, buat numpahin kekesalan aku ke mereka. Disaat aku gapunya siapa siapa, aku cuma punya mereka, biru."

Biru menatap senja sendu, "bi dhiya kan ada?"

Senja tersenyum lagi, "aku gamau bebanin bi dhiya."

Biru mengangguk, "kalo gue, selalu mendem semua masalah gue. Seenggaknya itu lebih baik daripada cerita ke orang. Semua orang munafik. Gaada yang bisa gue percaya disini. Cuma ayah. Dan ayah udah pergi sekarang. Gue gapunya siapa siapa lagi."

Kali ini senja menatap dalam mata elang biru, mencoba mencari sesuatu di sana, tapi nihil.

Biru terlalu pandai menyembunyikan.

"Kamu bisa cerita ke senja. Kamu punya senja. Kamu bisa percaya ke senja. Oke?" Senja mengedip-ngedipkan matanya lucu.

Biru hanya mendengus, tapi tetap saja, biru tidak bisa menyembunyikan senyumnya dari senja.

Biru memalingkan wajahnya.

Ya, ia tersenyum. Dan, senja melihat nya.

--•♪•--

Malam ini, senja benar benar tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikiran nya melayang layang entah kemana. Senja memperbaiki posisi tidurnya, dari kiri ke kanan. Kanan ke kiri.

Tapi tetap saja otaknya tidak bisa berhenti menyuruhnya untuk terus berpikir.

Senja mengerang frustasi.

Ia seperti butuh seseorang.

Ia merasakan getaran yang beda, yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa yang tak pernah ia temukan sebelumnya. Rasa takut kehilangan, rasa untuk ingin terus bersamanya, rasa itu membelenggu pikiran senja.

Rasa itu.

Rasa yang hanya ia temukan ketika ia bersama biru.

Senja merasa hatinya benar benar tidak tenang sekarang.

Senja ingin menyatakannya, ia sudah yakin dengan perasaan nya.

"Biru?"

Senja terkejut saat melihat biru tiba tiba ada di depan kamarnya.

"Kenapa lo belum tidur?" Wajah biru terlihat pucat, tapi tetap terlihat tampan di mata senja.

"Biru aku gatau aku kenapa, tapi kayak ada yang ngeganjel banget." Senja menunduk.

"Apa?" Biru hanya memasang ekspresi datar seperti biasanya.

"Kalo... senja... mmmmmm" Senja hanya bergumam gumam tidak jelas.

Biru mengerlingkan matanya, "ck. ngomong yang bener kenapa."

"Senja... "

"Apa woi?"

"Senja suka biru."

Mata biru membulat, "apa lo bilang?"

Sebenarnya pertahanan senja sudah hampir hancur saat melihat perubahan raut wajah biru, tapi ia berusaha membulatkan tekadnya, "iya, senja suka biru. Itu yang daritadi ada di pikiran senja, biru."

Wajah biru memerah, pipinya memanas, buku buku jarinya memutih.

Tanpa senja sangka, biru mengambil pisau dari dapur, lalu menunjukkan benda itu kepada senja.

Senja memundurkan badannya sedikit sampai ia terduduk.

"Lo liat ini" Mata elang biru terlihat menyeramkan, biru menggoreskan pisau tersebut di kedua jari senja, lalu menempelkan darah dari jari senja ke sebuah kertas.

Senja merengek sambil meringis kesakitan, "biruuu"

Tak lama, biru menuliskan sesuatu disana, "disini biru berjanji, bahwa tidak akan pernah membalas cinta senja."

Setelah itu, biru pergi.

Senja terdiam. Semuanya terjadi begitu tiba tiba. Senja masih tetap diam pada tempatnya. Dengan posisi yang sama.

Bulir bulir air mata mulai berjatuhan dari mata indah senja.

Ternyata ini, rasanya ketika kita baru saja mengalami jatuh cinta, dan sudah merasakan sakitnya.

Setelah itu, semuanya seakan merubah hidup senja.  Ia jadi lebih pendiam dari biasanya.


Dan sejak saat itu, senja membenci semua yang berkaitan dengan bunga, termasuk waktu senja itu sendiri.

tbc•

vomment?

senja || jenkaiWhere stories live. Discover now