iv. bi dhiya

48 5 10
                                    

Entah mengapa, semua kejadian yang senja lalui sekarang terkesan—membosankan.

Senja bahkan jarang—bahkan sudah tidak pernah tertawa lagi seperti dulu.

Tidak ada lagi senja yang hiperaktif, ceria, suka bercanda, dan cerewet. Sekarang yang ada hanyalah senja yang diam, diam, dan diam.

Tak ada alasan lain yang membuat senja berubah, kecuali satu, biru.

"Senja?"

Senja bahkan sama sekali tidak menoleh.

"Senja lo denger gue gasi!" Nada bicara biru meninggi, namun senja sama sekali tidak menolehkan wajahnya.

"Senja!"

Senja mendengus kesal, "apa?"

Biru berdecak sambil berkacak pinggang, "lo ga sarapan lagi hari ini? Lo mau sakit,hah? Lo pikir siapa yang ribet? Gue-gue juga tau ga lo?!"

"Biru gausah pikirin senja." Senja tetap pada tempatnya, bahkan tidak memandang biru.

"Maunya sih gitu,"

Senja meringis, bukan jawaban yang ingin senja dengar, sebenarnya.

"Tapi gue kan ada amanah,ja. Gue harus jagain lo."

Senja bingung setengah mati. Mengapa biru bisa bersikap seperti tidak ada apa apa di antara mereka setelah kejadian kemarin malam?

"Ya kalo biru gamau ya gausah. Percuma kalo terpaksa juga." Senja mengerlingkan matanya sambil menekankan kata "terpaksa".

"Lo kenapa sih ja? Kok jadi sewot mulu sama gue?" Biru mencoba duduk mendekati senja.

"Gapapa." Senja sedikit menggeser duduknya.

"Apaansih. Kalo gamau diurus ya gapapa. Gue juga males urus lo." Kata biru sambil beranjak pergi meninggalkan senja yang sudah berkaca kaca.

"Kenapa, biru? Kenapa kamu buat aku jatuh cinta? Kenapa harus aku yang jatuh cinta duluan? Kenapa?" Isak senja. Ia menenggelamkan wajahnya diantara kedua lututnya.

--•♪•--

Senja menatap pantulan dirinya di sungai. Ia menggerakkan gerakan kakinya di air.

Senja sangat suka pergi ke sungai saat mood nya buruk, karena baginya melihat air sungai sangat menenangkan hatinya.

Senja memejamkan matanya, mendengarkan suara gemericik  air, suara sentuhan sentuhan dedaunan, dan juga suara angin yang saling berhembus—sebelum suara itu menginterupsi nya.

"Senja!" Biru datang dengan napas tersengal sengal.

Senja bangkit dari posisinya, membersihkan celananya yang sedikit kotor terkena tanah, "ada apa?"

"Bi dhiya. Bi dhiya udah pergi, senja."

Senja membeku di tempatnya. Lututnya melemas, seakan tidak bisa menahan beban tubuhnya lagi. Tak lama, pandangannya menggelap.

"Senja!"

Biru mendecak pelan, lalu segera membopong senja ke rumahnya.

Biru menggigit bibirnya, ia sangat khawatir pada senja sekarang, berkali kali ia menepuk nepuk pipi senja pelan.

Ia melongok ke arah dapur, tempat bi dhiya menghembuskan napas terakhirnya, biru kembali menggigit bibirnya cemas, tidak tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

"Engh" Erangan itu membuat biru segera menoleh ke arah senja yang sedang berusaha untuk bangun dari posisinya sekarang di tempat tidur.

"Mana bi dhiya,biru? Ayo jawab aku! Mana, biru?" Senja menggoncang goncang tubuh biru.

"A—ada di dapur." Entah mengapa biru merasa sangat bingung sekarang.

Senja mendorong biru pelan lalu bergegas pergi menuju dapur melihat bi dhiya yang terkulai lemas.

"Bibi! Bi dhiya bangun, bi! Plis bi senja gapunya siapa siapa lagi, siapa yang bakal masakin senja rendang bi? Siapa yang belain senja kalo ada yang hina senja? Bibi plis bangun! Senja gamau ditinggal bibi hiks," Senja memeluk bi dhiya, ia sangat tidak mau kehilangan pembantunya yang sudah ia anggap ibu sendiri itu.

Begitu banyak kenangan yang bi dhiya buat, begitu banyak perhatian dan kasih sayang yang bi dhiya torehkan untuk senja.

Senja menangis sesenggukan sambil sesekali mengelap air mata nya yang memenuhi pelupuk matanya.

Ia merasa dunia membencinya, sangat.

"Senja udah senja, masih ada gue. Lo jangan berlarut larut gitu!" Biru menarik pundak senja untuk menjauh dari mayat bi dhiya.

Senja menoleh dengan pipi yang memanas lalu menatap netra biru dengan tajam, biru refleks memundurkan langkahnya.

"Biru pikir ini suatu hal yang biasa, iya?! Mungkin iya, karena kamu bahkan ga pernah bisa mencintai orang lain!" Senja berteriak sambil menahan amarah.

Perkataan itu menusuk tepat di dada biru. Seperti ada pedang tajam yang menusuknya.

Tangan biru mengepal, buku buku jarinya memutih, tapi ia menahan emosinya.

"Pukul senja, biru! Ayo pukul! Kenapa diam?!" Teriak senja dengan wajah yang memerah.

Tanpa sadar, emosi biru memuncak hingga ia melayangkan tinjunya pada rahang senja.

Senja tersungkur, sudut bibirnya berdarah.

Biru terkejut, tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukannya.

Biru ingin mendekat, tapi senja lebih dulu menjauhkan diri.

"Terimakasih, terimakasih karena telah menunjukkan arti sakit yang sesungguhnya. Senja memang sayang biru, tapi senja gak pernah memaksa biru untuk membalasnya. Setidaknya senja tahu bahwa biru memang tidak akan pernah bersama senja."

Setelah mengatakan itu, senja bangkit lalu meninggalkan biru yang mematung di tempatnya.

•tbc•

senja || jenkaiWhere stories live. Discover now