Part 4. Di Pesantren

21K 1.2K 78
                                    

Tak ada pembicaraan tentang Nisa di pesantren. Pak Kyai dan Bu Nyai tak tahu bahwa ada lamaran yang dilakukan oleh Ning Miftah dan Gus Azzam. Bukan lamaran, tapi pernikahan. Gus Azzam juga bungkam tentang kehadiran istri kedua di dalam hidupnya, lebih berusaha menghargai Ning Miftah.

Pesantren berjalan seperti biasa, santriwan dan santriwati mengaji dan belajar kitab kuning dengan tekun. Para pengurus pesantren sangat lihai dalam menghadapi para santri yang terkadang bosan dengan tugas harian mereka.

Sejak Gus Azzam pulang dari Kairo, pesantren berubah lebih modern. Tidak hanya diajari mengaji, namun juga bercocok tanam dan ada beberapa keterampilan yang diajarkan pada para santri. Di pesantren disediakan beberapa mesin jahit dan tempat khusus untuk membuat kerajinan tangan. Untuk bercocok tanam, dilakukan oleh santriwan di ladang milik Pak Kyai.

Banyak santriwati yang sudah bisa menjahit bajunya sendiri, bahkan menerima orderan dari santri lain. Barang-barang kerajinan pun sudah bisa dipajang dengan indah pada saat ada bazar. Pesanan semakin banyak saat Gus Azzam mulai memasarkan melalui online.

Tidak hanya para santri, masyarakat sekitar pun ikut terbantu karena barang-barang yang sering mereka buang malah dijadikan barang berguna oleh para santri. Gus Azzam juga mengundang beberapa pemateri dari luar untuk mengajari.

Awalnya Gus Azzam mendapat pertentangan dari Ibu Nyai Maimunah, sang ibu yang melahirkannya. Menurut beliau yang menjadi penanggung jawab santriwati, para santri tidak harus belajar seperti itu. Tugas mereka adalah mengaji dan mengamalkan apa yang dipelajari oleh ustad-ustazah. Bukan malah mencari uang.

"Benar, Allah yang mengatur rezeki tiap makhluk-Nya. Namun, jika manusia tidak mau berusaha, Allah juga tak mungkin mengubah hidup mereka," ucap Gus Azzam saat mulai memasukkan pemikirannya di pesantren.

"Zam, tugasnya istri itu nantinya patuh sama suaminya. Tak perlu belajar-belajar seperti itu. Toh sang suami yang akan mencukupi. Kalau belajar mengolah ladang untuk santriwan, Umi setuju."

"Umi, mboten semua wanita itu hidupnya akan makmur seperti Umi. Tidak semua wanita itu akan mendapatkan jodoh yang baik seperti Abah." Gus Azzam menarik napas panjang, "lantas jika para santriwati mendapatkan jodoh yang malas dan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup, bagaimana?"

"Kamu mendoakan seperti itu, Zam?"

"Mboten, Umi. Saestu."

"Lantas? Kamu jelaskan pada Umi."

"Umi, kehidupan ini tak akan ada yang tahu. Bisa jadi nanti para santriwati mendapatkan jodoh yang insyaallah sholeh. Namun, hidup mati seseorang juga tak ada yang tahu. Bagaimana jika nanti suami mereka dipanggil oleh Allah? Meninggalkan banyak putra dan istrinya. Apa yang bisa dilakukan oleh para santriwati jika tidak mendapatkan ilmu?"

"Mereka bisa mengajar ngaji, Zam," ujar Umi ngotot dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

"Masalahnya, bisakah gaji dari mengajar ngaji itu untuk bertahan hidup? Bukankah belajar mengaji itu harus ikhlas? Namun, anak-anak mereka nanti apa ya harus makan ikhlas? Mboten tho Umi? Guru ngaji itu gajinya tak seberapa. Keterampilan yang diajarkan di pesantren inilah nantinya yang akan memberikan nilai plus sekaligus bekal untuk para santriwati agar mereka bisa mandiri," ucap Gus Azzam dengan tersenyum.

Keteguhan Gus Azzam untuk meyakinkan sang ibu, ternyata membuahkan hasil. Bu Nyai menyetujui dengan syarat harus mengutamakan belajar agama. Para santriwati menyambut dengan antusias, bagaikan menemukan oase di tengah gurun. Bakat-bakat yang terpendam mulai bermunculan. Khususnya di bidang seni dan marketing. Gus Azzam benar-benar totalitas untuk mewujudkan apa yang diinginkannya.

Kini, baru dua tahun berlalu, Gus Azzam tersenyum melihat para santriwati yang sibuk memilah plastik dan kain perca untuk bahan kerajinan. Tak ada sampah yang berserakan, semua digunakan dengan semestinya. Sampah dari makanan sisa dibuat makan binatang ternak di samping pesantren. Sementara sampah kering dari bungkus makanan langsung dikumpulkan untuk dijadikan kerajinan. Tak sekadar dikumpulkan karena santriwati yang membuat kerajinan akan membeli sampah yang sudah bersih. Semuanya mendapatkan untung.

Banyak santriwati, khususnya yang ikut membantu di ndalem mempunyai keinginan untuk dijadikan mantu oleh Bu Nyai. Sayangnya impian hanya impian saat tanggal pernikahan telah ditetapkan dan undangan pernikahan telah disebar. Apalagi saat mereka mengetahui siapa calon ning baru mereka, jelas bukan saingan santriwati biasa.

Saat pernikahan digelar, banyak doa yang dipanjatkan. Bukan tak tahu, Gus Azzam juga tak sengaja mendengar saat para santriwati tersebut patah hati. Namun, mereka tetap mendoakan lelaki itu, walau ada harapan di hati mereka untuk menjadi istri kedua, ketiga, bahkan keempat. Bukankah dalam Islam diperbolehkan?

"Gus sudah menyuruh siapa ke rumahnya Nisa?" tanya Ning Miftah saat Gus Azzam masuk ke dalam kamar.

"Pastinya bukan santriwati sini."

"Nisa sendirian?"

"Nisa selalu sendirian, itu yang membuatnya kuat dan saya percaya dia bisa melewati semuanya."

Ning Miftah terdiam, hatinya menerka-nerka ada apa gerangan dengan sang pujaan hati. Sudah sebulan sejak mereka meninggalkan Nisa di rumah itu, Gus Azzam belum pernah menengok, sibuk dengan kegiatan di pesantren. Jelas tak mungkin Gus Azzam keluar pesantren tanpa diketahui oleh Ning Miftah.

Otaknya berputar, beberapa hari ini Gus Azzam memang terlalu sibuk karena akan menyiapkan acara memperingati Hari Santri. Santriwati akan memamerkan produk unggulan di bazar pada acara yang akan diselenggarakan selama tiga hari tersebut. Kebetulan Bu Nyai juga ikut andil, beliau sangat senang bisa memperkenalkan pesantren dan produk-produknya kepada masyarakat umum. Apa Gus Azzam akan mengunjungi Nisa saat Bu Nyai tidak ada di pesantren? Hati Ning Miftah tersayat, jika memang hal itu benar.

"Sepertinya malam ini saya akan tidur di perpustakaan," ucap Gus Azzam sambil melihat buku besar yang dibawanya.

Ning Miftah menggigit bibirnya pelan. Ini sudah lima minggu sejak mereka menikah, bahkan Gus Azzam belum melaksanakan tugasnya untuk memberi nafkah batin. Untuk meminta hak pun, Ning Miftah tak berani. Dia terlalu malu untuk sekadar membahas hal tersebut. Sejak mereka menikah, Gus Azzam tak pernah sama sekali tidur di kamar yang sama.

Gus Azzam keluar kamar, tak ingin berlama-lama berdua dengan Ning Miftah. Lelaki itu takut jika sampai tak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh istrinya. Bukan tidak mengerti, lelaki itu tahu apa yang dilakukannya pasti menyakiti sang istri. Namun, hatinya menolak untuk melakukan hal tersebut. Dia masih belum bisa adil menjadi seorang suami dengan dua istri. Bagaimana dengan Nisa, jika selama ini waktunya habis untuk Ning Miftah? Lebih baik, dia tidak menyentuh keduanya. Itu lebih adil untuk mereka.

Gus Azzam berjalan ke arah perpustakaan yang di dalamnya juga terdapat komputer. Di sanalah tempatnya untuk belajar bagaimana mempromosikan produk dari santri di pesantren. Juga tempat menenangkan diri dari segala gejolak yang mengobrak-abrik hatinya selama ini.

💐💐💐💐💐

Assalamualaikum. Selamat Hari Santri.

Jangan lupa like dan komentarnya. Nungguin 50 komentar, tidak termasuk balasan saya. 🤣

Istri Kedua Gus (SUDAH TERBIT DAN AKAN DIFILMKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang