Part 10. Kecelakaan

19.8K 1.3K 103
                                    

"Makan sendiri, gak usah manja!" kata Nisa sambil meletakkan nampan yang berisi piring dan segelas air putih di atas meja. Juga ada beberapa butir obat yang telah dibawakan oleh Kang Santri.

Gus Azzam memandang wanita di depannya sambil tersenyum. Aroma gulai yang menguar dari atas piring benar-benar menggugah selera. Apalagi terlihat satu potong paha ayam dengan uap mengepul. Entah bagaimana rasanya makanan itu, yang jelas pasti akan sangat enak.

"Mboten ngrencangi kulo?" tanya Gus Azzam pelan.

"Kamu bukan bayi yang perlu ditemani. Lagian cuma demam." Nisa berkata sambil berlalu meninggalkan kamar.

Gus Azzam menarik napas lagi. Ingatannya melayang pada masa lalu.

"Mad, bantu aku naik ke atas!" suruh Nisa sambil meringis kesakitan.

"Kalo kita jatuh barengan gimana?"

"Mamad! Goblok banget sih! Kamu kan laki! Pake tenaga dong!" bentak Nisa sambil tangan kanan berpegangan pada dahan pohon yang menjalar sampai jembatan. Sementara tangan satunya memegang bunga dandelion.

"Aku takut ...," kata Gus Azzam pelan, air mata sudah mengalir di pipinya.

"Goblok! Cepetan! Aku gak kuat kalo harus pegangan terus! Kalo jatuh, aku bisa kena arus sungai sampai bawah!" Nisa benar-benar tak tahan melihat temannya yang malah menangis.

"Aku minta bantuan aja sama orang."

"Gak sempat, tolol! Aku bisa mati!"

"Jangan mati dulu! Aku tau kalo kamu bisa. Tungguin aku bawa bantuan!"

"Cepet! Awas jangan kabur!"

"Iya, aku bakal lari pulang. Aku pasti balik lagi ke sini. Aku pasti balik lagi nolongin kamu. Tungguin aku, ya?"

Walau kesal, Nisa tetap mengangguk. Mamad bukan seseorang yang suka ingkar janji. Pernah tengah malam anak lelaki itu membawa sebuah mangga yang sudah dijanjikannya saat menghadiri pengajian. Bahkan Mamad sering mengatakan pada Nisa tentang janji. Salah satunya adalah salah satu ayat yang terdapat dalam Al-Qur'an;

Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya [al-Isrâ'/17:34]

Saat itu Gus Azzam dia terlalu takut untuk menolong sendiri, dia pergi meninggalkan Nisa sendirian saat gadis itu jatuh. Sebenarnya dia ingin meminta bantuan, tapi saat sampai rumah, Bu Nyai dan Pak Kyai sebagai orang tua kandung telah menyambutnya. Bahkan seluruh barang-barang telah dikemasi oleh ibu asuhnya.

"Mad, ini ayah dan ibumu yang asli. Mereka bisa menyekolahkanmu lebih tinggi," begitu ucap sang ibu asuh saat Gus Azzam tak mau pergi.

Tak diketahuinya saat itu bahwa sang ibu yang juga adik dari Bu Nyai, mengasuhnya dari bayi untuk memancing kehamilan. Kini sang ibu sudah hamil muda.

"Bu, Mamad mau pergi, tapi dengan satu syarat," kata Gus Azzam sambil menangis.

"Ada apa, Le?"

"Tolong selamatkan Ninis. Bawa orang-orang menyelamatkan gadis itu di jembatan rel kereta." Tangis Gus Azzam pecah, dia benar-benar merasa lemah.

"Astaghfirullah."

Beberapa orang dewasa dan ayahnya Gus Azzam langsung pergi ke jembatan, termasuk orang tua Nisa. Sementara Gus Azzam masuk ke dalam mobil, keberangkatan menuju provinsi lain untuk menuntut ilmu sudah tak bisa ditunda lagi. Cukup lama kedua orang tuanya menunggu Gus Azzam pulang.

"Bu, hiks. Mamad pamit. Titip salam buat Ninis," ucap Gus Azzam di sela tangisnya.

"Muhammad Azzam, putra Ibu yang paling ganteng. Ninis pasti selamat kok."

"Mamad salah, Bu. Mamad salah."

"Mboten, Le. Itu cuma kecelakaan."

Gus Azzam mengusap air matanya lagi. Dengan langkah berat, dia mengikuti Bu Nyai dan Pak Kyai memasuki mobil. Seharusnya dia bahagia saat orang tua kandung datang untuk menyekolahkan lebih tinggi. Harusnya kebahagiaan datang saat mimpi sudah di depan mata. Namun, semuanya terlalu mendadak untuknya. Apalagi harus meninggalkan Nisa tanpa berpamitan padanya. Sedih membayangi, tapi dia berjanji akan kembali menemui. Seperti janji mereka yang dulu pernah terpatri.

💐💐💐💐💐

Tak mendapat kabar tentang Nisa selama berbulan-bulan bukan berarti menghilangkan wajah gadis itu dari benaknya. Semua tentang Nisa bahkan telah terpahat dengan rapi. Tentang sebuah mahkota kecil dari bunga yang selalu dibuatkan lelaki itu untuk gadisnya.

"Bener-bener deh, kamu gak capek bikinin aku mahkota seperti ini tiap hari?" tanya Nisa sambil menundukkan kepalanya agar mahkota kecil itu bisa berdiam di sana.

"Mahkota tercantik, untuk gadis cantik."

"Halah, gombal!"

"Tapi pasti makin cantik kalo pake kerudung deh. Seperti ibuku."

"Tuh kan mulai lagi! Beli'in kerudung sono! Pak e gak punya duit buat belikan yang bagus."

Gus Azzam menggaruk rambutnya yang tak gatal. Selalu ada alasan bagi Nisa untuk membantah tiap ucapannya. Namun, dia berjanji dalam hati bahwa kelak akan membelikan Nisa kerudung. Tidak hanya kerudung, tapi juga gamis panjang dan Al-Qur'an.

"Mad," panggil Nisa tiba-tiba pada sahabatnya.

"Ya, Nis?"

"Aku besok mulai jualan makanan di sekolah. Kamu bantuin, ya?"

"Jualan apa?"

"Jualan getuk dan jajanan lain. Soalnya Bune bilang harus nabung mulai saat ini buat biaya sekolah. Kalo aku mau sekolah, aku harus kerja."

Gus Azzam memandang gadis kecil di sampingnya, lalu mengangguk. Entah berapa kali janji terucap di dalam hatinya. Janji untuk membuat Nisa bahagia jika dia sudah dewasa nanti. Tak akan membiarkan Nisa bekerja banting tulang sendirian.

Sayangnya saat liburan pesantren, ibu asuhnya menceritakan hal yang membuat hatinya hancur. Keluarga Nisa menjual rumah mereka untuk biaya pengobatan Nisa dan pindah ke tempat lain. Luka tidak hanya pada wajah dan tubuh gadis itu, tapi juga hati Gus Azzam. Bahkan sampai bertahun-tahun, rasa rindu dan bersalah tetap mengikuti. Berharap suatu saat nanti mereka dipertemukan oleh suratan takdir.

💐💐💐💐💐

Ternyata perlu waktu lama untuk sembuh. Sudah dua hari di rumah Nisa, tapi Gus Azzam belum membaik. Tubuhnya masih lemas jika digunakan untuk aktivitas. Lelaki itu tidak meninggalkan kamar kecuali saat ke kamar mandi untuk buang hajat atau wudhu. Untungnya hawa di dalam rumah dingin, membuat lelaki itu tak banyak berkeringat. Kalau soal bau badan, jelas tak bisa dikatakan bagaimana aromanya. Lelaki tak mandi selama 2 hari, bisa dibayangkan sendiri.

Rumah itu sangat sepi jika tak ada Bu Bila dan Nisa, tak ada suara yang bisa didengar selain detik jam. Jika mereka berdua ada, selalu terdengar canda dan murojaah. Nisa sudah mulai belajar menghafal ayat Al-Qur'an, beberapa kali sehari juga terdengar setor hafalan. Tak salah jika Gus Azzam meminta Bu Bila untuk menemani dan membimbing sang istri. Jika Nisa mulai setor hafalan atau sedang murojaah, Gus Azzam selalu mendengar dengan senyum simpul. Ini yang dia inginkan dari dulu untuk istrinya.

Mungkin pernikahan mereka yang tiba-tiba, membuat Nisa menjadi dingin. Namun, lelaki itu yakin bahwa suatu saat Nisa akan berubah. Bukankah dulu mereka pernah dekat? Bahkan dia hafal bagaimana ucapan kasar yang selalu diucapkan sang istri untuknya. Kini, ucapan-ucapan itu tak pernah didengarnya.

"Gus, kapan pulang?" Tiba-tiba sebuah suara menyadarkan Gus Azzam dari segala kenangan masa silam.

"Mungkin nunggu sampai bisa pulang sendiri."

"Mau saya antar? Kasihan Ning Miftah sendirian." Nisa meletakkan nampan di atas meja.

"Saya akan pulang, jika kamu mau menyuapi saya," kata Gus Azzam sambil tersenyum.


Tidak menemani saya

💐💐💐💐💐💐

Mengobat kerinduan kalian tentang Gus Azzam. Saat ini saya sedang dikejar DL job nulis juga, cerita ini bakal slow banget ya.

Ditunggu 300 like dan 100 komentarnya. Hehehe.

Istri Kedua Gus (SUDAH TERBIT DAN AKAN DIFILMKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang