Part 7. Syarat Pernikahan

20.3K 1.3K 88
                                    

Ning Miftah melihat wajah tampan dengan rambut tipis di janggut itu. Lelaki yang sudah bertahun-tahun ini dicintai secara diam-diam. Menyisipkan namanya dalam tiap doa yang dipanjatkan pada sepertiga malam. Malam di mana pintu langit terbuka lebar untuk tiap hamba yang ingin melangitkan doa.

Bahagia meraja saat sang abah tiba-tiba saja memberi tahu bahwa lelaki itu akan menikah dengannya. Siapa yang tak bahagia jika akan menikah dengan lelaki pujaan? Lelaki yang selalu hadir dalam mimpi di tiap malam-malam yang panjang. Dia, lelaki yang selalu ada dalam impian tiap wanita.

Selain wajahnya yang tampan, lelaki itu juga bisa membuat kagum dengan ide-ide baru yang selalu muncul dari otaknya. Apalagi ditambah dengan bagaimana dia menundukkan pandangan saat bertemu dengan wanita, tak seperti lelaki lainnya.

Bahkan selama mereka bersama-sama kuliah di Kairo, lelaki itu sama sekali tak terlihat bersama wanita. Selain Ning Miftah tentunya karena memang kedua orang tua mereka bersahabat sejak kecil dan dari negara yang sama.

Apa dia tak populer? Jelas dia sangat populer. Apalagi jika ada yang melihat senyumnya, manis. Jika melihat senyumnya, seperti berada di pabrik gula yang harum tebunya bisa membuat mabuk kepayang. Sayangnya senyum itu sangat jarang diperlihatkan, seandainya banyak wanita yang melihatnya, maka akan banyak pula wanita yang mau menjadi Khadijah untuk melamarnya.

Perhatian kecil yang selalu dia berikan seolah membuat Ning Miftah menjadi wanita istimewa. Dia tak pernah lupa mengingatkan makan dan selalu bersedia diminta menemani wanita itu ketika ada sesuatu yang memang dipikirnya mendesak dan perlu dampingan seorang lelaki.

Kini, di ruangan ini, Ning Miftah bersamanya. Keluarga mereka membicarakan tentang pernikahan. Bahagia? Jangan ditanya. Apalagi saat tiba-tiba saja sang abah sudah menyebarkan undangan pernikahan yang artinya mereka akan benar-benar menikah.

Keringat dingin membasahi kedua tangan dan kakinya. Sungguh rasanya gugup saat meletakkan secangkir teh hangat pada meja di depan lelaki itu. Apalagi saat tak sengaja Ning Mitah melihat bahwa Gus Azzam menatap dengan intens, seolah memastikan bahwa wanita di depannya benar-benar sang calon istri.

"Duduk di sini, Miftah," kata Bu Nyai Khofifah, uminya, sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.

Ning Miftah mengangguk pelan, sebelum duduk di samping uminya. Atmosfer di sekililing terasa panas, padahal sudah ada kipas angin di langit-langit ruangan yang berputar dengan cepat.

"Apa yang ingin kamu katakan, Zam?" tanya Pak Kyai Fitri, sambil memandang putranya.

Ya, dia Gus Azzam. Lelaki yang akan menjadi suami dari wanita itu. Lelaki yang telah memporak-porandakan hatinya sejak lama. Entah sejak kapan lelaki itu telah masuk dan mengobrak-abrik hati yang tengah mencari cinta. Mungkin sejak Ning Miftah menatapnya saat mereka sama-sama menghadiri acara imtihan di pesantren Yogyakarta.

Saat itu, Ning Miftah masih memakai seragam putih biru. Mungkin itu dinamakan cinta monyet, tapi bukan. Rasa itu terus ada, bahkan semakin berkembang sampai mereka sama-sama kuliah, bahkan hingga saat ini.

"Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh. Sak derenge, kulo nyuwun pengapunten. Saya adalah manusia yang penuh salah dan dosa, tapi izinkan saya kali ini menyampaikan sesuatu," ucap Gus Azzam yang membuat hati wanitanya berdebar.

Sebuah genderang seolah masuk ke dalam pikiran. Kali ini tak hanya debar, hati Ning Miftah pun merasakan ada yang tak biasa. Sebuah firasat buruk tentang pernikahan mulai datang. Apa akan ada sesuatu yang terjadi nanti?

"Maaf, saya tak bisa melanjutkan rencana pernikahan ini."

Sesak, begitu yang dirasakan Ning Miftah saat mendengar kalimat yang terucap dari bibir Gus Azzam. Kebahagiaan yang telah dirasakan selama berhari-hari, tiba-tiba saja menghilang. Setelah hujan berhari-hari, kemarau panjang menghadang, tanpa persiapan.

"Apa alasannya, Zam? Bukankah kalian sudah saling mengenal?" tanya Bu Nyai Halimah, tak bisa menyembunyikan keterkejutan.

"Saya tidak mencintainya, Umi."

Air mata Ning Miftah merebak, rupanya tubuh tak bisa berbohong bahwa ini bukan yang diinginkan. Kecewa, marah, sedih, semua bercampur menjadi satu. Tak cinta? Apa arti dari tiap perhatian yang diberikannya? Bahkan mereka saling bercerita. Wanita itu kurang apa di matanya?

"Tapi undangan sudah disebar, persiapan untuk prasmanan, pelaminan, sampai baju pengantin, semua sudah dipesan. Bahkan pernikahan tinggal beberapa hari lagi!" kata Pak Kyai Ridho dengan napas terengah.

Akhirnya air mata lolos satu per satu. Kejadian macam apa ini? Kenapa harus menimpa keluarga ini? Ning Miftah tak bisa menyembunyikan lagi rasa yang sudah tersimpan lama.

"Kamu membuat kami semua kecewa, Zam," ucap Pak Kyai Fitri. Beliau menyandarkan punggung dengan pelan.

"Mau dibawa ke mana wajah kami nanti? Undangan sudah disebar, orang sekampung sudah tahu semua. Bahkan yang di luar kota pun sudah mendapatkan kabar ini."

Tak ada yang bisa dilakukan Ning Miftah selain menundukkan kepala sambil mengusap air mata. Lelaki impian itu kini terbang, tak bisa lagi diharapkan. Namun, hati pun telah dibawanya pergi. Tak hanya hati, tapi juga kehormatan keluarga mereka.

"Saya mau menikah, tapi ada syaratnya."

"Apa?" tanya Pak Kyai Ridho.

"Saya mau menikah, jika nantinya Ning Miftah mau dipoligami," ucap Gus Azzam tegas.

Wanita itu mendongakkan kepala, melihat lelaki impian yang kini telah menjadi lelaki kejam. Berjuta jarum seolah menusuk dada, sakit. Apa-apaan? Kenapa syaratnya harus seberat ini? Padahal belum ada ikatan yang sah. Poligami adalah sebuah kata yang tak pernah ada di otaknya, bahkan itu adalah hal yang tak pernah diinginkan.

Terlihat mereka yang ada di ruangan itu memandang sang calon mempelai lelaki dengan terkejut. Mungkin mereka juga tak menyangka bahwa putra kebanggaan itu kini malah akan mencoreng wajah. Tak lama, wajah mereka yang mulai tua, telah menatap Ning Miftah. Seolah meminta jawaban atas keputusan yang baru saja mereka dengar.

Ning Miftah menutup mata sejenak, berharap ini hanya mimpi. Namun, saat mata terbuka kembali, mereka masih di sini. Semua mata manatap, menanti jawaban apa yang akan diberikan untuk pernikahan ini kelak. Pernikahan itu sangat sakral menurutnya, bukan mainan yang bisa dimainkan seenaknya.

"Bagaimana?" tanya Gus Azzam lagi, sambil memandang calon istrinya.

Ning Miftah berada dalam dilema. Apakah akan menerima syarat pernikahan ini darinya? Jika ditolak, bisakah mereka semua menanggung malu atas pernikahan yang tak jadi dilaksanakan? Malu berkepanjangan yang tentunya akan diingat oleh masyarakat.

Namun, jika menerimanya, mampukah? Mampukah tak memiliki rasa cemburu jika ternyata sang suami lebih memilih istri keduanya? Walau memang nantinya salah satu kaki telah berada di pintu surga, bisakah hati menerimanya?

"Sinten? Siapa yang akan jadi madu saya? Nopo kulo kenal?" tanya wanita itu dengan suara bergetar.

"Dia adalah wanita masa lalu saya. Mungkin njenengan tak mengenalnya. Bahkan sampai bertahun-tahun, saya belum bertemu dengannya." Gus Azzam menarik napas panjang. Sepertinya dia sangat tertekan dengan pernikahan ini.

"Beri saya waktu berpikir. Saya pamit, assalamualaikum." Ning Miftah melangkahkan kaki, pergi dari ruang tamu menuju kamar.

Tak bisa lagi menyembunyikan rasa kecewa dan sedih di hati. Betapa beruntungnya wanita masa lalu yang dicintai Gus Azzam. Betapa beruntungnya dicintai oleh lelaki seperti Gus Azzam. Walau tak bertemu bertahun-tahun, tapi masih ada cinta di hatinya untuk wanita itu. Pasti membuat wanita lain iri dengan keberuntungan itu.

Wanita itu menepuk-nepuk dadanya yang teramat sakit. Berharap sakit itu pergi dari sana, tapi tetap saja rasa itu tak bisa hilang. Rasa cinta dan sakit karena dikecewakan. Apalagi jika bukan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ternyata lelaki pujaan tak pernah mencintainya.

"Ya Allah .... Sakiiit. Hiks hiks." Tangis Ning Miftah pecah sebelum akhirnya dia kehilangan kesadaran.

💐💐💐💐💐

Yuk main tebak-tebakan. Part selanjutnya cerita soal apa?

Nunggu 300 like dan 100 komentar ya.

Istri Kedua Gus (SUDAH TERBIT DAN AKAN DIFILMKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang