Dia, perempuan yang mati pagi tadi. Tak ada tangis yang datang menangisi. Tubuhnya asik menghisap karbon monoksida, lantaran ribuan puisi terus terbakar di hatinya.
Ia kehabisan pikir, tentang cara agar cemburu itu lekas menyingkir. Ia ingin dekapan, tapi tak kunjung diberikan.
Tapi tak mengapa, cahaya pagi telah menyentuhnya di pipi dan dahi. Menitipkan ucapan yang menyemangatinya untuk pergi.
Senja terlambat merah. Perempuan itu malam tadi menulis sajak dengan darah. Untuk kekasihnya yang dicuri hantu. Hantu bernama : Kamu
Kamu tak perlu bernarasi tentang pembelaan diri. Deritanya itu sudah kadung terkunyah melewati usus dua belas jari.
Kamu hanya perlu mendengar tangisnya. Setiap pagi di atas kuburnya. Lalu aku akan datang membaca puisi. Perihal cara, mengiris urat nadi.