"Gentarou, bangun, sudah sampai," aku merasakan seseorang mengguncang-guncang bahuku.
Aku membuka mata dan merasakan tubuhku pegal-pegal karena tertidur di jok mobil. Di sampingku, Fumiyo sedang melepaskan sabuk pengamannya dan mematikan mesin mobil. Aku melihat keluar jendela mobil. Langit sudah gelap dan kami berada di sebuah pelataran parkir.
"Maaf, aku tidak sadar sudah ketiduran," kataku sambil meregangkan badan.
"Santai, kau kan begadang semalaman. Otsukaresama1)!" jawab Fumiyo.
Semalam, aku memang mengerjakan sebuah cerita pendek yang mendadak saja diminta oleh salah satu majalah di penerbit Fumiyo karena penulis yang seharusnya mengerjakannya mendadak dirawat inap di rumah sakit karena keracunan makanan. Akibatnya aku tidak tidur hingga pagi dan Fumiyo langsung datang ke rumahku mengambil naskah serta mengeditnya pagi itu juga.
"Fumiyo juga, otsukaresama!" balasku.
Fumiyo mengecek ponselnya. "Dari sini jalan kaki sedikit melewati tanjakan itu, dan kita akan sampai ke penginapan. Ayo, aku ingin cepat-cepat masuk onsen2)!"
Aku mengikuti Fumiyo turun, kemudian mengambil barang-barang kami dari bagasi. Aku juga mengambil tas pakaian Fumiyo dari tangannya. Fumiyo tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum sambil menggamit lenganku. Kami mulai berjalan mengikuti arah yang ditunjukkan aplikasi peta.
Saat ini kami berada di Isawa, sebuah kota di Prefektur Yamanashi, untuk wisata tiga hari dua malam musim gugur. Karena Fumiyo harus bekerja sampai Jumat sore, maka baru jam empat sore tadi kami meninggalkan Tokyo dengan mobil rental yang dikemudikan Fumiyo. Jalanan sepertinya lancar-aku tidak tahu karena tertidur lelap lima menit setelah meninggalkan Tokyo-sehingga hanya butuh waktu lebih kurang dua jam untuk mencapai tujuan kami, sebuah penginapan tradisional yang dilengkapi onsen.
Karena sekarang sudah pertengahan November, walaupun baru sekitar pukul enam sore, langit sudah gelap dan hawa pun dingin. Namun jalanan dihiasi dengan lampu-lampu kecil untuk menambah keindahan daun merah yang menjadi salah satu nilai jual wisata musim gugur di Isawa, sehingga perjalanan sedikit mendaki itu tidak terasa melelahkan.
Aku melirik Fumiyo yang berjalan di sisiku sambil memperhatikan momiji3) di sepanjang jalan. Bulan lalu saat Tokyo dilanda taifun, aku menginap-atau lebih tepatnya mengungsi-di rumah Fumiyo tanpa berpikir panjang bahwa pada akhirnya kami akan tidur di dalam selimut yang sama. Maka dari itu, perjalanan menginap yang diusulkan Fumiyo ini membuatku sedikit memikirkan hal-hal lain yang tidak akan kukatakan padanya.
Lampu-lampu terang dari penginapan telah menunggu di ujung barisan momiji. Begitu membuka pintu, suara bel berdentang dan Okami-san4) keluar menyambut kami.
"Selamat datang! Terima kasih telah bersedia menginap di penginapan kecil dan terpencil ini," ujarnya ramah. "Yumeno-sama5) yang telah memesan kamar, kan? Mari, silakan masuk, akan saya antarkan Anda ke kamar."
Kami mengikuti Okami-san menuju sebuah kamar yang cukup luas dan memiliki dua ruangan tak disekat, hanya dibatasi dengan tiang dan ornamen-ornamen, serta dilengkapi dengan pemandian terbuka kecil di terasnya. Okami-san lalu menunjukkan tempat penyimpanan yukata6), handuk, serta perlengkapan mandi lainnya.
"Makan malam akan tersedia dari pukul tujuh, apakah Anda mau dibawakan pada pukul tujuh?" tanya Okami-san.
Aku menoleh pada Fumiyo yang tatapannya terpancang pada onsen di teras.
"Jam setengah delapan saja, kami mau berendam dulu," aku memberi tahu Okami-san.
Wanita separuh baya itu mengangguk tanda mengerti, lalu mohon diri. Aku meletakkan barang-barang di lemari. Fumiyo masih berdiri di ambang pintu masuk, melayangkan tatapannya bergantian padaku dan pada onsen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi no Iro de Sekai o Someru [Yumeno Gentaro X OC]
RomanceKimi no Iro de Sekai o Someru - Mewarnai Dunia dengan Warnamu. Yumeno Gentarou, seorang novelis, menjalin hubungan untuk pertama kalinya dengan Igarashi Fumiyo, pengoreksi naskah di penerbit yang menaungi Gentarou. Fiksi ini adalah kumpulan cerita...