Saat ini Rhea tengah behadapan dengan Rigel yang menatapnya penuh keheranan.
"Ini-" ucap Rhea sembari menyodorkan gantungan kunci yang ia genggam "-milikmu." sambungnya saat melihat Rigel hanya diam.
Rigel menatap penuh tanya kepada Rhea, "Ini ambil." ucap Rhea sembari memaksa Rigel untuk menerima gantungan kunci itu.
"Huh?"
"Waktu itu aku melihatnya jatuh di dekat motormu." jelas Rhea ketika melihat wajah kebingungan Rigel.
"A-ah, terimakasih-" Rigel menjeda ucapannya, seakan bertanya nama pada Rhea.
"Ah panggil saja Rhea."
"Baiklah, terimakasih Rhea. Kalau begitu aku pamit, ada yang harus ku selesaikan." setelah mengucapkan terimakasih Rigel pamit undur diri.
"Ah iyaa silahkan. Oh iya, jika bertemu jangan lupa sapa aku ya Rigel. Sampai jumpa." seharusnya Rigel yang pergi lebih dulu karena ia yang pamit, namun sebab kegugupan Rhea maka malah jadi Rhea yang meninggalkannya terlebih dulu.
***
"Rigel, namanya unik." gumam Rhea sambil terus menatap guru yang sedang menerangkan didepan.
Ya, selama hampir beberapa hari ini Rhea terus memikirkan Rigel. Memang keduanya tak lagi pernah bertemu setelah ulang tahun sekolahnya itu.
"Ingin bertemu lagi." gumam Rhea lagi, namun kali ini dengan menelungkup kan kepalanya di atas meja.
"Rhea Anastasya!" teriakan itu membuat Rhea segera duduk dengan benar.
"Tidur? Dipelajaran saya?" tanya Bu Tina dengan sorot mata tajam. Juga bukan hanya Bu Tina yang memperhatikannya namun juga seluruh pasang mata yang berada di kelas tertuju padanya.
Rhea menelan ludahnya susah payah sebelum menjawab. Guru yang didepannya ini benar-benar galak, jadi Rhea sebisa mungkin menyusun dahulu kalimat yang akan ia lontarkan.
"A-ah begini, Bu-"
"Bagini bagaimana? Jelas-jelas saya melihatnya begitu."
Rhea lagi-lagi menelan ludahnya, ini benar-benar menenggang kan, karena Rhea tau ia salah dan tak ada alasan yang bisa ia keluarkan dengan logis.
"S-saya-"
"Rhea tidak enak badan, Bu." ucap Bara tiba-tiba memotong kalimat yang akan Rhea sampaikan.
"Benar itu Rhea?" entah hanya perasaan Rhea atau bagaimana, namun suara Bu Tina terdengar melembut.
"A-ah?" menyadari nada bicaranya Rhea meringis akan kebodohannya.
"Nah, Ibu bisa lihat sendiri bukan Rhea sedang menahan sakit."
"Yasudah, Bara antar Rhea pergi ke UKS."
***
"Apa-apaan kamu ini? Seenaknya bilang aku sakit." ucap Rhea sesaat setelah keduanya keluar dari kelas.
"Hei, harusnya kamu bilang makasih sama aku. Gak jadi dihukum gara-gara tidur dikelas."
"Aku gak tidur, Bara." ucap Rhea kesal sembari berjalan cepat.
"Gak tidur katanya, jelas-jelas keliatan. Masih aja ngeles." cibir Bara "Eh, tungguin woy!" teriak Bara ketika melihat Rhea sudah berbelok diujung koridor.
Rhea menghentakkan kakinya kesal dan mengabaikan teriakan Bara. Ia terus menggerutu hingga matanya menangkap Rigel sedang berjalan kearahnya. Otomatis senyum indah itu terukir dengan sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Diferencia
Teen FictionKamu selalu berkata, "Ini kisah kita, berhenti mendengarkan ucapan mereka." Lantas, bagaimana jika yang mereka ucapkan benar? Masih haruskah aku mengabaikan perkataan mereka? Kita dipertemukan dalam bisu, bersama dalam kelabu, hingga berakhir dengan...